News Update :
Home » » Benarkah Imam Syafi'i menolak istihsan? yuk kita bahas

Benarkah Imam Syafi'i menolak istihsan? yuk kita bahas

Penulis : Bagus Rangin on 6 Juni 2012 | 02.01.00






Definisi Istihsan

Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy)ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.”[Lih. Lisan al-‘Arab, 13/117]

Adapun menurut istilah, Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:

  1. Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.[. Lih.Kasyf al-Asrar, 4/3. dan Raudhah al-Nazhir, 1/497.]
  2. Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.[Al-Mustashfa, 1/138.]
  3. Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya 
  4. Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil 

Dari definisi-definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa inti dari Istihsan adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.

Sebagai contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsan, padahal secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu dengan menggunakan air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.[Lih. Raudhah al-Nazhir, 1/497]

Kedudukan Argumentatif (Hujjiyah) Istihsan Lintas Madzhab

Menyikapi penggunaan Istihsan kemudian menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan dalam hal ini, terdapat dua pandangan besar yang berbeda dalam menyikapi Istihsan sebagai salah satu bagian metode ijtihad. Berikut ini adalah penjelasan tentang kedua pendapat tersebut beserta dalilnya.

Pendapat pertama, Istihsan dapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.[Lih. Badai’ al-Shanai’, 7/84, al-Muwafaqat, 4/209, Ushul Madzhab al-Imam Ahmad, hal. 509.]

Dalil-dalil yang dijadikan pegangan pendapat ini adalah sebagai berikut:

1. Firman Allah: 

“Dan ikutilah oleh kalian apa yang terbaik yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian.” (al-Zumar:55)

Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.

2. Firman Allah:

“Dan berikanlah kabar gembira pada hamba-hamba(Ku). (Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik (dari)nya...”(al-Zumar: 17-18)

Ayat ini –menurut mereka- menegaskan pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.

3. Hadits Nabi saw:

فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.

“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik.”[ HR. Ahmad dalam al-Musnad, Kitab al-Sunnah.]

Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.

4. Ijma’.

Mereka mengatakan bahwa para ulama telah berijma’ dalam beberapa masalah yang dilandasi oleh Istihsan, seperti:

- Bolehnya masuk ke dalam hammam [Hammam adalah semacam pemandian umum pada waktu yang lalu, biasanya dilengkapi dengan fasilitas air hangat. (pen)] tanpa ada penetapan harga tertentu, penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya.

- Demikian pula dengan bolehnya jual-beli al-Salam (pesan barang bayar di muka), padahal barang yang dimaksudkan belum ada pada saat akad.


Pendapat kedua, Istihsan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad.
Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah.[Lih. Al-Risalah, hal. 219, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, 2/892]

Para pendukung pendapat ini melandaskan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:

1. Bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash al-Qur’an, al-Sunnah atau apa yang dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan salah dari hal tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan sebuah hukum.

2. Firman Allah: 

“Wahai kaum beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul serta ulil amri dari kalangan kalian. Dan jika kalian berselisih dalam satu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya...” (al-Nisa’ : 59)

Ayat ini menunjukkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menyelesaikan suatu masalah, sementara Istihsan tidak termasuk dalam upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat diterima.

3. Jika seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan hukum dengan akalnya atas dasar Istihsan dalam masalah yang tidak memiliki dalil, maka tentu hal yang sama boleh dilakukan oleh seorang awam yang boleh jadi lebih cerdas daripada sang mujtahid. Dan hal ini tidak dikatakan oleh siapapun, karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan melakukan Istihsan dengan logikanya sendiri.

4. Ibn Hazm (w. 456 H) mengatakan: “Para sahabat telah berijma’ untuk tidak menggunakan ra’yu, termasuk di dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu mengatakan: ‘Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah...’ ....”[Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, 5/759.]

Demikianlah dua pendapat para ulama dalam menyikapi hujjiyah Istihsan dalam Fiqih Islam beserta beberapa dalil dan argumentasi mereka masing-masing.
Lalu manakah yang paling kuat dari kedua pendapat tersebut?

Jika kita mencermati pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita akan menemukan bahwa pada saat mereka menetapkan Istihsan sebagai salah satu sumber hukum, hal itu tidak serta merta berarti mereka membebaskan akal dan logika sang mujtahid untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas. Setidaknya ada 2 hal yang harus dipenuhi dalam proses Istihsan: ketiadaan nash yang sharih dalam masalah dan adanya sandaran yang kuat atas Istihsan tersebut (sebagaimana akan dijelaskan dalam “Jenis-jenis Istihsan).[Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/49]

Dan jika kita kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak Istihsan, kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa Istihsansendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolak Istihsan yang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.

Karena itu, banyak ulama –termasuk di dalamnya dari kalangan Hanafiyah- memandang bahwa khilaf antara Jumhur Ulama dengan Syafi’iyah secara khusus dalam masalah ini hanyalah khilaf lafzhy (perbedaan yang bersifat redaksional belaka), dan bukan perbedaan pendapat yang substansial.[22Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/91-97.] Apalagi –sebagaimana juga akan dijelaskan kemudian- ternyata Imam al-Syafi’i (w. 204 H) sendiri ternyata menggunakanIstihsan dalam beberapa ijtihadnya. Karena itu, al-Syaukany mengatakan: Jika (yang dimaksud dengan) Istihsan adalah mengatakan sesuatu yang dianggap bagus dan disukai oleh seseorang tanpa landasan dalil, maka itu adalah sesuatu yang batil, dan tidak ada seorang (ulama)pun yang menyetujuinya. Namun jika yang dimaksud dengan Istihsan adalah meninggalkan sebuah dalil menuju dalil lain yang lebih kuat, maka ini tidak ada seorang (ulama)pun yang mengingkarinya.[ Irsyad al-Fuhul, hal. 212.]



Imam al-Syafi’i dan Istihsan

Salah satu ungkapan Imam al-Syafi’i yang sangat masyhur seputar Istihsanadalah:

من استحسن فقد شرع

“Barang siapa yang melakukan Istihsan, maka ia telah membuat syariat (baru).”[ Lih. Al-Risalah, hal. 25.] Maksudnya ia telah menetapkan dirinya sebagai penetap syariat selain Allah.

Disamping penegasan ini, beliau juga memiliki ungkapan-ungkapan lain yang menunjukkan pengingkaran beliau terhadap Istihsan. Akan tetapi, dalam beberapa kesempatan, Imam al-Syafi’i ternyata juga melakukan ijtihad dengan meninggalkan qiyas dan menggunakan Istihsan. Berikut ini adalah beberapa contohnya:

1. Pandangan beliau seputar penetapan kadar mut’ah atau harta yang wajib diberikan sang suami kepada istri yang telah diceraikan –demi menolong, memuliakan dan menghilangkan rasa takutnya yang diakibatkan perceraian itu-.

Sebagian fuqaha mengatakan bahwa mut’ah semacam ini tidak memiliki batasan yang tetap dan dikembalikan pada ijtihad sang qadhi. Ulama lain membatasinya dengan sesuatu yang mencukupinya untuk mengerjakan shalat. Namun Imam al-Syafi’i beristihsan dan memberikan batasan 30 dirham bagi yang berpenghasilan sedang, seorang pembantu bagi yang kaya, dan sekedar penutup kepala bagi pria yang miskin. Beliau mengatakan:

“Saya tidak mengetahui kadar tertentu (yang harus dipenuhi) dalam pemberian ‘mut’ah’, akan tetapi saya memandang lebih baik (Istihsan) jika kadarnya 30 dirham, berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar.”[Lih. Al-Umm, 5/52. Riwayat ini disebutkan dalam Talkish al-Habir (3/219), dimana ada seorang pria datang kepada Ibnu Umar dan menyebutkan bahwa ia telah menceraikan istrinya, maka Ibn ‘Umar mengatakan: “Berilah ia sekian...”. Dan setelah dihitung, jumlahnya sekitar 30 dirham.]

2. Istihsan beliau dalam perpanjangan waktu syuf’ah selama 3 hari. Beliau mengatakan:

“Sesungguhnya ini hanyalah Istihsan dari saya, dan bukan sesuatu yang bersifat mendasar.”[ Lih. Al-Umm, (3/232)]

3. Istihsan beliau dalam peletakan jari telunjuk muadzin dalam lubang telinganya saat mengumandangkan adzan. Beliau mengatakan:

“Bagus jika ia (muadzin) meletakkan kedua telunjuknya ke dalam lubang telinganya (saat adzan).” [ Lih. Al-Umm, 1/66.]

Hal ini dilandaskan pada perbuatan Bilal r.a yang melakukan hal tersebut di hadapan Rasulullah saw.[Lih. Talkhish al-Habir, 1/217]

Bila kedua hal ini –pengingkaran dan penerapan Imam al-Syafi’i terhadapIstihsan- dicermati dengan seksama, maka ini semakin menegaskan bahwa Istihsan yang diingkari oleh al-Syafi’i adalah Istihsan yang hanya berlandaskan hawa nafsu semata, dan tidak dilandasi oleh dalil syar’i. Karena itu, kita belum pernah menemukan riwayat dimana beliau –misalnya- mencela berbagai Istihsan yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah –semoga Allah merahmati mereka semua-.[Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/50, 91-96]


Jenis-jenis Istihsan

Para ulama yang mendukung penggunaan Istihsan sebagai salah satu sumber penetapan hukum membagi Istihsan dalam beberapa bagian berdasarkan 2 sudut pandang yang berbeda:

Pertama, berdasarkan dalil yang melandasinya.

Dari sisi ini, Istihsan terbagi menjadi 4 jenis:

1. Istihsan dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan qiyas dalam suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh al-Qur’an atau al-Sunnah.

Diantara contohnya adalah: hukum jual-beli al-salam. Yaitu menjual sesuatu yang telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad, dengan harga yang dibayar dimuka. Model ini tentu saja berbeda dengan model jual-beli yang umum ditetapkan oleh Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya barang pada saat akad terjadi. Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan berdasarkan sebuah hadits Nabi saw yang pada saat datang ke Madinah menemukan penduduknya melakukan hal ini pada buah untuk masa satu atau dua tahun. Maka beliau berkata:

“Barang siapa yang melakukan (jual-beli) al-salaf [Al-Salaf adalah istilah lain untuk jual-beli al-salam. (pen).], maka hendaklah melakukannya dalam takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula.” (HR. Al-Bukhari no. 2085 dan Muslim no. 3010)

2. Istihsan dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’ –baik yangsharih maupun sukuti- terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.

Di antara contohnya adalah masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya hal ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidakjelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsan pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.[Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/82.]

3. Istihsan dengan kedaruratan. Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.

Salah satu contohnya adalah ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang berpuasa tidak dapat dikatakan telah batal puasanya jika ia menelan sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari; seperti debu dan asap. Maka jika benda-benda semacam ini masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi batal karena hal tersebut. Dan ini dilandaskan pada Istihsan dengan kondisi darurat (sulitnya menghindari benda semacam itu), padahal secara qiyas seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, maka itu membatalkan puasanya.[ Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar 2/85.]

4. Istihsan dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan-.

Salah satu contoh Istihsan dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firman-Nya: 

“Dalam rumah-rumah yang Allah izinkan untuk diangkat dan dikumangkan Nama-Nya di dalamnya.” (al-Nur:36)

Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah” (al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk mesjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam mesjid.[Lih. Al-Muwafaqat, 4/117]

Adapun contoh Istihsan dengan ‘urf yang berupa perbuatan adalah memberikan upah berupa pakaian dan makanan kepada wanita penyusu(murdhi’ah). Pada dasarnya, menetapkan upah yang telah tertentu dan jelas itu dibolehkan secara syara’. Sementara pemberian upah berupa pakaian dan makanan dapat dikategorikan sebagai upah yang tidak jelas batasannya (majhul). Dan kaidah yang umum menyatakan bahwa sesuatu yang majhultidak sah untuk dijadikan sebagai upah. Akan tetapi Imam Abu Hanifah membolehkan hal itu atas dasar Istihsan, karena sudah menjadi ‘urf untuk melebihkan upah untuk wanita penyusu sebagai wujud kasih-sayang pada anak yang disusui.[Lih. Ushul al-Fiqh al-Muyassar, 2/87.] 

Penutup

Dari uraian singkat di atas, pada bagian penutup ini kita dapat menyimpulkan beberapa hal terkait dengan pembahasan istihsan ini sebagai berikut:

1. Bahwa istihsan sebagai salah satu metode ijtihad dengan menggunakan ra’yu dan menjadi sebuah metode yang dapat dikatakan berdiri sendiri era para imam mujtahidin, terutama di tangan Imam Abu Hanifah rahimahullah.

2. Bahwa istihsan sesungguhnya dapat dikatakan mewakili sisi kemudahan yang diberikan oleh Islam melalui syariatnya, terutama istihsan yang dikaitkan dengan kondisi kedaruratan dan ‘urf.

3. Bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan pendapat para ulama seputar kehujjiyahan istihsan sifatnya redaksional dan tidak substansial. Sebab ulama yang berpegang pada istihsan tidak bermaksud melandaskannya hanya dengan hawa nafsu belaka. Sementara yang menolaknya juga dimotivasi oleh kehati-hatian mereka agar sang mujtahid tidak terjebak dalam penggunaan ra’yu yang tercela. Karena itu, kita juga telah menemukan bahwa Imam al-Syafi’i –yang dianggap sebagai ulama yang pertama kali mempersoalkan istihsan- ternyata juga menggunakannya dalam berbagai ijtihadnya.

Demikianlah kesimpulan ini, semoga dapat menjadi langkah awal bagi penulisnya –secara khusus- untuk semakin memahami keindahan Islam melalui disiplin ilmu Ushul Fiqih.

sssssssst sebelum ngomong istihsan di larang dan di kait-kaitkan dengan bidah.,fahami saja dulu usul fiqh yang benar,heheheh


DiNuqilkan Oleh : Bagus Rangin ~ Kertajati-Majalengka

pucukpucuk Agan sedang membaca artikel tentang: Benarkah Imam Syafi'i menolak istihsan? yuk kita bahas. Silakan agan copy dan paste atau sebarluaskan artikel ini jika dinilai bermanfaat,Ane juga menyediakan buku terjemahan kitab yang membantah wahabi: 1. buku "bid'ah mahmudah dan bid'ah idhafiyah antara pendapat yang membolehkan dan yang melarang" terjemah dari kitab: albid'atul mahmudah wal bid'atul idhafiyah bainal mujiziina wal maniin" karya Syaikh abdul fattah Qudais Al Yafi"i, 2.Terjemah kitab ‘At Tabaruk Bi As Sholihin Baina Al Muzijiin wa Al Maani’in: Mencari Keberkahan Kaum Sholihin Antara Pendapat yang Membolehkan dan yang Melarang, hub admin: hp/WA 0857-5966-1085.syukron :

*** Dapatkan buku terjemah disini ***

Share this article :

Posting Komentar

Jangan lupa Tulis Saran atau Komentar Anda

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger