News Update :

BERHUKUM KEPADA SELAIN HUKUM ALLAH, KAFIRKAH ? :

Penulis : Bagus Rangin on 11 Oktober 2012 | 11.06.00

11 Oktober 2012



Pengantar
Artikel ini sy dedikasikan kpd semua umat Islam yg mencintai kebanaran, khususnya saudara2ku yg -mungkin- terjangkiti virus khawarij, krn khawarij akan terus ada sampai datangnya dajjal sebagaimana ditegaskan dalam hadits berikut ini :

Dari Abu Barzah, bahwa Rasulullah berkata:

لاَ يَزَالُوْنَ يَخْرُجُوْنَ حَتَّى يَخْرُجَ آخِرَهُمْ

“dan senantiasa mereka (kaum khawarij) akan muncul, hingga munculnya kelompok mereka yang terakhir.”

Pada hadits ini terdapat lafazh tambahan sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (hadits no. 37917); Ahmad (IV/424); Al-Bazzar (IX/294, 305); An-Nasa‘i dalam kitabnya As-Sunanul Kubra (hadits no. 3566), kemudian dalam kitab beliau Al-Mujtaba (hadits no. 4114); Ar-Ruyani (hadits no. 766), yang lafazhnya adalah:

حَتَّى يَخْرُجَ آخِرُهُمْ مَعَ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ

"…hingga munculnya kelompok terakhir dari mereka (kaum Khawarij ini) bersama Al-Masih Ad-Dajjal.”

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَ الْمُرْسَلِيْنَ سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ الصَّادِقِ اْلأَمِيْنَ، وَعَلَى آلِهِ الطَّاهِرِيْنَ، وَصَحْبِهِ الرَّاشِدِيْنَ، وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوٍمِ الدِّيْنِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

سَيَخْرُجُ فِى آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الأَحْلاَمِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ فِى قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ 

“Akan keluar pada akhir zaman, suatu kaum, umurnya masih muda, rusak akalnya, mereka bertutur dengan manis (=suka membahas masalah agama). Mereka membaca al-Qur’an, namun tidak melebihi kerongkongannya. Mereka terlepas dari agama bagai terlepasnya anak panah dari busurnya. Apabila kalian menemuinya, bunuhlah mereka, karena terdapat ganjaran bagi mereka yang membunuh kaum tersebut.” (HR. Bukhari: 3611, Muslim: 1066)

Hadits ini salah satu di antara dalil yang memberitakan perihal kelompok sesat Khawarij. Jargon yang senantiasa mereka dengung-dengungkan adalah kembali untuk kembali kepada hukum Allah. Seruan yang baik dan patut didakwahkan, namun apa yang mereka dengungkan ternyata berakibat fatal dan hal itu disebabkan beberapa faktor, entah kekeliruan dalam memahami berbagai dalil, mengikuti perasaan dan hawa nafsu semata atau minimnya usaha mereka untuk merujuk kepada perkataan para ulama ahlus sunnah wal jama’ah.

Jargon utama mereka adalah kalimat:

لاَ حُكْمَ إِلاَّ لله

“Tidak ada hukum yang layak diikuti melainkan hukum Allah semata.”

Secara lahiriah tidak ada yang keliru pada kalimat tersebut. Namun permasalahan terletak pada tindakan Khawarij dalam mempraktekkan kalimat tersebut dengan mengusung dalil firman Allah ta’ala:

وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)

Kalimat yang benar, namun dipraktekkan secara salah kaprah. Kalimat yang benar, namun menjadi momok tatkala kalimat tersebut diusung untuk memperkuat praktek pengkafiran yang dilakukan secara serampangan oleh mereka. Oleh sebab itu sahabat Ali radhiyallahu ‘anhumengomentari jargon mereka tersebut dengan ucapan beliau:

كَلِمَةُ حَقٍّ أُرِيْدَ بِهَا بَاطِلٌ

“Ucapan yang hak (benar), namun digunakan untuk membela kebatilan.” (HR. Ibnu Hibban: 6939, Syaikh Su’aib Al-Arnauth berkomentar, “Sanad hadits ini shahih menurut kriteria Muslim.”)

Minimnya keinginan untuk merujuk pada pemahaman sahabat dalam memahami dalil merupakan awal kekeliruan mereka sekaligus hal ini menunjukkan urgensi untuk menggunakan pemahaman sahabat dalam mengetahui maksud suatu dalil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami mengetengahkan beberapa perkataan para ulama di berbagai kurun waktu mengenai tafsir ayat hukum, ayat yang sering dijadikan landasan untuk membenarkan praktek pengkafiran yang dilakukan secara serampangan.

Tulisan yang berada di hadapan anda ini merupakan terjemahan dari sebuah artikel yang kami temukan tatkala kami sedang mencari-cari tulisan di sahab.org. Betapa senangnya kami melihat artikel ini karena di dalamnya termuat perkataan-perkataan para ulama pembawa petunjuk mengenai ayat hukum, mereka menjelaskan tafsir ayat tersebut serta batasan-batasan kapan seseorang itu dikatakan kafir dan keluar dari Islam apabila dia berhukum kepada selain hukum Allah.

Kami tergerak untuk menerjemahkannya mengingat kita sangat butuh pelurusan terhadap makna ayat ini, yang hal tersebut tidak dilakukan oleh saudara-saudara kita yang gampang mengafirkan sesama kaum muslimin ketika dia melihat mereka berhukum kepada selain hukum Allah, sehingga tidak heran dapat kita lihat dengan mudahnya lisan mereka melontarkan kata-kata kafir kepada kaum muslimin. Wallahul musta’an

Kami berharap dengan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kami dan pembaca, kami memohon kepada Allah agar senantiasa diberikan taufik untuk tetap berada di atas agama-Nya.

Penjelasan Habrul Ummah dan Turjumanul Qur’an (Sang Penafsir al-Qur’an), Sahabat yang mulia Abdullah ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma

‘Ali bin Abu Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang tafsir dari ayat,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. al-Maidah: 44)

Beliau berkata:

مَنْ جَحَدَ مَا أَنْزَلَ اللهُ، فَقَدْ كَفَرَ، وَمَنْ أَقَرَّ بِهِ، لَمْ يَحْكُمْ بِهِ فَهُوَ ظَالِمٌ فَاسِقٌ

“(Maksudnya) adalah barang siapa yang mengingkari kewajiban untuk berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah sungguh dia telah kafir. Dan barang siapa yang mengakui kewajiban untuk berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah namun dia tidak berhukum dengannya maka dia adalah seorang zalim fasik.”

Thawus meriwayatkan dari Ibnu Abbas tafsir beliau yang lain terhadap ayat ini, beliau (Ibnu Abbas) berkata:

“لَيْسَ بِالْكُفْرِ الَّذِي يَذْهَبُونَ إِلَيْهِ”. وَفِي لَفْظٍ: “كُفْرٌ لاَ يَنْقُلُ عَنِ الْمِلَّةِ”. وَفِي لَفْظٍ آخَرَ: “كُفْرٌ دُوْنَ كُفْرٍ، وَظُلْمٌ دُوْنَ ظُلْمٍ، وَفِسْقٌ دُوْنَ فِسْقٍ”. وَلَفْظٍ ثَالِثٍ: “هُوَ بِهِ كُفْرُهُ، وَلَيْسَ كَمَنْ كَفَرَ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ.

“(Kekafiran yang dimaksud dalam ayat tersebut -pent) bukanlah kekafiran sebagaimana yang mereka pahami (yang mengeluarkan pelakunya dari Islam). Dalam suatu lafazh dikatakan: Kekufuran yang tidak mengeluarkan dari agama. Dan dalam lafazh yang lain: Kekufuran yang bukan kekufuran (kufrun duna kufrin), kedzoliman yang bukan kezaliman (zhulmun duna zhulmin) dan kefasikan yang bukan kefasikan (fisqun duna fisqin).”

Dan lafazh ketiga adalah: “Dia telah melakukan suatu bentuk kekufuran namun tidak sama dengan orang yang mengingkari (kufur) terhadap Allah, malaikat-Nya dan para rasul-Nya” (karena kekufuran yang seperti ini mengeluarkan pelakunya dari agama-pent).

Tafsir al-Qurthubi, ketika menjelaskan ayat di atas mengutip pendapat Ibnu Abbas dalam sebuah riwayat menyebutkan bahwa siapa saja yang tidak menghukumi dengan hukum yang diturunkan Allah, maka dia adalah kafir, dan adapun orang yang berhukum dengan dasar tauhid tetapi tidak menghukumi dengan sebagian syari’at tidak termasuk dalam ayat ini.

jadi selama orang berhukum dengan basis tauhid (mempercayai Tuhan dan mempercayai Muhamad sebagai rasul), dan masih belum berhukum dengan sebagain syariat tidak termasukd alam ayat ini; bahkan ayat ini ada yang menganggap khusus untuk orang Yahudi, karena memang rangkaian ayat sebelumnya dan ayat ini berbicara tentang orang-orang Yahudi dan Nashrani

Para Ulama Yang Menegaskan Akan Benarnya Penafsiran Ibnu Abbas Dan Berdalil Dengan Perkataan Beliau

Al Hakim dalam Al Mustadrak (2/393) dan disetujui oleh Adz-Dzahabi, Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (2/64) beliau berkata: Shahih menurut kriteria Syaikhan (Bukhari dan Muslim), Al Imam Al Qudwah Muhammad bin Nashr Al Mawarzi dalam Ta’zhim Qadrish Shalat (2/520), Al Imam Abu Mizhfar As Sam’ani dalam Tafsirnya (2/42), Al Imam Al Baghawi dalam Ma’alimut Tanzil (3/61), Al Imam Abu Bakar Ibnul ‘Arabi dalam Ahkamul Qur’an (2/624), Al Imam Al Qurthubi dalam Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an (6/190), Al Imam Al Baqa’I dalam Nizhmud Duror (2/460), Al Imam Al Wahidi dalam Al Wasith(2/191), Shiddiq Hasan Khan dalam Nailul Maram (2/472), Al Allamah Muhammad Al Amin Asy Syinqhithy dalam Adwa’ul Bayan (2/101), Al Allamah Abu Ubaid al Qosim bin Salam dalam Al Iman(hal.45), Al Allamah Abu Hayyan dalam Al Bahr Al Muhith (3/492), Ibnu Baththah dalam Al Ibanah(2/723), Al Imam Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (4/237), Al Allamah Al Khozin dalam Tafsirnya (1/310), As Sa’di dalam Tafsirnya (2/296), Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (7/312), Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah dalam Madarijus Salikin (1/335), dan Al Albani dalam Ash Shahihah (6/109).

Bahkan seorang tokoh wahhabi di abad ini Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam At Tahdzir min Fitnatit Takfir berkata (hal.68):

لَكِنْ لَمَا كَانَ هَذَا اْلأَثَرُ لاَ يُرْضِي هَؤُلاَءِ الْمَفْتُوْنِيْنَ بِالتَّكْفِيْرِ؛ صَارُوا يَقُولُونَ: هَذَا اْلأَثَرُ غَيْرُ مَقْبُوْلٍ! وَلاَ يَصِحُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ! فَيُقَالُ لَهُمْ: كَيْفَ لاَ يَصِحُّ؛ وَقَدْ تَلَقَّاهُ مَنْ هُوَ أَكْبَرُ مِنْكُمْ، وَأَفْضَلُ، وَأَعْلَمُ بِالْحَدِيْثِ؟! وَتَقُولُونَ: لاَ نَقْبَلُ فَيَكْفِيْنَا أَنَّ عُلَمَاءَ جَهَابِذَةَ؛ كَشَيْخِ اْلإِسْلاَمِ ابْنِ تَيْمِيِّةَ، وَابْنِ الْقَيِّمِ – وَغَيْرِهِمَا – كُلُّهُمْ تَلَقُّوْهُ بِالْقَبُوْلِ وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِهِ، وَيَنْقُلُوْنُهُ؛ فَاْلأَثَرُ صَحِيْحٌ.

“Akan tetapi tatkala atsar ini tidak diterima oleh mereka yang terjangkiti penyakit takfir (pengkafiran kaum muslimin secara mutlak dan tidak memakai kaidah-kaidah dalam mengafirkan seseorang -pent), mereka mengatakan: Atsar ini tidak bisa diterima dan tidak berasal dari Ibnu Abbas. Maka kita katakan kepada mereka: Bagaimana bisa atsar tersebut tidak shahih, padahal atsar tersebut telah diterima oleh orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya, lebih banyak keutamaannya dan lebih tahu tentang hadits daripada kalian? Namun anehnya kalian tetap mengatakan: Kami tidak akan menerimanya. Maka cukuplah bagi kita bahwa para ulama yang benar-benar alim seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim dan lain-lain, semuanya menerima atsar tersebut, berpendapat dengannya dan menukilnya. Alhasil atsar tersebut shahih.”

Al-Imam Ahmad bin Hanbal (wafat tahun 241 H)

Isma’il bin Sa’d berkata dalam Sualaat Ibn Haani (2/192): Aku bertanya kepada Imam Ahmad (tentang firman Allah Ta’ala -pent):

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Kekufuran apakah yang dimaksud (dalam ayat ini-pent)?, maka beliau menjawab:

كُفْرٌ لاَ يَخْرُجُ مِنَ الْمِلَّةِ

“Kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama.”

Dan tatkala Abu Dawud As Sijistaniy bertanya kepada beliau dalam Sualaat (hal.114) tentang ayat tersebut, maka beliau menjawabnya dengan perkataan Thawus dan Atha’ yang terdahulu.

Ibnu Taimiyah menceritakan dalam Majmu’ Fatawaa (7/254), dan muridnya Ibnul Qayyim dalam (Hukmu Tarikish Shalat, hal 59-60): Bahwa Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang makna kufur yang disebutkan dalam ayat hukum, maka beliau berkata:

كُفْرٌ لاَ يَنْقُلُ عَنِ الْمِلَّةِ؛ مِثْلُ اْلإِيْمَانِ بَعْضُهُ دُوْنَ بَعْضٍ، فَكَذَلِكَ الْكُفْرُ، حَتَّى يَجِيءَ مِنَ ذَلِكَ أَمْرٌ لاَ يُخْتَلَفُ فِيْهِ

“Kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama, sebagaimana iman itu bertingkat-tingkat. Demikian pula kekufuran, hingga seseorang melakukan suatu hal yang tidak ada perselisihan di dalamnya (bahwa melakukannya dapat mengeluarkan pelakunya dari agama -pent).”

Al Imam Muhammad Ibn Nashr Al Marwazi (wafat tahun 294 H)

Beliau berkata dalam Ta’zhimu Qadrish Shalat (2/520):

وَلَنَا فِي هَذَا قُدْوَةٌ بِمَنَ رَوَى عَنْهُمْ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالتَّابِعِيْنَ؛ إِذْ جَعَلُوا لِلْكُفْرِ فُرُوعاً دُوْنَ أَصْلِهِ لاَ تُنْقِلُ صَاحِبَهُ عَنْ مِلَّةِ اْلإِسْلاَمِ، كَمَا ثَبَتُوا لِلْإِيْمَانِ مِنْ جِهَةِ الْعَمَلِ فَرْعاً لِلْأَصْلِ، لاَ يَنْقُلُ تَرْكُهُ عَنْ مِلَّةِ اْلإِسْلاَمِ، مِنْ ذَلِكَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ .

“Dan kami memiliki panutan dalam perkara ini, yaitu mereka yang meriwayatkan dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dari para tabi’in. Yaitu mereka menetapkan bahwa kekufuran itu memiliki cabang-cabang, yang tidak mengeluarkan pelakunya (yakni pelaku cabang-cabang kekufuran tersebut -pent) dari Islam sebagaimana mereka menetapkan bahwa suatu amal merupakan cabang iman sehingga yang meninggalkannya tidak keluar dari Islam. Di antaranya adalah penafsiran Ibnu Abbas tentang firman Allah:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Dan beliau juga berkata (2/532) mengomentari perkataan Atha’:

“كُفْرٌ دُوْنَ كُفْرٍ، وَظُلْمٌ دُوْنَ ظُلْمٍ وَفِسْقٌ دُوْنَ فِسْقٍ”-: وَقَدْ صَدَقَ عَطَاءٌ؛ قَدْ يُسَمَّى الْكَافِرُ ظَالِماً، وَيُسَمَّى الْعَاصِي مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ظَالِماً، فَظُلْمٌ يَنْقُلُ عَنْ مِلَّةِ اْلإِسْلاَمِ وَظُلْمٌ لاَ يَنْقُلُ”

“Kekufuran yang bukan kekufuran (kekufuran kecil), kezaliman yang bukan kezaliman (kezaliman kecil) dan kefasikan yang bukan kefasikan (kefasikan kecil)”. Sungguh benar apa yang dikatakan Atha’, karena terkadang seorang yang kafir disebut zalim dan terkadang muslim yang bermaksiat disebut zalim. Jadi ada kezaliman yang mengeluarkan pelakunya dari Islam dan ada kezaliman yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam” 

Cara Menasehati Penguasa

حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارِيَا حِينَ فُتِحَتْ فَأَغْلَظَ لَهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّى غَضِبَ عِيَاضٌ ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِيَ فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ أَلَمْ تَسْمَعْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Mughiroh telah menceritakan kepada kami Shafwan telah menceritakan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid Al Hadlromi dan yang lainnya berkata; ‘Iyadl bin Ghonm mencambuk orang Dariya ketika ditaklukkan. Hisyam bin Hakim meninggikan suaranya kepadanya untuk menegur sehingga ‘Iyadl marah. (‘Iyadl Radliyallahu’anhu) tinggal (menetap) beberapa hari, lalu Hisyam bin Hakim mendatanginya, memberikan alasan. Hisyam berkata kepada ‘Iyadl: Tidakkah kau mendengar Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: " Orang yang paling keras siksaannya adalah orang-orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia?." ‘Iyadl bin ghanim berkata; Wahai Hisyam bin Hakim, kami pernah mendengar apa yang kau dengar dan kami juga melihat apa yang kau lihat, namun tidakkah kau mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: "Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dengan suatu perkara, maka jangan dilakukan dengan terang-terangan, tapi gandenglah tangannya dan menyepilah berdua. Jika diterima memang begitu, jika tidak maka dia telah melaksakan kewajibannya”… (Diriwayatkan Imam Ahmad, hadits no. 14792)

Menurut ta’liq Syu’aib al Arna’uth hadits ini shahih lighairihi selain ucapan مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ dst ("Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa …) lafadz ini adalah hasan lighairihi (karena diperkuat oleh riwayat Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah 2/522 , Abu Nu’aim dalam Ma’rifatus Shahabah 2/121). (maktabah syamilah)

Sikap Kepada Penguasa

Hadits dari ‘Ubadah bin Shamit tentang baiat Aqabah I yang berkata:

وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ 

…Dan agar kami tidak menentang kekuasaan penguasa kecuali (sabda Rasulullah): “jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah” [Shahih Bukhari hadits no. 6532, Shahih Muslim hadits no. 3427, musnad Imam Ahmad no.21623]

Juga hadist:

وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قُلْنَا أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ 

…Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-arang yang kalian benci dan merekapun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian." Kami bertanya; Bolehkah kami menentang mereka, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Tidak, selama mereka menegakkan shalat. [ Ad Darimi hadits no. 2677, Shahih Muslim hadits no. 3447]

Hukum memberontak kepada pemerintah:

BerKata Imam Ibn Khaldun r.h:

ومن هذا الباب أحوال الثّوّار القائمين بتغيير المنكر من العامّة والفقهاء فإنّ كثيرا من المنتحلين للعبادة وسلوك طرق الدّين يذهبون إلى القيام على أهل الجور من الأمراء داعين إلى تغيير المنكر والنّهي عنه والأمر بالمعروف رجاء في الثّواب عليه من الله فيكثر أتباعهم والمتلثلثون بهم من الغوغاء والدّهماء ويعرّضون أنفسهم في ذلك للمهالك وأكثرهم يهلكون في هذا السّبيل مأزورين غير مأجورين لأنّ الله سبحانه لم يكتب ذلك عليهم وإنّما أمر به حيث تكون القدرة عليه قال صلّى الله عليه وسلّم: «من رأى منكم منكرا فليغيّره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه»

: “dan daripada bab ini termasuk hal yang berlaku pada para pemberontak yang bangkit dengan tujuan mengubah kemungkaran dari kalangan orang awam dan para Fuqaha’, kebanyakan mereka yang melazimkan jalan Ibadah dan Agama,mereka bangkit memberontak terhadap pemerintah yang zalim menyeru untuk mengubah kemungkaran dan menyuruh kepada amal makruf dengan harapan memperoleh pahala daripada ALLAH atas usaha itu maka banyaklah pengikut mereka dan orang-orang yang ikut campur bersama mereka daripada kalangan orang-orang yang bodoh dan orang-orang awam, mereka seolah menyiapkan diri mereka kepada kebinasaan dan kebanyakan mereka binasa dalam usaha ini, keadaan mereka berdosa tidak mendapat pahala daripada ALLAH s.w.t krna ALLAH tidak memerintahkan mereka untuk melakukannya tetapi memerintahkan mereka dengan (mengubah kemungkaran) apabila mereka mempunyai kudrat (kemampuan yang cukup) atasnya. Sabda Rasulullah s.a.w (maksudnya): “barangsiapa yang melihat kemungkaran antara kamu maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lidahnya, jika tidak mampu juga hendaklah dengan hatinya”. [Tarikh Ibn Khaldun, jil 1 ms. 200, cet Darul Fikr, Beirut, Cet Kedua].

Lihat betapa para ulama dan cendikiawan Islam telah sepakat akan salahnya memberontak kepada pemerintah muslim. wallahu waliyyul hidayah

================================================
Teks lengkap tafsirnya al-Qurtubi tentang ayat ini yang di jelaskan di atas,bisa dibaca di bawah ini:

[ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون]و [الظالمون] و [الفاسقون]
نزلت كلها في الكفار؛ ثبت ذلك في صحيح مسلم من حديث البراء، وقد تقدم. وعلى هذا المعظم. فأما المسلم فلا يكفر
وإن ارتكب كبيرة. وقيل: فيه إضمار؛ أي ومن لم يحكم بما أنزل الله ردا للقرآن، وجحدا لقول الرسول عليه الصلاة والسلام فهو كافر؛ قال ابن عباس ومجاهد، فالآية عامة على هذا. قال ابن مسعود والحسن: هي عامة في كل من لم يحكم بما أنزل الله من المسلمين واليهود والكفار أي معتقدا ذلك ومستحلا له؛ فأنا من فعل ذلك وهو معتقد أنه راكب محرم فهو من فساق المسلمين، وأمره إلى الله تعالى إن شاء عذبه، وإن شاء غفر له. وقال ابن عباس في رواية: ومن لم يحكم بما أنزل الله فقد فعل فعلا يضاهي أفعال الكفار. وقيل: أي ومن لم يحكم بجميع ما أنزل الله فهو كافر؛ فأما من حكم بالتوحيد ولم يحكم ببعض الشرائع فلا يدخل في هذه الآية، والصحيح الأول، إلا أن الشعبي قال: هي في اليهود خاصة، واختاره النحاس؛ قال: ويدل على ذلك ثلاثة أشياء؛ منها أن اليهود قد ذكروا قبل هذا في قوله: [للذين هادوا] ؛ فعاد الضمير عليهم، ومنها أن سياق الكلام يدل على ذلك؛ ألا ترى أن بعده [وكتبنا عليهم] فهذا الضمير لليهود بإجماع؛ وأيضا فإن اليهود هم الذين أنكروا الرجم والقصاص. فإن قال قائل: [من] إذا كانت للمجازاة فهي عامة إلا أن يقع دليل على تخصيصها؟ قيل له: [من] هنا بمعنى الذي مع ما ذكرناه من الأدلة؛ والتقدير: واليهود الذين لم يحكموا بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون؛ فهذا من أحسن ما قيل في هذا؛ ويروى أن حذيفة سئل عن هذه الآيات أهي في بني إسرائيل؟ قال: نعم هي فيهم، ولتسلكن سبيلهم حذو النعل بالنعل. وقيل: [الكافرون] للمسلمين، و [الظالمون] لليهود، و [الفاسقون]للنصارى؛ وهذا اختيار أبي بكر بن العربي، قال: لأنه ظاهر الآيات. وهو اختيار ابن عباس وجابر بن زيد وابن أبي زائدة وابن شبرمة والشعب أيضا. قال طاوس وغيره: ليس بكفر ينقل عن الملة، ولكنه كفر دون كفر، وهذا يختلف إن حكم بما عنده على أنه من عند الله، فهو تبديل له يوجب الكفر؛ وإن حكم به هوى ومعصية فهو ذنب تدركه المغفرة على أصل أهل السنة في الغفران للمذنبين. قال القشيري: ومذهب الخوارج أن من ارتشى وحكم بغير حكم الله فهو كافر، وعزي هذا إلى الحسن والسدي. وقال الحسن أيضا: أخذ الله عز وجل على الحكام ثلاثة أشياء: ألا يتبعوا الهوى، وألا يخشوا الناس ويخشوه، وألا يشتروا بآياته ثمنا قليلا
komentar | | Read More...

Ringkasan Perbedaan metode aqidah di kalangan madhab Imam ahmad

Penulis : Bagus Rangin on 7 Oktober 2012 | 21.56.00

7 Oktober 2012





Pada dasarnya, perkembangan aqidah Ahlus-Sunnah wal Jamaah mempunyai suatu sorotan yang sangat panjang dan rumit. Ini perlu difahami secara manhaji (metodologi) dan kronologinya secara terperinci. Namun, dalam ruang yang ringkas ini, saya sertakan sedikit sorotan dengan bantuan Allah s.w.t..

Pada zaman AS-Salaf As-Sholeh, isu aqidah adalah suatu isu yang jarang dibahas secara terperinci oleh para ulama'. Ini karena, kebanyakan mereka bersikap wara' dari mendekati membahas-pembahasan berbentuk aqidah, terutama melibatkan masalah nas-nas mutasyabihat yang menjadi salah satu perselisihan ummah dalam masalah aqidah.

Namun, di sebagian tempat seperti Baghdad dan sebagainya, yang mana menyebar perselisihan dalam masalah aqidah, maka sebagian ulama' salaf cenderung untuk membahas masalah aqidah supaya menjadi panduan kepada umat Islam. di Antaranya adalah Imam Abu Hanifah, seorang ulama' yang terkenal dari kalangan ashaab ar-ra'yi. Kemudian, diteruskan pula oleh Imam At-Tahawi yang merupakan murid dari kedua murid Imam Abu Hanifah.

Berbeda dengan pendekatan Imam Malik yang tinggal di Madinah, di mana tidak berhadapan dengan krisis femahaman yang sangat rumit di banding di tempat-tempat yang lainnya. Maka, Imam Malik bersikap menjauhi pembahasan-pembahasan mendalam dan terperinci dalam masalah aqidah. adapun Imam As-Syafi'e yang berguru pada Imam Malik juga mempunyai pendekatan yang sama dengan Imam Malik. Namun, setelah beliau mempelajari manhaj Ar-Ra'yi dari kedua murid Imam Abu Hanifah, maka, Imam As-Syafi'e juga terlibat dalam berdebat dengan beberapa golongan yang sesat dalam masalah aqidah dengan pembahasan yang agak mendalam. Namun, beliau tidak menyusun suatu pembahasan lengkap dalam bidang aqidah tetapi lebih dalam bidang fiqh.

Adapun Imam Ahmad bin Hanbal r.a. adalah dari kalangan para ulama' hadith yang ikut menjauhi pembahasan-pembahasan aqidah secara mendalam. Sehingga beliau menolak pendetailan pembahasan aqidah termasuk dalam masalah Al-Qur'an sebagai kalam Allah. Beliau berselisih pendapat dengan beberapa ulama' besar dalam masalah aqidah terutama yang melibatkan masalah kalam Allah sehingga beliau menolak orang-orang yang mengklaim bahwa Al-Qur'an yang tercatat dalam mashaf sebagai makhluk sedangkan pendirian ini yang dipengang oleh para ulama' lain seperti Imam Al-Bukhari. Imam Ahmad tidak membenarkan sesiapapun membahas adanya pembedaan antara Al-Qur'an sebagai kalam Allah di sisi Allah (kalam nafsi) dengan text yang dibaca oleh manusia dan tertulis dalam mashaf. Ini menggambarkan pendirian wara' Imam Ahmad.

Oleh sebab itu,maka pendirian Imam Ahmad agak keras dalam masalah perbincangan aqidah dengan mendalam, maka, para pengikut mazhab beliau meneruskan pendekatan tersebut. Di samping itu, ilmu aqidah berkembang dalam tiga golongan imam yang lain yaitu kaum Syafi'iyyah, Malikiyyah dan Ahnaf (Hanafiyyah). Kebanyakan ulama' bermazhab AS-Syafi'e dan Maliki mengikut manhaj Imam Al-asy'ari dalam bidang aqidah. Kebanyakan ulama' bermazhab Hanafi mengikuti manhaj Imam Al-Maturidi dalam bidang aqidah. Ini kemudian membentuk ilmu kalam sunni.

Namun, sebagian kaum Hanabilah masih tidak dapat menerima kehadiran ilmu kalam versi sunni ini karena masih terikat dengan bentuk pemikiran tradisi Imam Ahmad ketika menghadapi ilmu kalam versi Mu'tazilah yang menyebabkan Imam Ahmad dipenjara kare na melawan femahaman mu'tazilah tersebut. Maka, kebanyakan Hanabilah terus mencurigai pembahasan ilmu kalam walaupun setelah ilmu kalam itu dimurnikan oleh golongan Al-Asya'irah dan Al-Maturidiyyah.

Namun, kaum Hanabilah tidak sejalan di antara mereka sendiri baik dalam masalah aqidah, usul maupun furu'. walau pun pada awalnya, kebanyakan mereka berpegang dengan pendirian yang tegas menolak ilmu kalam, walaupun itu kalam versi sunni, hal inilah yang  menyebabkan muncul kelompok Hanabilah yang berlebih-lebihan dalam memahami nas mutasyabihat secara literal sehingga membawa kepada faham tajsim. Maka, kemunculan golongan mujassimah dalam kalangan Hanabilah menyebabkan para ulama' Hanabilah lainnya mengunakan ilmu kalam juga untuk menolak Mujassimah Hanabilah tersebut.

Maka, kita bisa simpulkan dalam kelompok Hanabilah ini, pada beberapa pecahan:

Pertama: Mereka yang berpegang dengan manhaj asal Imam Ahmad r.a. yang wara' dalam masalah aqidah tetapi tidak juga melampaui batas yang menjadikan nereka jatuh ke lembah tajsim. di Antara mereka adalah seperti Imam Abu Fadhl At-Tamimi yang dekat dengan Imam Ibn Al-Baqillani Al-Asy'ari. Begitu juga dengan Ibn Qudamah walaupun memiliki sudut agak keras sedikit dalam pendirian beliau terutama dalam menolak ilmu kalam. Begitu juga dengan Ibn Rajab Al-Hanbali dan sebagainya.

Kedua: Sebagian ulama' Hanabilah yang berpegang dengan ilmu kalam versi Sunni seperti Al-Asya'irah dan Al-Maturidiyyah seperti Imam Ibn Adil Al-Hanbali, Imam Ibn Aqil Al-Hanbali, Imam Ibn Al-Jauzi Al-Hanbali, Sultanul Auliya Imam Abdul Qadir Al-Jailani dan sebagainya. Imam Ibn Al-Jauzi terutama, mempunyai kitab yang menolak sebagian Mujassimah yang bersembunyi di balik mazhab Hanbali.

Ketiga: Mereka adalah para Hanabilah yang mempunyai sudut kontroversi tersendiri. Sebagiannya jelas berfaham tajsim dan sebagiannya pula tidak jelas tetapi berpegang dengan manhaj memahami nas-nas mutasyabihat secara literal dan sangat keras terutama menolak Asya'irah  .di Antara mereka yang terawal adalah Al-Barbahari. Kemudian, Ibn Zaghuni, Al-Qadhi Abu Ya'la dan sebagainya. Kemudian, penerus mereka dalam versi baru (Isbat Ma'na Zahir) seperti Ibn Taimiyyah, muridnya Ibn Qayyim Al-Jauziyyah dan sebagainya.

Dua golongan terawal daripada Hanabilah diterima sebagai bagian daripada ahli sunnah wal jamaah. Adapun Hanabilah yang sudah terpengaruh dengan faham Tajsim apakah secara jelas ataupun tidak, maka, itu tidak dinisbahkan kepada ahli sunnah wal jamaah.

Adapun yang mengaku Salafi yang ada hari ini, mereka berbeda dalam tingkat femahaman agama mereka. Ada yang mengikut Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah termasuk dalam bidang aqidah. Ini adalah golongan yang bahaya dalam masalah aqidah. Ada yang tidak memahami secara langsung aqidah Ibn Taimiyyah, tetapi hanya mengikuti pendekatan suka menuduh bid'ah dan sebagainya. tingkat ini berbeda dengan mereka yang bermasalah dalam bidang aqidah. 

Kesimpulan orang yang menganggap bahwa salafi hari ini lahir daripada Tariqoh Imam Ahmad bin Hanbal adalah tidak tepat karena mereka lebih mengikut Ibn Taimiyyah di banding Imam Ahmad. Sedangkan, dalam Hanabilah sendiri terpecah kepada tiga golongan. Hanya dua golongan saja yang benar2 dekat  dengan manhaj Imam Ahmad dan termasuk dalam Ahli Sunnah wal jamaah. Adapun yang terlibat dengan tajsim, maka, ianya tidak mengikuti Imam Ahmad sama sekali.

Wallahu a'lam
komentar (2) | | Read More...

Maksud Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid



Di antara hujjah wahabi dalam mensyirikan dan mengharamkan pembutan masjid dekat quburan orang orang shalih adalah hadis Daripada aisyah r.a "Laknat Allah kepada orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan Nabi mereka sebagai masjid" (Riwayat bukhari dan muslim)

Memang Betul, hadis itu sohih...Tapi bagaimana maksud hadis itu... Orang-orang orientalis pun pandai membaca dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, tetapi salah faham dan memahaminya dengan salah, lalu menolak umat Islam dengan dalil-dalil tersebut. Perbuatan itu juga terlaknat dalam Islam.

Persoalan pertama,  banyak mereka yang salah faham atau buruk sangka. Buruk sangka itu dosanya amat besar. bahkan, fitnah itu lebih besar dari membunuh, dari sudut kemudarathannya, dan semoga Allah s.w.t. memberi hidayah kepada mereka

Adapun hukum ziarah kubur, itu jelas dibolehkan dalam Islam, kecuali sebagian golongan ghulluw dari kalangan Wahhabi yang mengharamkan ziarah kubur karena buruk sangka terhadap sesama muslim. Hal ini sama seperti mengharamkan apa yang halal dalam Islam, sama seperti para rahib Yahudi yang mengharamkan apa yang halal dalam syariat yang diturunkan oleh Allah s.w.t. kepada mereka.

Kita jelaskan makna hadis itu, SUPAYA memberi pemahaman bagi orang-orang yang jahil dan ingin belajar. Adapun terhadap orang yang jahil tetapi tidak mau belajar, melainkan  ta'asub dan sebagainya, maka hanya Allah s.w.t.-lah yang Maha Memberi Hidayah.
Pertama: Hadis ini menerangkan tentang laknat Allah s.w.t. terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani yang "menyembah" para Nabi mereka, bukan larangan membanguun tempat ibadah di sekitar kuburan para Nabi a.s..  
Kedua: Kalau benar orang-orang Yahudi dan Nasrani membangun tempat ibadah (lafazd hadis, masjid) di atas kuburan para nabi a.s., maka dimanakah tempat-tempat ibadah tersebut sekarang ?

Adapun kaum Yahudi, Allah s.w.t. menceritakan kejahatan mereka dengan membunuh para Nabi a.s.. Jadi secara umum mereka yang membunuh para Nabi a.s., tak akan mau membangun masjid-masjid atau tempat ibadah (menurut terjemahan wahabi) di atas kuburan mereka?

Adapun perihal kaum Nasrani, mereka hanya mempunyai satu Nabi yang menjadi panutan mereka, dan membedakan mereka dengan Muslim dan Yahudi, iaitu Nabi Isa a.s.. Persoalannya, dimanakah kubur Nabi Isa a.s.? Dimanakah masjid yang mereka bangun di atas kuburan Nabi Isa a.s. tersebut? 

Jelaslah bahwa, hadis ini tidak berkaitan dengan kuburan para Nabi a.s. itu sendiri, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak pernah membangun tempat ibadah (lafaz hadis: masjid) di atas kubur para Nabi mereka, karena nabi orang-orang Nasrani sendiri tidak mempunyai kubur (iaitu Nabi Isa a.s). Adakah gereja-gereja dibangun atas kubur Nabi Isa a.s.?

Jadi, secara jelas, hadis ini tidak menceritakan tentang kubur itu secara fizikal, dan tidak pula menceritakan tentang perihal membangun tempat ibadah di kawasan kubur. Hanya orang-orang jahil saja yang memahami hadis tersebut dengan terjemahan textual..

Lebih jelas lagi, dalam hadis tersebut, Rasulullah s.a.w. menggunakan perkataan: "membangun masjid". Secara jelas, orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak pernah menamakan tempat ibadah mereka sebagai masjid.  dalam Al-Qur'an  di sebutkan bahwa tempat ibadah yahudi dan nasrani  iaitu "sowa'iq" dan sebagainya. Tempat ibadah Orang-orang Nasrani bukan masjid, tetapi kanisah (gereja). Hanya orang-orang jahil saja yang tidak faham isyarat Rasulullah s.a.w. dalam hadis tersebut, lalu cepat melatah.

Jadi, Rasulullah s.a.w. tidak pernah merujuk perkataan "masjid" dalam hadis tersebut sebagai tempat ibadah (di atas wazan isim makan) tetapi menceritakan tentang hal pengabdian orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap Nabi-nabi mereka, walaupun tanpa membangun tempat ibadah di atas kuburan mereka.

Orang-orang Yahudi menyembah Uzair (dikatakan sebagai anak Tuhan) dan Nasrani menyembah Nabi Isa a.s. yang dikatakan sebagai anak Tuhan juga. Tetapi, mereka tidak pernah membangun tempat ibadah di atas kubur-kubur para Nabi a.s. tersebut. Bahkan, mereka (Yahudi dan Nasrani) juga tidak pernah membangun mesjid masjid seperti lafaz asal dalam hadis tersebut.

Jadi, Hadis ini tidak menceritakan tentang membangun tempat ibadah di kawasan kubur, tetapi menceritakan tentang penyembahan orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap para nabi mereka, walaupun tanpa kuburan.  Itu "point" pertama untuk hadis di atas yang mana tidak ada kaitan dengan membangun mesjid dekat qubur
 ===========================================
Untuk lebih jelasnya kita lihat fatwa ulama yang ada kaitannya dengan hadis di atas;

1. SHOLAT DI DALAM tanah PEKUBURAN
Al qobru adalah tempat dimana manusia dikebumikan sedangkan Al makbaroh berarti pekuburan. Alqobru maupun Al makbaroh adalah tempat yang dimuliakan berdasarkan syariat dikarenakan memuliakan mayyit yang di dalamnya. Oleh karena itu para fuqoha sepakat bahwa menginjak kuburan itu hukumnya makruh sesuai dengan hadist riwayat At tirmidzi juz 1 halaman 123 dan imam At thobroni di kitab Al Ausath halaman 153 Artinya : bahwasannya nabi saw melarang untuk menginjak kuburan . Namun ulama madzhab Malikiyah mengkhususkan kemakruhan tersebut atas kuburan yang menonjol (tidak rata dengan tanah) sebagaiman para ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah mengecualikan (hilangannya kemakruhan) bila menginjak kuburan dikarenakan ada keperluan misalkan bila seseorang tidak bisa mencapai kuburan tertentu kecuali dengan manginjak kuburan yang lain.

Adapun hukum sholat dikuburan maka para ulama madzhab Hanafiyah berpendapat bahwa sholat tersebut dihukumi dengan makruh sesuai dengan pendapat imam Sufyan Atsauri,imam Al Auza’ie dikarenakan pekuburan adalah tempat terduaganya berbagai najis (madzon An najasah) dan juga menyerupai perbuatan orang yahudi. Maka kemakruhan tersebut akan hilang dan menjadi mubah bila di pekuburan tersebut terdapat tempat yang disediakan untuk sholat sehingga tidak ada najis disana dan bersih dari kotoran.

Para ulama Malikiyah berpendapat dibolehkan untuk melakukan sholat di pekuburan baik pekuburan yang ramai/dipakai maupun yang tidak terpakai (sudah usang) sudah tergali maupun tidak,pekuburan muslim maupun non muslim.

Para ulama madzhab Syafi’iyah memberi perincian (tafsil) sabagai berikut:
1. Tidak sah sholat di pekuburan yang tanahnya tergali dengan tanpa khilaf (sepakat) dikarenakan tanah galian tersebut menjadi mutanajjis bercampur dengan nanah orang-orang yang telah mati. Tidak sah tersebut apabila ia tidak menggelar hamparan di bawahnya,adapun apabila ia menggelar hamparan di bawahnya (tikar dan sebagainya) maka menjadi makruh.
2. Namun bila pekuburan tersebut tidak tahaqquq (nyata,jelas) tidak tergali sehingga aman dari najis maka sholatnya sah dengan tanpa khilaf dikarenakan kesucian tempat yang muttasil dengannya. Namun tetap dihukumi makruh tanzih dikarenakan pekuburan adalah tempat timbunan dari najasah.
3. Bila diragukan apakah kuburan tersebut tergali apa tidak?maka ada dua qoul (pendapat) yang paling shohih adalah sholat tersebut sah disertai makruh karena yang ashal adalah kesucian tanah tersebut sehingga tidak bisa dihukumi najis yang disebabkan keraguan. Sedangkan qoul yang menjadi muqobilnya adalah sholat tersebut tidak sah dikarenakan sesuai dengan kaidah: yang ashal adalah ketetapan kefardluan atas dzimmahnya sedangkan dia ragu-ragu dalam pengguguran kefardluan sholat itu padahal kefardluan tidak bisa menjadi gugur disebabkan keraguan.

Para ulama madzhab Hanbaliyah sholat di pekuburan itu hukumnya tidak sah baik pekuburan yang sudah lama maupun yang masih baru,sering digali maupun tidak. Namun demikian tidak boleh dilarang melakukan sholat di tempat yang terdapat satu sampai dua buah kuburan dikarenakan tidak dinamakan pekuburan karena yang dimaksud Al makbaroh adalah nama bagi pekuburan yang mencakup tiga buah kuburan atau lebih. Mereka (Hanabilah) meriwayatkan bahwa segala sesuatu yang termasuk dalam kategori Al makbaroh maka sekalilingnya tidak bisa dipakai untuk tempat sholat. Mereka menyatakan bahwa: BOLEH MELAKUKAN SHOLAT dirumah atau bangunan yang dikubur dirumah tersebut tiga buah kuburan atau lebih sebab yang demikian TIDAK BISA DINAMAKAN AL MAKBAROH (PEKUBURAN). Inilah pernyataan para fuqoha (ulama ahli fiqih) tentang masalah SHOLAT DI PEKUBURAN. Mereka tidak menyinggung-nyinggung masalah sholat DI MASJID YANG ADA KUBURAN DI SAMPINGNYA.

2. SHOLAT DI MASJID YANG ADA KUBURAN DI DALAMNYA

Ada pun melakukan sholat di masjid yang di dalamnya terdapat seorang nabi AS atau orang-orang yang saleh maka sholat tersebut dipandang shah dan legal menurut syari’at bahkan terkadang mencapai derajat kesunnahan. Hal ini berkenaan dengan berbagai dalil dari Al qur’an,As sunnah,perbuatan para sohabat dan IJMA’ FI’LI dari kalangan umat islam.

* SUMBER DARI AL QUR’AN
Dalil yang diambil dari Al qur’an tersebut terdapat dalam firman Allah SWT surat Al kahfi ayat 21: Artinya: maka mareka berkata segolongan diantara penduduk kota :Dirikanlah bangunan dimuka pintu gua”. Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka berkatalah orang yang dapat mengalahkan golongan pertama Demi Allah kami akan menjadikan di atas tempat mereka sebuah masjid (untuk mendapatkan berkah mereka).(Terjemah Al qur’an Al bayan oleh prof.TM Hasby As shiddiqi).

Wajah istidlal dari ayat ini adalah bahwa ayat tersebut memberi isyarat tentang kisah Ashabul kahfi ketika orang-orang menemukan gua pembaringan mereka sehingga orang-orang ada yang mengatakan kita buat bangunan ada juga yang mengatakan sungguh akan kami jadikan tempat ini sebagai masjid untuk mengenang dan mencari keberkahan dari mereka.
- Siyaq (konotasi) dari ayat tersebut menunjukkan bahwa ucapan yang pertama adalah ucapan orang-orang musyrikin sedangkan ucapan yang kedua adalah ucapan orang-orang yang bertauhid (muwahhidin). Namun ayat tadi mencampakkan kedua perkataan dengan tanpa pengingkaran. kalau saja ada hal yang bathil maka tentu yang pantas dan sesuai adalah ayat tersebut memberi tanda atau isyarat dengan sebuah qorinah.
Adapun penetapan kedua macam ucapan dari kedua ayat tersebut itu menunjukkkan bahwa adanya keberlangsungan syari’at bagi kedua glongan tersebut,yakni sayri’at musyrikin dan sayri’at muwahhidin. Namun kita perhatikan bahwa statemen ayat menyebutkan ucapan-ucapan muwahhidin dengan sebuah siyaq (konotasi bahasa) yang memberikan faidah pujian
dengan indikasi diperbandingkannya dengan ucapan orang-orang musyrik yang berkonotasi keraguan, sedangkan ucapan Al muwahhidin berkonotasi kepastian (menggunakan la ibtida’ dan nun taukid: LANATAKHIDZANNA ) sebagai pancran dari pandangan keimanan,yakni mereka bukan sekedar hanya mau mendirikan bangunan namun mereka akan mendirikan masjid tempat beribadah dan menyembah Allah SWT. Ucapan semacam ini bahwa mereka adalah kaum atau kelompok yang mengenal Allah SWT dan mengetahui cara beribadah dan melakukan sholat:

Imam Al Razi dalam tafsirnya mengatakan:…..Artinya kami menyembah Allah dan beribadah kepadanya dan kami membangun masjid ini untuk mengenang petilasan Ashabul kahfi.(tafsir Al Razi juz 11 halaman 106 daar el- fikr).

* Al imam As syaukani berkata: dalam ayat tersebut memberi isyarat bahwa penyebutan mereka menjadikan masjid menunjukkan ucapan atau perkataan orang-orang muslim dari glongan yang dapat mengalahkan golongan pertama. Ada pula yang mengatakan mereka itu adalah kerabat penguasa dan para pejabat dikarenakan mereka mengalahkan pendapat dari
selain mereka. Namun pendapat yang pertama itulah yang lebih tepat (tafsir fath Al qodir juz 2 halaman 277).
Dan juga pendapat ahli tafsir lain lihat:


  فقد روى ابن أبي حاتم في تفسيره عن السدي فقال الملك : لأتخذن عند هؤلاء القوم الصالحين مسجدا فلأعبدن الله حتى أموت فذلك قوله ( قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَّسْجِدًا ) ( تفسير ابن أبي حاتم - ج7 ص2353) .

 وقال الطبري في تفسيره : " وقد اختلف في قائلي هذه المقالة أهم الرهط المسلمون أم هم الكفار ؟ وقد ذكرنا بعض ذلك فيما مضى … " ثم نقل قول عبد الله بن عبيد بن عمرو : " عمّي الله على الذين أعثرهم على أصحاب الكهف مكانهم فلم يهتدوا فقال المشركون : نبني عليهم بنيانا فإنهم آباء أبنائنا ونعبد الله فيها ، وقال المسلمون : بل نحن أحق بهم هم منا نبني عليهم مسجدا نصلي فيه ونعبد الله فيه " ( تفسير الطبري - ج9 ص281) 

 ..وقال الواحدي في ( الوسيط ) : " ( قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ ) وهم المؤمنون الذين لم يشكوا في البعث الملك وأصحابه ( لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَّسْجِدًا ) " ( الوسيط - ج3 ص141 ) .

 .وقال ابن الجوزي في ( زاد المسير ) : " قوله تعالى : ( قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ ) قال ابن قتيبة : يعني المطاعين والرؤساء قال المفسرون : هم الملك وأصحابه المؤمنون اتخذوا عليهم مسجدا " ( زاد المسير - ج5 ص91) .

  وقال البغوي في تفسيره : " ( إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ ) قال ابن عباس : يتنازعون في البنيان ، فقال المسلمون : نبني عليهم مسجدا يصلى فيه الناس لأنهم على ديننا ، وقال المشركون : نبني عليهم بنيانا لأنهم من أهل ديننا " ( تفسير البغوي - ج3 ص129 ) .

وقال الشوكاني في ( فتح القدير 
( قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَّسْجِدًا ) ذكر اتخاذ المسجد يشعر بأن هؤلاء الذين غلبوا على أمرهم هم المسلمون ، وقيل هم أهل السلطان والملك من القوم المذكورين فإنهم الذين غلبوا على أمر من عداهم ، والأول أولى قال الزجاج : هذا يدل على أنه لما ظهر أمرهم غلب المؤمنون بالبعث والنشور لأن المساجد للمؤمنين " ( فتح القدير - ج3 ص329)



SUMBER DARI AS SUNNAH

Sumber dari As sunnah yaitu hadits Abu busheir r.a yang di riwayatkan oleh Al hafidz Abdurrozaq:bahwa Abu busheir membelot dari tangan orang-orang musyrik setelah Suluh Al hudaybiah,kemudian dia berangkat menuju Saif Al bahr dan Abu jandal ibn Suheil menyusulnya kemudian sehingga orang-orang berbondong- bondong menyusul mereka berdua sampai berjumlah 300 orang. Abu busheir lah yang mengimami sholat mereka beliau pernah mengatakan : Allah adalah dzat yang maha luhur dan maha agung # barang siapa membela Allah maka ia akan ditolong Maka ketika Abu jandal menyusul Abu busheir,Abu jandal lah yang mengimami kaum tersebut Diceritakan apabila rombongan kafir quraisy melintasi meraka pastilah mereka menyandra dan membunuh mereka. Pada akhirnya kafir quraisy mengutus delegasi ke nabi SAW memohon perdamaian dan hubungan persahabatan mereka menyatakan siapapun dari kaum Abi busheir yang tunduk kepada nabi SAW (berkaitan dengan perdamaian Al hudaibiyah) maka dia aman dan dilindungi. Kemudian nabi SAW manulis sepucuk surat untuk Abi jandal dan Abi busheir supaya mendatangi beliau beserta orang-orang islam anak buah mereka berdua. Ketika surat nabi SAW sampai kepada Abi jandal Abu busheir pun meninggal dunia dalam keadaan membaca dan surat dari nabi SAW itu berada di genggangaman tangannya MAKA KEMUDIAN ABU JANDAL MENGUBURKANNYA DAN MEMBANGUN MASJID DIATAS KUBURANNYA. (Riwayat Ibnu Abdil bar di kitab Al isti’ab juz 4 halaman 1614,Ar roudhul Al unf juz 4 halaman 59,Ibnu Sa’ad di kitab At tobakot Al kubro juz 4 halaman 134,As siroh Al halabiyah juz 2 halaman 270,Musa ibn Uqbah di kitab Al maghozi,Ibnu Ishaq di kitab As siroh).(Imam Malik ibn Anas mengatakan hendaklah kalian berpegangan kepada kitab Al maghozi seorang laki-laki yang saleh yaitu Musa ibn Uqbah karena kitab tersebut adalah kitab yang paling shohih diantara kitab Maghozi yang lainnya,Yahya ibn Ma’in berkata kitab Musa ibn Uqbah adalah kitab yang paling shohih).

Adapun perbuatan para shohabat r.a sangat jelas kita dapati ketika merekabersikap atas kejadian penguburan rasulillah SAW dan perbedaan pendapat mereka,yakni apa yang diriwayatkan imam Malik ibn Anas r.a beliau berkata: orang-orang berkata sebaiknya nabi di kubur di samping MIMBAR,sedangkan yang lain berkata di kubur di BAQI saja,tiba-tiba Sayyidina Abu bakar As siddiqh datang dan seraya berkata: aku mendengar nabi SAW bersabda tidak di kubur seorang nabi melainkan ditempat dimana ia meninggal ……pada akihrnya nabi pun di kebumikan di tempat itu (Kamar aisyah r.ha). (kitab Al muatto’ juz 1 haaman 231).

Wajah istidlal dari hadits di atas adalah:

1. bahwa para shohabat Nabi SAW mengusulkan bahwa hendaknya Nabi SAW di kebumikan di samping mimbar dimana mimbar tersebut bagian dari dalam masjid nabawi,dan usulan ini tidak diingkari oleh serang shohabat pun.

2.Sayyidina Abu bakar r.a tidak menyetujui usulan ini BUKAN KARENA KEHARAMAN MENGUBUR NABI SAW DI DALAM MASJID,namun karena beliau menyesuaikan sendiri dengan perintah Nabi SAW untuk di kebumikannya ditempat dimana beliau meninggal.


Kalau kita pikirkan tentang pemakaman Nabi SAW di tempat itu di mana tempat tersebut bersambung langsung dan berhubungan langsung dengan masjid yang digunakan untuk sholat begitu pula tidak jauh dengan kejadian mendirikan masjid disamping ruangan yang terdapat kuburan orang-orang solih atau para aulia di zaman kita sekarang ini,yang berarti kuburan tersebut nyambung dengan masjid sedangkan orang-orang melakukan sholat di pelataran/ruangan di luar ruangan makam tersebut.

Memang ada yang menentang pendapat ini,si penentang tersebut mengatakan bahwa: hal ini khusus bagi Nabi SAW. Padahal itu tidak benar sebab khususiah bagi nabi SAW membutuhkan dalil yang menyatakan khususiah,maka hukum pun berlaku sesuai dengan asalnya yakni hukum sesuai dengan asal yang menyeluruh bagi siapapun selagi tidak ada dalil yang menyatakan khususiah.

 Sehingga jelaslah bahwa pendapat yang menyatakan hal tersebut adalah khususiah bagi Nabi SAW itu pendapat yang BATHIL…!. Apalagi di samping nabi dikubur juga dua orang sahabatnya yang terkemuka yaitu Sayyidina Abu bakar r.a dan Sayyidina Umar ibn Khottob r.a. Apakah itu khususiah juga?? sedangkan kita pun tahu bahwa siti Aisyah r.ha selalu melakukan sholat baik sholat fardhu maupun sholat sunnah di kamar tersebut…..bukan kah ini perbuatan shohabat yang disepakati/diijma’ atas kebolehannya….???

SUMBER DARI IJMA’ FI’LY (KONSENSUS)

Hal ini adalah termasuk perkara yang telah disepakati akan keboehan melakukan sholat baik oleh kalangan salaf maupun kholaf bahwa kaum muslimin melakukan sholat di masjid Nabi SAW maupun di masjid-masjid yang terdapat kuburan-kuburan para sholihin dengan TANPA DIINGKARI. Begitu juga iqror para ulama yang tujuh orang di madinah yang telah sepakat untuk memasukkan Al hujroh As syarifah (kamar yang mulia) kedalam masjid nabawi,dimana di dalamnya terdapat tiga buah kuburan. Para fuqoha As sab’ah (tujuh ahli fiqih kalangan tabi’in) tidak ada yang menentang hal ini kecuali IMAM SA’ID IBNUL MUSAYYIB. Beliau menentang bukannya memadang keharaman melakukan sholat di masjid itu dikarenakan ada kuburan akan tetapi dikarenakan beliau berkeinginan agar supaya kamar yang mulia itu tetap utuh dan bisa dilihat oleh orang-orang islam sehingga orang-orang islam dapat mengetahui bagaimana perihidup baginda Nabi SAW agar mereka dapat melakukan kezuhudan dari dunia............


MENJADIKAN KUBURAN MENJADI MASJID (TEMPAT BERSUJUD) BUKAN BERARTI MASJID YANG TERDAPAT KUBURAN DISAMPINGNYA

Adapun menjadikan kuburan sebagai masjid yang laranganya terdapat dalam hadits Nabi SAW riwayat imam bukhori muslim (muttafaq alaih) juz 1 halaman 446,shohih muslim juz 1 halaman 376 Artinya: Allah melaknat orang- orang yahudi dan nasrani karena mereka menjadikan kuburan-kuburan Nabi mereka sebagai tempat sujud,imam muslim menambahkan dan orang-orang sholih mereka.
Para ulama ummat islam ini tidak mengartikan dan memahami bahwa hadits tersebut adalah sebuah larangan untuk membangun masjid yang bersambung atau menempel dengan kuburan Nabi atau orang sholih,para ulama mengartikan menjadikan kuburan menjadi masjid DENGAN PEMAHAMAN YANG BENAR yaitu dengan menjadikan kuburan itu sendiri sebagai tempat sujud sehingga bersujud DI ATAS QUBUR UTK MENSUJUDI PENGHUNINYA ATAU menghadap kuburan itu dijadikan ibadah seperti yang dilakukan orang Yahudi dan Nasrani seperti apa yang dikatakan Allah SWT dalam Al qur’an surat At taubah ayat 31:
Artinya: Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah juga Al masih putra maryam,padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah tuhan yang satu tidak ada tuhan selain DIA maha suci DIA dari apa yang mereka sekutukan (QS.At taubah ayat 31).

Inilah makna dari sujud yang dilaknat dari Allah SWT atau menjadikan kuburan sebagai kiblat bukan kiblat yang sesungguhnya yang telah disyari’atkan sebagaimana yang dilakukan oleh kafir ahli kitab ketika mereka melakukan sholat dengan menghadap kuburan-kuburan pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka. Itulah pemahaman para ulama dari larangan tersebut.
Maka hendaknya bagi kaum muslimin supaya mengetahui bentuk larangan dari hadits tersebut,objek larangannya terletak yang bagaimana? bukan lantas memandang perbuatan orang-orang islam di masjid-masjid mereka kemudian dikatakanlah bahwa hadits di atas adalah ditujukan untuk orang-orang islam dimana perbuatan yang semacam ini adalah perbuatan kaum KHOWARIJ… …naudzu billahi min dzalik…… sebagimana yang dikatakan oleh sohabat ibnu umar r.a bahwa kaum KHOWARIJ menggunakan ayat yang diturunkan untuk orang-orang musyrik kemudian menjadikan ayat tersebut ditujukan untuk orang-orang islam.
Padahal kita tahu dimanapun tidak ada gereja orang Kristiani maupun sinagog orang Yahudi daLam bentuk masjid milik kaum muslimin dimana masjid tersebut bersambung dengan Nabi atau orang-orang sholih sampai zaman sekarang ini.
Para ulama memahami murod hasits diatas dengan pandangan yang tajam sesuai dengan apa yang terlihat jelas dari komentar-komentar mereka disyarah-syarah kitab hadits diantaranya adalah
1. As Syeikh As Sindi berkata: Maksud hadits ini adalah Nabi SAW memberi peringatan kepada ummatnya agar jangan sampai menjadikan kuburannya seperti apa yang diperbuat oleh orang Yahudi dan Nasrani yang mereka menjadikan kuburan-kuburan Nabi mereka sebagai tempat sujud,adakalanya bersujud menghadap kuburan itu dengan ta’dzim atau menjadikan kuburan itu sebagai kiblat dalam sholat mereka. Lain halnya sekedar membangun masjid disamping kuburan orang sholih karena tabarruk (mencari keberkahan) maka hal ini tidak dilarang.
2. Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolany dan para ulama lain yang mensyarahi kitab SUNAN menukil perkatan Al qodhi Al baidhowi beliau mengatakan: ketika orang Yahudi bersujud kepada kuburan para Nabi karena ta’dzim atas keluhuran mereka dan menjadikan kuburan mereka sebagai kiblat sehingga mereka menghadap para Nabi mereka di dalam shalat pada akhirnya Mereka menjadikan kuburan-kuburan itu menjadikan berhala sesembahan maka Allah SWT MELAKNAT MEREKA DAN ORANG-ORANG ISLAM PUN DILARANG UNTUK MELAKUKAN YANG SEMACAM INI.
Adapun orang menjadikan masjid atau membangunnya disamping kuburan orang sholih atau melakukan sholat di samping pekuburannya dengan tujuan istidzhar dengan ruhnya dan tersampaikan efek ibadah orang tersebut bukan dengan tujuan ta’dzim DGN menghadap kuburan tersebut (di dalam sholatnya) maka tidak mengapa dan tidak berdosa,bukan kah Nabi Ismail As dikuburkan di masjidil harom di tempat yang bernama AL HATHIM?! kemudian kita tahu bahwa masjid tersebut adalah tempat yang paling afdhol untuk melakukan sholat dan beribadah kepada Allah SWT dan berdo’a di tempat itu. Adapun larangan sholat dikuburan itu khusus untuk kuburan yang telah tergalitanahnya dikarenakan bahwa pekuburan itu terdapat banyak najis.(FATHUL BARI syarah SHOHIH AL BUCHORI juz 1 halaman 524,sayrah AL ZARQONI juz 4 halaman 290,FAIDLUL QODIR juz 4 halaman 466)
3. Al Mubarok Fury berkata: At Turbasyty berkata: Hadits tersebut dapat diartikan dengan dua wajah:
• Mereka bersujud kepada kuburan Nabi mereka karena ta’dzim dan beribadah
• Mereka bersengaja untuk melakukan sholat di kuburan para Nabi dengan menghadapkan diri mereka ke kuburan tersebut ketika sholat padahal ibadah (menyembah) hanya kepada Allah SWT,mereka berfikirkan bahwa perbuatan tersebut itu lebih diakui oleh Allah SWT.(TUHFATUL AHWADZI SYARAH SUNAN AT TIRMIDZI juz 2 halaman 226)

Dari statemen-statemen di atas dapat kita simpulkan bahwa melakukan sholat di masjid yang terdapat kuburan di sampingnya itu sah dan tidak makruh apalagi haram. Adapun bila kuburan itu berada di masjid maka tidak sah menurut madzhab imam Ahmad ibn Hanbal namun sah menurut tiga madzhab yang lainnya dan boleh dilakukan. Puncak dari permasalahan mereka semua berkata: makruh melakukan sholat dengan kuburan di depan tempat sholat mereka dikarenakan menyerupai sholat kepada mereka seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi
komentar (11) | | Read More...

Gejala membid'ahkan masalah khilafiyah adalah buah kejahilan

Penulis : Bagus Rangin on 3 Oktober 2012 | 00.17.00

3 Oktober 2012



shaykh hamza yusuf


Fenomena terburu-buru dalam sesuatu memang merupakan salah satu sifat yang amat tercela dalam Islam, kecuali dalam beberapa perkara yang disarankan oleh Rasulullah s.a.w. dalam hadis-hadis Baginda s.a.w.. Hakikatnya, selain dari perkara-perkara tersebut, terburu-buru dalam urusan merupakan suatu bentuk tipu daya syaitan terhadap manusia.

Fokus utama di sini ialah mengenai gejala sebagian penuntut ilmu dewasa ini, yang lagi dalam proses pembelajaran dalam bidang ilmu agama Islam, namun sudah pandai mengkritik, menyalahkan dan berdebat dalam perkara-perkara yang diperselisihkan ulama’ mengenainya. Barangkali, mereka merasakan, setelah membaca beberapa buku sebagian para ulama’ yang mengkritik dan membuat ulasan ilmiah terhadap suatu perkara ilmiah tersebut, mereka sudah merasa cukup untuk terlibat sama dalam menyuarakan pandangan mereka, sekaligus meletakkan diri mereka setaraf dengan para ulama’.

Golongan penuntut ilmu yang bersikap demikian memang tidak dapat menjadi seorang ulama’ masa depan yang berkualiti. karena, mereka tergesa-gesa dalam melibatkan diri terutama dalam menyalahkan golongan yang mengamalkan suatu perkara yang diperselisihkan ulama’ mengenainya.

Gejala membid’ahkan amalan bacaan yasiin malam Jumaat, membid’ahkan amalan menghidupkan malam Nisfu Sya’ban, membid’ahkan golongan yang berzikir secara keras dalam keadaan berjamaah, dan sebagainya, merupakan ciri-ciri utama golongan penuntut ilmu yang dangkal dalam bidang ilmu agama itu sendiri.

Mereka berlagak bagai ulama’ dengan hujjah “nas-nas” yang mereka sangka, sudah cukup untuk menuduh suatu golongan yang lain itu salah atau sebagai pelaku bid’ah.

Hasilnya, banyak di kalangan golongan penuntut ilmu ini lantang membid’ahkan perkara-perkara tersebut, dengan alasan, tidak menjumpai dalil atau sandarannya dalam Islam. Kalaulah Al-Qur’an dalam kepala, Kutub Sittah (buku hadis yang enam) pernah dikhatamnya, dan buku-buku fiqh Islam yang utama sudah selesai dipelajarinya, tidak apalah jika mau menyatakan sesuatu itu bid’ah krn tidak menjumpai dalilnya dari nas-nas Islam.

sedangkan Ini tidak. Baru sedikit pernah baca buku Sifat Solat An-Nabi karangan Sheikh Al-Albani (itu pun baca terjemahan buku tersebut) dan sebagainya, sudah berani menuduh suatu amalan itu bid’ah. Memang, tidak dapat dinafikan, ada yang membaca jenis buku-buku yang “suka bid’ah membid’ahkan” ini, lalu terpengaruh dengan uslub dan pemikiran penulis buku tersebut lantas terlibat sama dalam membid’ahkan sesama Islam.
Kami tidak layak untuk membicarakan tentang ulama’ yang melibatkan diri mereka dalam kencah “bid’ah membid’ahkan amalan khilafiyah” tersebut, krn para ulama’ yang lebih muktabar pun sudah menjawab tuduhan-tuduhan mereka. Skop perbincangan di sini tidak lebih dari mengajak diri sendiri dan saudara seperjuangan yang masih dalam peringkat “penuntut ilmu”, supaya tidak terfitnah dan keliru dengan “gejala bid’ah-membid’ahkan” ini, krn sekurang-kurangnya, untuk menyatakan sesuatu itu bid’ah, mesti pernah khatam Al-Qur’an, Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim dan kitab-kitab sunan yang lain, untuk membuat kesimpulan bahwa sesuatu itu merupakan perkara yang bid’ah.

Bahaya Membid’ahkan Sesuatu Tanpa dasar Ilmu yang Kuat

Dewasa ini, banyak dari kalangan golongan penuntut ilmu yang ghairah membid’ahkan sesuatu amalan khilafiyah krn terpengaruh dengan karangan-karangan beberapa ahli agama yang menimbulkan perkara-perkara tersebut. Namun, tanpa bercermin pada diri mereka sendiri, mereka turut berlagak seperti ahli-ahli agama dengan turut membid’ahkan sesuatu amalan khilafiyah tersebut.

Padahal, para penuntut ilmu tidaklah mempunyai latar belakang ilmu seperti golongan ulama’ yang berbicara mengenainya.

Contohnya, Sheikh Al-Albani yang terjerumus dalam lembah “bid’ah-membid’ahkan suatu amalan khilafiyah” dan berpendapat bahwa, hanya pendapatnya sajalah yang benar dalam setiap masalah yang diutarakannya (rujuk buku Sifat Solat An-Nabi s.a.w.), sekurang-kurangnya beliau mempunyai sedikit latar belakang ilmu dalam bidang hadis, walaupun  banyak juga ulama’ mempermasalahkan beliau krna tidak mempunyai latar belakang ilmu usul fiqh yang mantap. Sekurang-kurangnya, beliau sudah pernah mengkhatamkan buku-buku hadis.

Kalau kita merenung krmbali diri masing-masing sebagai ahli penuntut ilmu, kita belum pernah mengkhatamkan buku hadis Sahih Al-Bukhari pun, namun sudah bersuara seperti suara-suara ulama’ yang terlibat dalam gejala bid’ah-membid’ahkan tersebut.

Oleh karena itu, penuntut ilmu tidak selayaknya menjerumuskan diri dalam tingkah para ulama’, apatah lagi menjadi pihak yang menyalahkan golongan yang mengamalkan sesuatu amalan khilafiyah tersebut.

Ingatlah, banyak dari kalangan golongan tersebut (penuntut ilmu yang terlibat dalam bidang bid’ah-membid’ahkan suatu amalan khilafiyah), berpegang kepada konsep: “tiada bid’ah hasanah”. Oleh sebab itu, dalam pandangan mereka, apabila mereka membid’ahkan suatu amalan dan pengamal amalan tersebut, secara tidak langsung, mereka telah menuduh pengamal-pengamal amalan tersebut sebagai golongan yang sesat.

Hal ini secara tidak langsung menunjukkan, golongan penuntut ilmu tersebut sudah sampai berani menuduh sesama orang Islam sebagai golongan sesat krna menuduh amalan yang meraka lakukan sebagai Bid’ah Dholalah (krna tiada bid’ah hasanah menurut mereka).

Ingatlah, Rasulullah s.a.w. sering mengingatkan bahwa, jika seorang muslim menuduh muslim yang lain sebagai kafir, maka salah seorang darinya akan jatuh kafir. Hal ini menunjukkan, kalau orang yang dituduh sesat tersebut, tidak sesat di sisi Allah s.w.t., maka hukum sesat tersebut akan menimpa kembali atas orang yang menuduh tersebut.

Jangan anggap, mengatakan sesuatu itu bid’ah, adalah merupakan suatu perkara yang remeh. Kalau bid’ah dari sudut syarak itu sendiri, menurut majorias ahli usul fiqh, merupakan suatu perkara yang mendatangkan kesesatan, dan pengamalnya akan dijatuhkan hukuman yang berat dalam Islam.

Kalaulah kita tidak mampu menilai, yang mana dinamakan bid’ah dari sudut bahasa, dan yang mana dinamakan bid’ah dari sudut istilah syarak, maka lebih baik kita menjauhkan diri kita dari menuduh sesuatu itu bid’ah apatah lagi menuduh pelakunya sebagai pengamal bid’ah.

Perkara-perkara Khilafiyah Bukan Berarti Bid’ah


Mafhum Ikhtilaf/khilafiyyah (Perselisihan)

Ikhtilaf berarti, perbedaan atau perselisihan pendapat dalam kalangan para ulama' dalam perkara-perkara syar'iyyah, yang melibatkan perkara-perkara furu'.

Medan Ikhtilaf:

Perselisihan atau ikhtilaf pendapat sesama para ulama' berlaku dalam perkara-perkara furu' (cabang) yang lahir daripada dalil-dalil syarak yang zhonniyah (samar).

Adapun zhonniyah (samar) muncul dari dua sudut iaitu, zhonniyatu As-Thubut (samar tentang kesahihan dalil itu sendiri) dan zhonniyah Ad-Dilalah (samar tentang maksud sebenarnya dari dalil itu sendiri).

Sheikh Yusuf Al-Qaradhawi berkata: adapun sebagian besar daripada hadith-hadith Nabi s.a.w. itu bersifat zhoniyatu As-Thubut (samar dari sudut kesahihannya) dan zhonniyatu Ad-Dilalah, sedangkan sebagian besar daripada nas-nas Al-Qur'an terdiri daripada zhonniyatu Ad-Dilalah (samar maknanya). (min ajli sohwah rasyidah oleh Sheikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, m/s 52)

Hasilnya, kebanyakkan daripada nas-nas Al-Qur'an dan As-Sunnah mengandung zhonniyah (samar) yang menjadi medan para untuk para ulama' berijtihad dalam mengeluarkan suatu hukum.

Sheikh Dr. Muhammad Abu Al-Fath Al-Bayyanuni berkata: "Perselisihan berlaku pada perkara-perkara furu' bukan pada perkara-perkara usul.

Yang dimaksudkan dengan perkara-perkara furu' (cabang) adalah, perkara-perkara yang biasanya terbit daripada dalil-dalil yang zhonni (samar), apakah dari sudut maknanya (Ad-Dilalah) atau dari sudut kesahihannya (As-Thubut), apakah perkara-perkara tersebut berkaitan dengan masalah aqidah ataupun masalah fiqh. 

Yang dimaksudkan dengan perkara-perkara usul di sini adalah perkara-perkara yang besar (pokok) yang lahir daripada dalil-dalil yang qathi (jelas) apakah dari sudut maknanya atau dari sudut kesahihannya (As-Thubut), apakah perkara-perkara usul tersebut berkaitan dengan masalah aqidah atau masalah fiqh.

Contoh masalah-masalah usul yang qothi dalam aqidah adalah: pembahasan tentang iman kepada Allah s.w.t. dan sifat-sifatNya, keimanan kepada malaikat, para rasul, hari akhirat dan sebagainya.

Antara contoh-contoh masalah furu' dalam aqidah adalah: pembahasan tentang sifat Kursi, tentang yang mana dulu antara timbangan amal atau telaga haud dan sebagainya.

di Antara contoh-contoh masalah usul dalam fiqh qothi : kewajiban solat lima waktu, penjelasan tentang bilangan solat-solat wajib, kewajiban zakat, kewajiban berpuasa, kewajiban haji dan sebagainya.

di Antara contoh-contoh masalah furu' dalam fiqh: bacaan ma'mum di belakang imam, pembahasan tentang angkat tangan dalam solat, kaifiyat solat witir dan hukumnya, dan sebagainya, yang sangat banyak." (dirasaat fi Al-Ikhtilafat Al-Ilmiyyahkarangan Dr. Muhammad Abu Al-Fath Al-Bayynuni, m/s 32-33)

Imam Ibn Hazm berkata: "Kebanyakkan perselisihan ahlus sunnah wal-jamaah adalah dalam fatwa (perkara-perkara fiqh), dan sedikit dalam perkara aqidah" (Al-Fisol fi Al-Milal wa An-Nihal 2/111)

Hal ini menunjukkan bahwa, para ulama' berselisih dalam perkara-perkara furu', kebanyakkannnya dalam masalah fiqh dan sedikit dalam masalah aqidah.

Adapun dalam masalah fiqh ini, seseorang ulama' yang berinteraksi dengan nas-nas zhonniyah (samar) untuk mengeluarkan hukum daripadanya, dikenal sebagai proses berijtihad.

Mafhum Ijtihad:

Para ulama' Usuliyyin (usul fiqh) berkata:

"Ijtihad ialah, sesuatu kesungguhan dalam mengeluarkan hukum-hukum syar'iyyah daripada dalil-dalil syarak" (tashil al-wusul karangan Imam Al-Mahlawi m/s 320)

Sheikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi berkata: "Ijtihad ialah, menggunakan seluruh usaha dan keupayaan, dan bersikap lapang selapang-lapangnya (tidak jumud), dalam menggali hukum-hukum syarak daripada dalil-dalilnya (syarak), dengan jalan penelitian akal dan menggunakan pemikiran." (min ajli sohwah rasyidah m/s 51)

Syarat berijtihad sangat banyak dan teliti, yang mana, siapa yang tidak memiliki syarat-syarat tersebut, maka dia bukanlah ahli dalam berijtihad. Syarat-syarat tersebut disebutkan dalam buku-buku usul fiqh.

Maka, ijtihad adalah berkaitan dengan pendapat-pendapat ulama'-ulama' yang ahli dalam berijtihad, berkenaan dengan hukum-hukum yang dikeluarkan daripada dalil-dalil syarak, yang mana, kebanyakkannya bersifat zhonni.

Dr. Al-Qaradhawi berkata lagi:

Dua situasi yang memerlukan kepada ijtihad:

Pertama: Apabila tidak ada nas tentang sesuatu perkara, sebagai rahmat dari Allah s.w.t., agar diberi ruang ijtihad. Para ulama' selalu menggunakan kaedah qiyas, maslahah mursalah dan sebagainya.

Kedua: Apabila nas-nas tersebut bersifat zhonni (samar) apakah dari sudut makna (Ad-Dilalah) atau kesahihan (As-Thubut)." (ibid m/s 51-53)

Faktor utama yang menyebabkan berlakunya perselisihan dalam memahami nas-nas zhonni adalah: perbezaan kadar dan kemampuan dan ilmu antara para ulama' itu sendiri.

Berbedanya akal mereka menyebabkan berbedanya ijtihad mereka dalam memahami nas-nas yang samar tersebut.

Nas-as qat'ie (jelas) + femahaman yang sama = kesepakatan pendapat

Nas-nas zhonni + perbedaan kadar akal dan ilmu para ulama' = perbedaan ijtihad

Maka, hasilnya, perselisihan dan perbedaan pendapat berlaku krna dua faktor utama iaitu, adanya pelbagai tafsiran dan makna nas-nas zhonni dan perbedaan kadar akal para ulama'.

Contoh Zhonni dan Qat'ie dari Sudut Ad-Dilalah

Contoh ayat qat'ie dari sudut petunjuknya (Ad-Dilalah): Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya (bersumpah tidak mencampuri isteri), diberi tangguh empat bulan. Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Surah Al-Baqarah 226).

Dalam ayat ini, jelas yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t. di sini adalah empat bulan, krna makna asyhur (bulan) itu tidak mengandung melainkan satu makna saja iaitu bulan, tidak mempunyai makna lain dari sudut bahasa Arab.

Contoh ayat ­zhonni dari sudut petunjuknya (Ad-Dilalah): Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' (Surah Al-Baqarah: 228)

Abu 'Amru bin Al-'Ala berkata: Ada dari kalangan orang-orang Arab yang menamakan haidh sebagai qur'u dan ada juga yang yang menamakan suci sebagai qur'u. (Tafsir Al-Qurtubi: 3/113)

Quru' dalam bahasa Arab sendiri memiliki lebih dari satu makna, dalam bahasa Arab, iaitu, haidh ataupun suci.

Daripada perkataan yang mengandung lebih dari satu makna inilah, akhirnya para ulama' salaf berselisih pendapat tentang makna quru' dalam ayat di atas.

Imam Al-Qurtubi berkata:

"Ahli Kufah berkata, makna qur'u dalam ayat tersebut adalah haidh. Pendapat ini adalah pendapat Saidina Umar r.a., Saidina Ali r.a., Saidina Ibn Mas'ud r.a., Saidina Abu Musa r.a., Imam Mujahid, Imam Qatadah, Imam Al-Dhihak, Imam Ikrimah dan sebagainya.

Ahli Hijaz berkata, maknanya ialah suci. Pendapat ini adalah pendapat Saidatina Aisyah r.a., Saidina Ibn Umar r.a., Saidina Zaid bin Thabit r.a., Imam Az-Zuhri, Imam As-Syafi'e r.a. dan sebagainya." (Ibid).

Jika Allah s.w.t. mau seluruh umat Islam bersatu dalam memahami nas-nas Al-Qur'an, dan tidak mau adanya perselisihan ijtihad dan pendapat dalam kalangan umat Islam, sudah tentu Allah s.w.t. akan menggunakan perkataan yang tidak mengandung pelbagai makna dalam ayat-ayat hukum. Pasti Allah s.w.t. akan menggunakan perkataan tiga kali haidh atau tiga kali athur bagi menggantikan tiga kali quru' seperti ayat sebelumnya iaitu empat asyhur (bulan). Begitulah dalam masalah-masalah khilafiyah yang lain.


Perkembangan Perselisihan Ijtihad Dalam Masyarakat Islam

Perselisihan dalam berijtihad bukanlah suatu perkara yang asing, bahkan ia menjadi suatu tradisi selagi Allah s.w.t. menyediakan sebab-sebab dan ruang-ruang untuk timbulnya ikhtilaf tersebut dalam institusi perbendaharaan ilmu fiqh dan penggalian hukum syarak. Cuma, yang asing, adalah, sikap sewenang-wenang mengingkari perkara-perkara khilafiyah sampai tahap membid'ah-bid'ahkan ijtihad setengah mujtahid, yang diperjuangkan oleh sesetengah golongan awam dan golongan separo-matang dalam memahami insititusi fiqh itu sendiri.

Perselisihan Ijtihad Para Sahabat di Zaman Rasulullah s.a.w..

Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim daripada Ibn Umar r.a.:-

Setelah selesai Perang Ahzab, Rasulullah s.a.w. cepat cepat dalam menggerakkan kaum muslimin menuju ke perkampungan golongan Yahudi Bani Quraizhoh , lalu berkata kepada para sahabat: "Janganlah salah seorangpun daripada kalian solat Asar melainkan di (perkampungan) Bani Quraizhoh".

Sebagian para sahabat yang dalam perjalanan menuju ke Bani Quraizhah mendapati, waktu Asar sudah masuk, sedangkan mereka belum sampai ke Bani Quraizhah. Sebagian daripada mereka berkata: "Kita tidak akan solat melainkan setelah sampai ke sana". Sebagian para sahabat r.a. yang lain berkata: "(Tidak), kita solat sekarang saja…" .

Setelah sampai kepada Rasulullah s.a.w., lalu mereka menceritakan hal demikian, namun sikap Rasulullah s.a.w. setuju dengan kedua (para sahabat r.a. yang solat Asar sebelum sampai ke Bani Quraizhah dan para sahabat yang tidak solat Asar sehingga sampai ke Bani Quraizhah). (fathul bari karangan Imam Ibn Hajar Al-Asqolani 8/411)



Perselisihan Para Sahabat r.a. setelah Zaman Rasulullah s.a.w..

Perselisihan yang mula-mula terbit setelah kewafatan Baginda Rasulullah s.a.w. dalam kalangan para sahabat r.a. adalah untuk melantik khalifah Islam yang pertama, sehingga akhirnya mereka setuju dengan perlantikan Saidina Abu Bakar r.a..

Begitu juga, muncul begitu banyak perselisihan pendapat dan ijtihad dalam kalangan para sahabat r.a., dalam bidang fiqh ini, setelah itu.

Contoh yang lain adalah seperti dalam masalah warisan (miras) seorang kakek. Saidina Ibn Abbas r.a. berpendapat, kakek seperti ayah jika, ia dapat menjadi hijab (menghalangi warisan) kepada adik-kakak sedangkan Saidina Umar r.a. dan Saidina Ali r.a. berpendapat bahwa, kakek itu seperti  bagian adik beradik (rujuk buku dirasat fi al-ikhltilafat al-ilmiyyah m/s 28)

Begitu juga dalam masalah-masalah lain yang turut diwarisi perselisihan ijtihad tersebut oleh para ulama' salafus-soleh dalam waktu yang sama, mereka tidak pernah membid'ahkan pendapat dan ijtihad manapun di antara sesama mereka, selagi setiap ulama' yang berijtihad tersebut memiliki dalil masing-masing.


Sebab-sebab Berlakunya Perselisihan Pendapat dan Ijtihad (Ikhtilaf Ijtihadi) Dalam Lapangan Ijtihad Para Ulama' Fiqh

Sebab-sebab ikhtilaf seperti yang dijelaskan oleh Dr. Al-Bayyanuni dalam buku dirasat fi al-ikhtilafat al-ilmiyyahadalah:

Pertama: Perselisihan dalam menetapkan sesuatu nas.

Contohnya: Dalam masalah khabar mastur (seorang rawi yang diriwayatkan darinya oleh dua orang rawi atau lebih dari dua orang, yang mana, tidak ada komen tentang perawi tersebut, apakah seorang yang boleh diambil riwayatnya (at-ta'dil) ataupun tidak boleh (al-jurh) ).

Sebagian ulama' menerima perkhabaran daripada perawi hadith yang tersmbunyi (mastur) (tersebut seperti Imam Abu Hanifah) sedangkan sebagian yang lain menolaknya (seperti Imam Muhammad).

Kedua: Perselisihan dalam memahami sesuatu nas.

Contoh dalam masalah tiga quru' yang dijelaskan dalam ayat Al-Qur'an tadi, di mana ada ulama' memahaminya dengan makna tiga kali suci dan ada yang memahaminya dengan makna tiga kali haidh.

Perselisihan dalam mengumpulkan (Al-jam'u) dan memberatkan (At-Tarjih) di antara nas-nas yang saling bertentangan.

Contohnya seperti masalah ma'mum membaca Al-Fatihah di belakang imam. 

Imam As-Syafi'e r.a. berpendapat: "ma'mum juga perlu membaca Al-Fatihah di belakang Imam apakah Imam tersebut membaca surah dengan keras (dua rakaat pertama dalam solat maghrib, isyak dan dua rakaat subuh) ataupun perlahan. Ini karena, dalam masalah membaca Al-Fatihah bagi ma'mum ini, Imam As-Syafi'e r.a. mentarjihkan (memberatkan) nas tentang kewajiban membaca Al-Fatihah bagi setiap orang yang mendirikan solat, atas nas yang melarang membaca sesuatu jika dibaca Al-Qur'an dan nas yang mengatakan bahwa, bacaan imam adalah bacaan ma'mum.

Imam Abu Hanifah r.a. berpendapat tidak perlu membaca Al-Fatihah bagi ma'mun di belakang imam dalam segala hal, apakah imam membaca surah secara keras maupun perlahan, ini di karenakan mentarjihkan (memberatkan) nas: "bacaan imam adalah bacaan ma'mum".

Imam Malik r.a. dan Imam Ahmad r.a. berpendapat bahwa, kalau imam membaca Al-Fatihah secara keras (seperti dalam dua rakaat pertama solat maghrib, isyak, dan subuh), maka ma'mum tidak perlu membacanya sedangkan jika imam membacanya dengan perlahan, maka ma'mum perlu membacanya, karena menggabungkan kedua nas tersebut. (rujuk bidayatul mujtahid)


Keempat: Perselisihan dalam kaedah-kaedah fiqh dan sebagian sumber penggalian hukum.

Contohnya seperti berhujah dengan amalan penduduk Madinah (pada zaman Imam Malik r.a.), di mana, Imam Malik r.a. menjadikan amalan penduduk Madinah sebagai hujah kepada sesuatu ketentuan hukum sedangkan para ulama' lain tidak menerima amalan penduduk Madinah semata- sebagai suatu hujah dalam ketentuan hukum.

-------------------------------------------------------------------------------------
maka dengan penjelasan di atas .....Khilafiyah (perselisihan) pendapat dalam institusi fiqh Islam memang merupakan suatu yang realistik. itu sudah ada sejak dari zaman Rasulullah s.a.w., seperti yang dinukilkan dalam hadis: “Solat Asar di Bani Quraizhah”.

Oleh karena itu, perkara-perkara khilafiyah tidak pernah dijadikan isu untuk membid’ahkan suatu golongan, walaupun hal itu telah muncul sejak bermulanya penyebaran agama Islam ke seliruh dunia di zaman para sahabat itu sendiri.

Kalau kita lihat secara jelas, apabila timbul perbedaan pendapat di antara ulama’-ulama’ mazhab tertentu, maka tidak ada golongan ulama’ yang menuduh golongan ulama’ yang lain sebagai pembuat bid’ah krna perbedaan pendapat tersebut.

Contohnya, mazhab As-Syafi’e yang menjelaskan bahwa, menyentuh lingkaran dubur membatalkan wuduk, berdasarkan kaedah qiyas terhadap hukum batal wuduk apabila seseorang menyentuh kemaluan. (Al-Mughni Al-Muhtaj: 1/36)

Para ulama’ mazhab lain tidak pernah menuduh ijtihad ulama’ mazhab As-Syafi’e tersebut sebagai bid’ah, walaupun memang tiada nas yang dapat disandarkan tentang hukum batal wuduk menyentuh lingkaran dubur tersebut.

Begitu juga pendapat mazhab Imam Hanafi yang membolehkan seseorang membayar zakat fitrah dengan selain beras dan gandum (seperti dibayar dengan duit), sedangkan tidak terdapat dalam nas Sahih. Namun, tidak ada ulama’-ulama’ muktabar mazhab yang lain menuduh ijtihad Imam Abu Hanifah tersebut sebagai sesuatu yang bid’ah, bahkan umumnya, ijtihad beliaulah yang diamalkan dalam amalan membayar zakat fitrah.

Jadi, perkara-perkara khilafiyah memang tidak boleh dijadikan pintu untuk menuduh seseorang itu pelaku bid’ah, krn perselisihan pendapat dalam memahami nas, tidak sama seperti melakukan sesuatu bid’ah yang secara jelas tidak ada sandaran langsung dari kaedah-kaedah penggalian hukum dalam Islam.

Kalau kita tidak pandai membedakan yang mana dikatakan bid’ah dholalah, dengan yang dinamakan masa’il khilafiyah, maka jangan pandai membid’ahkan suatu perkara tersebut.

pengukur dalam mengukur sesuatu apakah merupakan khilafiyah atau bid’ah adalah, nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta sumber-sumber dan kaedah-kaedah penggalian hukum Islam yang lain seperti Ijmak, Qiyas dan sebagainya.

Kalaulah suatu perkara itu tidak bertentangan dengan nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta sesuai dengan kaedah-kaedah menggali hukum dalam Islam yang lain, maka ia tidak dinamakan bid’ah, walaupun kadang-kala merupakan suatu perkara yang khilafiyah.

Adapun sesuatu perkara yang bertentangan dengan nas-nas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan kaedah-kaedah menggali hukum Islam yang lain, maka barulah ia dinamakan bid’ah.

Inilah yang gagal difahami oleh kebanyakkan ahli ilmu yang terjebak dalam kencah “bid’ah-membid’ahkan”. Mereka gagal memahami perbedaan antara perkara-perkara khilafiyah dengan perkara-perkara bid’ah dholalah.

Contoh perkara-perkara yang yang tidak dinamakan bid’ah, walaupun terjadi perselisihan pendapat ulama’ mengenainya, ialah masalah tawassul dengan orang mati. Perkara tersebut sudah jelas di dalam hadis-hadis Sahih terutama dalam meriwayatkan kisah tentang Uthman bin Hanif yang mengajarkan mengenai tawassul kepada Rasulullah s.a.w. setelah kewafatan Baginda s.a.w. dan pelbagai hadis-hadis yang lain.

Hal tersebut juga tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah menggali hukum Islam seperti qiyas, dan sebagainya, karena tidak aada bedanya bertawassul kepada yang hidup ataupun kepada yang mati, kalau sekiranya yang jadi tujuan berdoa kepadanya itu tetaplah Allah s.w.t. semata-mata, bukan berdoa meminta daripada orang yang ditawassulkan denganya tersebut.

Jadi, berdasarkan contoh tersebut, dapatlah difahami bahwa, masalah tawassul dengan menggunakan kedudukan orang mati di sisi Allah s.w.t., bukanlah suatu perkara bid’ah, walaupun ada khilaf (perbedaan pendapat) mengenainya (walaupun sebelum munculnya Sheikh Ibn Taimiyah, perselisihan mengenai perkara tersebut tidak ada menurut kebanyakkan para ulama’).

Adapun contoh perkara bid’ah ialah seperti: menambah jumlah rakaat solat fardhu, mengerjakan ibadah haji bukan di Tanah Haram Mekkah dan sebagainya.

Hal ini jelas bertentangan dengan nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah, krna bilangan rakaat dalam solat fardhu merupakan suatu yang qat’ie dari pelbagai hadis-hadis yang sahih. Begitu juga dengan ibadah haji, yang mana tempatnya sudah diputuskan secara jelas dalam Islam, bahwa perlu dikerjakan di tanah suci Mekkah.

Hal ini juga bertentangn dengan kaedah-kaedah penggalian hukum krna dalam perkara-perkara yang jelas hukumnya secara qat’ie (dari sudut dalalah maupun thubut), maka tidak boleh lagi seseorang untuk berijtihad, apatah lagi mengeluarkan sesuatu bentuk baru bagi perkara tersebut, apakah dalam bentuk penambahan, pengurangan, bertukar tempat dan sebagainya.

Inilah di antara perkara yang gagal difahami oleh kebanyakkan orang-orang awam dan para penuntut ilmu yang terjerumus ke dalam lembah “bid’ah-membid’ahkan” ini.

Bentuk-bentuk Ibadah yang Diajarkan Oleh Rasulullah s.a.w.

Pembahasan mengenai tajuk ini amat penting dalam memahami masalah-masalah yang dibahas sebelumnya dan yang akan dibahas selepasnya.

Dr. Abdul Malik Abdul Rahman As-Sa’adi dalam buku beliau yang diterjemahkan dengan tajuk “Salah Faham Terhadap Bid’ah” berkata:

Ibadah yang jelas dibawa oleh Rasulullah s.a.w. terbagi kepada dua bentuk iaitu:

Pertama: Ibadah yang datang dari Rasulullah s.a.w. tetapi terikat dengan waktu, tempat, bilangan tertentu, cara tertentu atau keadaan tertentu. Maka, ibadah yang berbentuk demikian wajib ditunaikan seperti yang dilakukan olehRasulullah s.a.w. tanpa penambahan, perubahan atau pengurangan. siapa yang melakukannya bukan dalam bentuk yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w., maka dia dianggap sebagai pencetus bid’ah.

Contohnya seperti: Solat, ibadah haji dan sebagainya.

Kedua: Ibadah yang diriwayatkan daripada Rasulullah s.a.w., apakah dalam bentuk perintah, panduan, anjuran atau pesanan yang tidak terikat dengan bentuk, masa, tempat atau bilangan tertentu dan tidak pula diriwayatkan mengenai larangan melakukannya di waktu-waktu yang tertentu. maka itu di kembalikan kepada umat Islam untuk memilih masa dan tempat yang sesuai dengan amalan tersebut dan bentuknya, asalkan tidak disandarkan perkara tersebut kepada Rasulullah s.a.w.. cukuplah sekadar mengamalkannya, bersandarkan izin yang diperoleh dari syariat secara umum.

Contohnya seperti: solat sunat mutlak, puasa sunat mutlak, membaca Al-Qur’an, membuat jamuan makan dan sebagainya.

Kalau ada seseorang yang beristiqomah dalam melakukan perkara tersebut, pada waktu-waktu tertentu, maka tidaklah dianggap bid’ah. Begitu juga kalau dia membiasakan dirinya dengan membaca  surah tertentu dari Al-Qur’an, pada hari tertentu, juga tidak di anggap sebagai bid’ah,karena bersandar pada hadis Rasulullah صلى الله عليه وسلم : "Kerjakanlah amalan semampu kalian, sesungguhnya sebaik - baik amalan adalah yang dikerjakan secara terus menerus walaupun sedikit" (HR Ibnu Majah 4230}
-Tamat Nukilan-


Oleh karena itu, banyak yang terjebak ke dalam lembah “bid’ah-membid’ahkan” sesama orang Islam dalam masalah-masalah khilafiyah, adalah natijah dari kejahilan mereka terhadap kaedah-kaedah dan perkara-perkara tersebut.

Mengamalkan Hadis-Hadis Dha’if Bukan Bererti Pengamal Bid’ah

Di sini satu lagi masalah kebanyakan penuntut ilmu yang terlibat dalam kencah “bid’ah-membid’ahkan dalam perkara khilaf tersebut”.dari kalangan para penuntut ilmu yang berlagak seperti wira dalam kencah ilmu agama sering berkata: “amalan ini bid’ah, krna hadis dalam masalah tersebut merupakan suatu hadis yang dho’if”.

Kalau orang-orang awam mendengar perkataan tersebut, sudah tentu mereka menyangka si penuntut ilmu tersebut seorang yang alim, tetapi seandainya perkataan demikian didengar oleh ahli ilmu, sudah tentu mereka mengetahui bahwa, orang yang berbicara tersebut masih tidak cukup ilmu.

Ini karena, melemparkan tuduhan bid’ah terhadap amalan yang diambil dari hadis yang dho’if seperti melemparkan tuduhan kepada para salaf yang meriwayatkan hadis tersebut sebagai pembawa bid’ah. Hal tersebut tidak pernah berlaku dalam etika para ulama’ salaf,karena dalil yang lemah tidaklah menunjukkan seseorang itu telah melakukan bid’ah, karena hadis-hadis dho’if, jika cukup syarat-syaratnya menurut ulama’ hadis, maka boleh juga diamalkan.

Majoritas ulama’ berpendapat bahwa, dibolehkan beramal dengan hadis dho’if dalam fadhail ‘amal (keutamaan dalam beramal), apakah berbentuk anjuran mahupun larangan, karena di mungkinkan hadis itu sahih pada realitasnya, sehingga tidak terhalang seseorang muslim mendapat fadhilat (kelebihan) dari amalan tersebut.

banyak yang tidak memahami apa itu hadis dho’if, sehingga menyebabkan mereka seolah-olah alergik dengan istilah “hadis dho’if” ini. Kebanyakkan hadis dho’if sebenarnya hanyalah berdasarkan penilaian ulama’ hadis terhadap keadilan dan kelayakkan perawi hadis tersebut dalam meriwayatkan hadis tersebut. Ia juga merupakan hasil dari ijtihad para ulama’  dalam menentukan apakah seseorang perawi itu boleh diterima hadis yang diriwayatkannya atau tidak, dan sebagainya.

Tidak mustahil, hadis yang dho’if dari sudut penilaian para ulama’ hadis terhadap perawi hadis tersebut, tetapi dari sudut realitasnya merupakan hadis yang sahih dari Rasulullah s.a.w..

Syarat-syarat hadis dho’if yang layak untuk diamalkan:

Hadis tersebut tidaklah terlalu dho’if di mana tidak terdapat di kalangan perawinya seorang yang pernah dituduh sebagai pendusta dan sebagainya.

Hadis tersebut masih termasuk dalam salah satu kaedah atau usul am yang diamalkan di dalam Islam.

Tidak beriktiqad bahwa, hadis tersebut thabit (secara jelas) daripada Rasulullah s.a.w., tetapi diamalkan atas dasar adanya kemungkinan. 

(Lihat: Tadrib Ar-Rawi)

Semoga kita yang tidak cukup ilmu ini, tidak tergopoh menuduh sesuatu amalan itu bid’ah, karena bagaimana kita tahu suatu amalan itu bid’ah, kalau kita sendiri tidak pernah khatam membaca Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim dan kutub Sunan yang lain.

Menuduh sesuatu itu bid’ah, tanpa ilmu yang cukup, merupakan suatu bid’ah yang lebih besar, maka hati-hatilah.


Disusun dengan bantuan Allah s.w.t. oleh:
Al-Faqir ila Rabbihi Al-Jalil Al-Kabir
Raja Ahmad Mukhlis bin Raja Jamaludin Ar-Razi

Semoga Allah s.w.t. memeberi hidayah kepada kita semua…Amin…
komentar (9) | | Read More...

Total Tayangan Halaman

Translate

PENGELOLA BLOG:

PENGIKUT:

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger