News Update :
Home » » Antara manhaj Salaf, Asy'ariyah dan Salafy [1]

Antara manhaj Salaf, Asy'ariyah dan Salafy [1]

Penulis : Bagus Rangin on 22 Juni 2012 | 09.34.00







Bagian Pertama: Penjelasan Tentang Kesatuan Antara Ulama’ Salafus Soleh dengan Golongan Al-Asya’irah dan Menjawab Sebagian tuduhan Atas Al-Asya’irah



Dewasa ini, banyak yang tertipu dengan slogan yang mengatakan : “mari kita kembali kepada manhaj salafus soleh?”



Kita bertanya balik kepada mereka: “Apakah maksud dari seruan dan ajakan saudara tersebut. Apakah, saudara menyeru dengan hal demikian krn kami (majoritas umat Islam) kini tidak mengikut manhaj salafus soleh?”.


Sebagian dari mereka pasti menjawab: “ya Tidak. Kalian semua ( golongan yang di sebut sebagai Al-Asya’irah di seluruh dunia), mengikut manhaj Al-Asya’irah (ulama’ beraliran Al-Asya’irah dalam bidang aqidah), bukan manhaj salafus soleh?”

Jesteru, kita tanyakan kepada mereka  kembali, apa perbedaan antara mazhab dan faham golongan Al-Asya’irah (golongan majoritas Ahlus Sunnah wal Jamaah, bahkan mereka (dan golongan Al-Maturidiyah) merupakan golongan yang dimaksudkan sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah terutama sebelum Sheikh Ibn Taimiyah muncul), dengan mazhab salafus solehnya?”

Insya Allah, kita ahan mendengar jawapan mereka bahwa: “Golongan salafus soleh bermanhaj isbat (menetapkan sitaf-sifat yang mutasyabihat) sedangkan golongan Al-Asya’irah menta’wilkan sifat-sifat khabariyyah (mutasyabihat).”

Mereka juga pasti akan menukilkan beberapa perkataan ulama’ salaf yang mengingkari ta’wil dan menyeru kepada isbat. Dan, inilah yang sering mereka lakukan untuk menipu golongan awam, dan sebagian golongan ahli ilmu, dengan klaim, golongan Al-Asya’irah tidak mengikut Salafus Soleh dalam berinteraksi dengan sifat-sifat Khabariyyah (mutasyabihat).

Jika kita sebagai orang awam, maka janganlah terkejut dengan klaim mereka ini, hatta dengan berjejalnya nukilan mereka, untuk membuktikan bahwa Al-Asya’irah memang bertentangan dengan golongan salafus soleh. Biarlah kita perhatikan permusuhan mereka terhadap golongan Al-Asya’irah tersebut, yang mana, menurut mereka, asyairah berlawanan dengan manhaj salafus soleh.

Sebenarnya, setelah penulis yang faqir ini kembali merujuk buku-buku para pelopor aliran tersebut (aliran yang menghklaim bahwa golongan Al-Asya’irah bertentangan dengan golongan salafus soleh yang hidup dalam tiga kurun awal hijrah), seperti kitab mereka  fatawa Ibn Taimyah, Kitab Tauhid, Fathul Majid, dan pelbagai Syarah ulama pemuka-pemuka mereka atas matan Aqidah At-Tohawiyah, maka penulis yang alfaqir bandingkan dengan ucapan-ucapan para ulama’ salafus soleh di sertai dengan menerusi buku-buku mereka dan seterusnya membuat perbandingan  balik dengan buku-buku para ulama’ Al-Asya’irah, khususnya berkenaan dengan masalah ayat-ayat mutasyabihat ini.

Di Antara buku-buku yang sempat dirujuk oleh penulis dalam melihat pendirian ulama’ salafus soleh adalah seperti buku Al-Musnad Imam Ahmad, kitab-kitab hadis yang enam, dan sebagainya dan begitu juga buku-buku ulama’ Al-Asya’irah yang menukilkan perkataan-perkataan ulama’ salaf dalam perkara masalah tersebut, seperti buku Iljamul Awam fi Ilmil Kalam dan pelbagai buku dalam bidang aqidah karangan Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali r.a., Al-Asma’ Wa As-Sifat Imam Al-Baihaqi, Mukhtasar Al-Ulwi Imam Az-Zahabi, Asas At-Taqdis bagi Imam Ar-Razi dan sebagainya. Begitu juga, dengan merujuk buku-buku ulama’ modern seperti Fusulun fil Aqidah karangan Dr. Al-Qaradhawi, As-Salafiyah karangan Dr. Al-Buti, Naqd Qowaid At-Tasybih karangan guru kami sidi Dr. Umar Abdullah Kamil An-Naqsyabandi, Naqd risalah tadmuriyyah dan Kasyf Shogir karangan Sheikh Sa’id Fudah dan sebagainya.

Alhamdulillah, dengan izin Allah s.w.t, Allah s.w.t. menyingkap keraguan penulis yang faqir ini, dari slogan golongan yang menyeru: “ kembalilah kepada manhaj salafus soleh”. Sebenarnya, apa yang nampak kepada penulis yang faqir lagi hina ini, setelah mengkaji sedikit banyaknya ke dua faham tsbt, penulis berkata: “wahai penyeru dengan seruan  di atas. Kami (yang dikatakan sebagai golongan Al-Asya’irah atau khalaf ) sudah lama mengikut manhaj salaafus soleh dalam aqidah, padahal,justru kalianlah yang perlu kembali kepada manhaj salafus soleh”.

Mengapa kita menyeru golongan yang menyeru kita kepada manhaj salafus soleh, kepada manhaj salafus soleh, sedangkan dari ajakan dan klaim mereka, seolah-olah mereka sudah bersama-sama dengan manhaj salafus soleh (khususnya dalam masalah mutasyabihat tersebut)?

Kita menyeru mereka kembali kepada manhaj salafus soleh krna merekalah yang tidak bersama manhaj salafus soleh, sedangkan golongan Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyah sudah sekian lama bersama dengan manha salafus soleh. Mereka hanya bersama dengan sangkaan mereka, bahwa mereka sudah bersama dengan salafus soleh. Bak firman Allah s.w.t.: “Sesungguhnya sangkaan tidak mendatangkan kepada kebenaran”.

Jadi, sebagai kesimpulan muqoddimah ini, alfaqir penulis mencoba menjelaskan tentang golongan-golongan yang terlibat dalam apa yang akan dibincangkan , menurut definisi ahli ilmu itu sendiri.

Pertama: Golongan Salafus Soleh (mereka yang hidup dalam tiga kurun terawal hijrah).

Kedua: Golongan Al-Asya'irah (para ulama' Islam yang mengikut manhaj Imam al-Asy'ari dalam membahas tentang sifat-sifat ketuhanan dengan panduan nas-nas Islami (naqli) dan kecerdasan akal yang bersih).

Ketiga: Golongan Mutasallif atau, golongan yang konon mengikut manhaj salafi (Golongan yang mendakwa bahwa merekalah yang mengikuti manhajus salaf terutama dalam masalah mutasyabihat ini, dan menyalahkah golongan Al-Asya'irah (dalam masalah ini) yang mewakili majoritas umat Islam, bahkan yang mewakili golongan yang masih berdekatan dengan salafus soleh (sebelum kelahiran Ibn Taimiyah yang mengasaskan faham Mutasallif ini), bermula kurun ke-4 hijrah, seterusnya sehingga mewakili golongan majoritas umat Islam, hingga ke hari ini.).

Al-Asya’irah dan Manhaj Salafus Soleh: Di Mana letak Pertentangannya?

Terlebih dahulu, untuk memahami perbincangan yang ringkas ini, kita perlu membongkar dulu apa yang dipermasalahkan oleh golongan pengklaim salafi yang menyeru kepada salafi versi mereka ini, tentang, di manakah pertentangan antara golongan Al-Asya’irah dengan golongan salafus soleh khususnya dalam masalah mutasyabihat?

Mereka akan berkata: “Golongan Al-Asya’irah menggunakan manhaj ta’wil dalam ayat-ayat mutasyabihat, sedangkan golongan salafus soleh, menggunakan manhaj isbat dalam berinteraksi dengan ayat-ayat khabariyah (mutasyabihat)”.

Lalu, mereka akan menukilkan beberapa contoh dan berterima kasihlah kepada contoh-contoh jika diberikan oleh mereka.

Namun, bagi orang-orang awam, atau sebagian mubtadi’in dalam menuntut ilmu, janganlah khuatir dengan perbandingan-perbandingan tersebut,yang membuat lantas terfikir bahwa, selama ini, mazhab jumhur umat Islam dalam bidang aqidah (Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyah) telah berlawanan dengan mazhab salafus soleh. Mereka yang menukilkan apa yang mereka nukilkan tersebut sebenarnya tidak memahami apa yang mereka nukilkan dengan femahaman yang sebenarnya, bahkan lebih malang lagi, mereka telah salah sangka dalam apa yang mereka nukilkan hanya krna taqlid kepada orang yang terlebih dahulu salah faham terhadap yang mereka nukilkan.

Kita tanyakan kepada mereka: “Apakah arti bertentangan atau berlawanan itu dari sudut bahasa?”

Kita tolong mereka untuk menjawabnya: “bertentangan berarti, dua perkara yang berlawanan antara satu dengan yang lainnya secara mutlak.” Contohnya, kain ini hitam atau putih? Kalau ia putih, maka ada yang hitam, maka itu berlawana dengan hakikat kain putih  dengan hitam itu sendiri.

Tetapi, cuba kita fahami juga dari contoh tersebut, jika kita mendengar, ada orang mengatakan bahwa: “kain ini bukan hijau”, apakah bertentangan dengan hakikat bahwa: “kain itu putih”? Hal ini jelas tidak bertentangan sama sekali, krna kedua-duanya mempunyai makna yang sama. Satu dalam bentuk hakikatnya, satu dalam bentuk salbnya (penafian atas apa yang tidak ada daripadanya).

Lihat penjelasan sekali lagi:

“Kain itu putih” dan “kain itu hitam”: keduanya berlawanan antara satu sama lain.

“Kain itu putih” dan “kain itu bukan hijau”: keduanya tidak berlawanan antara satu sama lain bahkan saling membenarkan antara satu sama lain.

Kekeliruan golongan yang keliru, dengan mengatakan bahwa: “golongan Al-Asya’irah berlawanan dengan golongan salafus soleh”, sebenarnya mereka keliru dengan apa yang mereka katakan bertentangan itu sendiri. Mereka tidak faham apa yang mereka katakan bertentangan itu, dengan femahaman yang sebenarnya. Mereka mentafsirkan sendri apa yang menurut mereka bertentangan itu, dengan bukan tafsiran kepada kedua pihak, tetapi dengan tafsiran mereka sendiri (yang merupakan pihak ketiga yang memisahkan kedua pihak tersebut/ salafus soleh dan Al-Asya’irah).

Apa yang mereka klaim, sebagai pertentangan antara Salafus soleh dengan golongan Al-Asya’irah itu?

Mereka berkata: Golongan Al-Asya’irah: meta’wil ayat mutasyabihat

Mereka berkata: Golongan Salafus Soleh: isbat ayat mutasyabihat

Isbat dan ta’wil menurut mereka, dua perkara yang saling bertentangan seperti bertentangannya hitam dan putih pada contoh kain di atas.

Persoalan yang paling utama adalah, benarkah isbat menurut salaf itu suatu pertentangan dengan ta’wil menurut khalaf (golongan Al-Asya’irah), atau kita sendiri tidak faham dengan makna sebenarnya isbat menurut salaf dan ta’wil menurut khalaf (Al-Asya’irah).

Apabila seseorang tidak faham Arti putih dan hijau, boleh jadi dia akan mengatakan bahwa perkataan: “kain ini putih” bertentangan dengan Kata: “kain ini bukan hijau”, jika dia beranggapan bahwa, putih dan hijau sama maknanya. Jadi, hasil ketidak fahaman tentang makna sebenarnya sesuatu inilah, yang mengundang golongan tertentu sewenang-wenang menuduh golongan Al-Asya’irah dan golongan Salafus Soleh saling bertentangan.

Mereka memahami ta’wil bukan seperti yang dimaksudkan oleh para Al-Asya’irah (dan golongan salafus soleh) dan memahami isbat (menetapkan sesuatu) dengan faham mereka, bukan menurut salafus soleh itu sendiri.

Apa yang mereka katakan tentang ta’wil golongan Al-Asya’irah (yang mereka serang )? Mereka berkata, ta’wil golongan Al-Asya’irah merupakan ta’thil (menolak makna asal sifat yang ditetapkan oleh Allah s.w.t.). Persoalannya, benarkah golongan Al-Asya’irah dan hatta golongan salafus soleh memahami bahwa, ta’wil itu secara mutlak sebagai ta’thil (menafikan apa yang ditetapkan oleh Allah s.w.t.)?

Ini kembali kepada perbahasan Bahasa Arab itu sendiri. Bagi mereka yang kurang berinteraksi dengan Bahasa Arab dan Kesusasteraanya, maka pasti akan tertipu dengan penjelasan golongan pengklaim salafi ini. Mereka menegaskan bahwa, ta’wil golongan Al-Asya’irah merupakan satu agenda ta’thil (menafikan sifat Allah s.w.t.) yang sama seperti golongan mu’tazilah dan sebagainya.

Adakah golongan Al-Asya’irah, golongan salafus soleh dan ahli Bahasa Arab itu sendiri menyatakan bahawa: Ta’wil merupakan ta’thil? Dari kaedah manakah, memberi faham bahwa, ta’wil  adalah ta’thil (mengabaikan dan menafikan sifat Allah s.w.t.)?

Hatta, kalau kita melihat kaedah Bahasa Arab itu sendiri, tidak ada yang menyatakan bahawa: ta’wil (memberi satu makna lain kepada lafaz tertentu) sebagai ta’thil (menafikan perkara tersebut).

Apa ta’wil itu sendiri dalam kaedah Bahasa Arab?

Ta’wil artinya, memberisatu makna lain kepada suatu lafaz, berdasarkan qarinah (petunjuk) dalam jumlah keseluruhan atau sebagian ayat tersebut.

Contohnya: “Singa sedang memandu kereta dengan  kencang”.

Perkataan singa tersebut, dalam jumlah keseluruhan ayat di atas “…sedang memandu kereta dengan kencang”, membawa samar (mutasyabihat) krna dari sudut hukum adat dan  asal, seekor singa tidak bisa memandu kereta, apakah lagi dengan  kencang. Singa dalam ayat itu  adalah lafad yang jadi bahan perbincangan kita dalam ayat ini, sedangkan jumlah seluruh ayat tersebut menjadi petunjuk yang membawa seseorang kepada mutasyabihat (kesamaran).

Jadi, jika ada kesamaran dalam ayat, berdasarkan kaedah bahasa dan hukum alam itu, maka bagi seseorang yang memahami kaedah Bahasa yang digunakan oleh orang yang berkata tersebut, pasti tidak cepat memahami ayat tersebut dengan makna dhahir, yaitu, singa hakiki (binatang yang bertarin,buas dan sebagainya) yang memandu kereta tersebut.  krna, dari sudut hukum alam,itu memiliki kesamaran. Qarinah (petunjuk) yang membawa kesamaran dalam ayat tersebutlah yaitu “…memandu kereta dengan kencang”,  ini bisa menyebabkan seseorang tertanya-tanya akan maksud sebenarnya dari perkataan singa dalam ayat tersebut.

Apakah itu maksudkan sebagai singa hakiki, atau sekedar kiasan (majazi)?

Nah, krn manusia tahu, dalam kaedah bahasa itu sendiri, ada kaedah hakiki dan majazi (kiasan), yang menyebabkan akhirnya, dia tidak cepat memahami ayat tersebut secara dhahirnya (yaitu singa betulan yang memandu kereta tersebut). Ini kembali kepada kaedah bahasa sendiri, yaitu konsep kiasan (majazi).

Jadi, berdasarkan ilmu sastera dan perumpamaan (dalam ilmu Bahasa Arab yang dikenal dengan ilmu balaghah), sebenarnya ada konsep majazi . Di dalam konsep majazi (kiasan ini), perkataan yang menjadi bahan perbincangan (seperti singa dalam ayat di atas), sebenarnya tidak dimaksudkan dengan maknanya dari sudut bahasa (ma’na lughowi).

Singa: makna Lughowi (bahasanya): Seekor binatang yang buas, berbulu dan sebagainya, yang bisa digambarkan oleh semua yang pernah melihatnya.

Singa: makna kiasan:- seorang yang gagah. Seorang yang berani dan sebagainya.

Dari mana dapat makna kiasan seperti ini? Kiasan ialah perumpamaan, jadi jika seseorang memberi kiasan dengan satu perkataan, maka makna asal yang dimaksudkan oleh beliau mestilah ada ciri-ciri yang sama [alaqoh] dengan ciri-ciri perkataan yang digunakan sebagai perumpaan tersebut.

Contohnya, seorang yang berani,  di gambarkan dengan singa. Orang yang berani  ada ciri-ciri kesamaan dengan singa dari sudut "keberanian" dan"sifat gagah"nya. Jadi, persamaaan sifat dan ciri-ciri menjadi pengukur kepada keselarasan ta'wil bagi perkataan-perkataan kiasan (majazi) tersebut. Sebagai contoh yang paling rendah: "Si fulanah cantik laksana bulan". Si fulanah itu subjek, dan jumlah prediket tersebut membentuk satu jumlah perumpamaan. Adapun perumpamaan dalam jumlah ayat tersebut ialah bulan, dan cantik ialah persamaaan sifat antara subjek dan perumpamaan.

Dari kaedah perumpamaan inilah, akhirnya membentuk satu kesusasteraan yang lebih tinggi yang dikenali dengan majaz (kiasan), seperti contoh: "Bulan masuk ke kedai." Semua orang yang faham akan ilmu bahasa dan berfikiran waras, akan memahami bahwa, yang dimaksudkan dengan bulan dalam ayat di atas bukanlah bulan hakiki, tetapi sekadar perumpamaan. Ini disebabkan adanya petunjuk (qarinah) dalam ayat tersebut yang menimbulkan kesamaran seterusnya mengundang kemungkinan bahwa itu adalah kiasan.

Barang siapa yang tidak memahami ilmu bahasa yang mudah seperti ini, bakal terperosok ke dalam kekeliruan yang lebih parah, terutama apabila sibuk membincangkan tentang ayat-ayat mutasyabihat (khabariyah) yang juga tidak terlepas dari tradisi dan bahasa yang telah diperbincangkan sebelumnya.

Seseorang yang mau memahami pembahasan selanjutnya selayaknya memahami beberapa istilah penting iaitu:

Majazi: Kiasan.

Ta'wil: Memalingkan makna suatu perkataan daripada makna asalnya dari sudut bahasa.

Qarinah: Petunjuk yang menunjukkan bahwa jumlah kalimat ayat tersebut ialah satu kiasan, yang mengundang kesamaran, apakah  krna berlawanan dengan hukum adat (seperti bulan masuk ke kedai), hukum akal (seperti si anak melahirkan ibunya), hukum tanzih (menyucikan Allah) dalam aqidah Islamiyah (seperti Tuhan di atas Arasy) dan sebagainya.

Mutasyabihat: samar dari sudut makna dhahirnya.

Makna dhahir suatu perkataan: Makna yang paling pertama muncul secara sudut bahasa.

Makna Lughowi: Makna dari sudut dhahir atau dari sudut bahasa.

Dan sebagainya.

Selanjutnya, bagi siapa pun yang telah di beri faham oleh Allah s.w.t. akan penerangan yang dijelaskan sebelum ini,  mereka  dapat mendalami pembahasan seterusnya yaitu, berkaitan dengan persoalan: "benarkah ada pertentangan manhaj Al-Asya'irah dan manhaj Salafus soleh dalam memhami nas-nas mutasyabihat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah?".

Perbedaan Tidak mesti berarti bertentangan

Satu hal yang paling penting ialah, perbedaan antara dua perkara tidak mesti mengundang pertentangan antara satu sama lain. Contohnya:

lafad: "Baju ini hijau"

Dengan:

lafad: "baju ini bukan biru".

Dua lafad di atas, walaupun berbeda dari sudut pendekatannya, tetapi tidak pernah mengundang pertentangan dari sudut maknanya, krna pendekatan pertama berbentuk isbat (menetapkan apa yang ada pada baju tersebut yaitu hijau) sedangkan pendekatan dalam  lafad kedua berbentuk nafi (menafikan warna yang bukan pada baju tersebut). Itu merupakan perbezaan dari sudut jenis (tanawwu') atau macam2 jenis, bukan perbedaan yang bertentangan antara satu dengan lainnya (ta'arrud).

Jika seseorang mampu memahami dua contoh yang diberikan, insya Allah, dia akan mampu memahami apakah manhaj Al-Asya'irah dan manhaj Salafus Soleh bertentangan dalam perbedaan, atau sekedar berbeda jenis pendekatan saja, tetapi tidak bertentangan?

Jadi, fahamlah, berbedaan itu sendiri ada dua jenis iaitu:

Tanawwu': Berbeza dari sudut jenis, tetapi tidak bertentangan (seperti contoh tadi).

Ta'arrud: Perbedaan yang membawa pertentangan dan perlawanan seperti lafad: "baju ini hijau" dengan lafad: "baju ini biru" atau seperti lafad: "baju ini hijau" dengan ayat: "baju ini bukan hijau". Kedua contoh merupakan contoh perbedaan yang berbentuk pertentangan dan berlawanan.

Persoalannya :

Benarkah manhaj salafus soleh berbeda dengan manhaj Al-Asya'irah dalam memahami nas-nas mutasyabihat?

dan jika ada perbedaan, benarkah perbezaan tersebut suatu perbedaan yang bertentangan antara satu dengan yang lain?

Marilah kita kaji apakah yang diklaim oleh golongan mutasallif, bahwa golongan Al-Asya'irah dan golongan Salafus Soleh saling bertentangan dalam memahami nas-nas mutasyabihat (atau menurut isitilah golongan mutasallif: ayat-ayat khabariyah).

Menurut golongan Mutasallif:

Golongan Salafus Soleh Bermanhaj: Isbat (menetapkan) sifat-sifat mutasyabihat tersebut.

Golongan Al-Asya'irah Bermanhaj: Menta'wilkan sifat-sifat Mutasyabihat tersebut.

Sebenarnya, klaim golongan Mutasallif tersebut tidak bersifat jami' dan mani' (tidak bersifat lengkap dan menyeluruh).

Hakikatnya,karena tidak semua golongan salafus soleh tidak menta'wil ayat-ayat mutasyabihat dan juga tidak semua golongan Al-Asya'irah tidak mengisbatkan sifat-sifat mutasyabihat.

Dengan kata lain, tidak semua golongan Salafus Soleh mengisbatkan semua ayat-ayat mutasyabihat tanpa menta'wilnya, dan tidak juga semua golongan Al-Asya'irah menta'wilkan ayat-ayat mutasyabihat tanpa mengisbatkannya.

Bahkan, pada hakikatnya, Isbat menurut salafus soleh tidak berbeda dengan ta'wil menurut Al-Asya'irah, dari segi hakikat, cuma berbeda dari sudut pendekatan saja. Cuma, yang mempermasalahkan antara kedua-dua pihak tersebut adalah golongan ketiga, yaitu golongan mutasallif (konon salafi dari sudut manhaj), karena mereka tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh kedua-dua pihak (salafus soleh dan Al-Asya'irah) dengan isbat dan ta'wil itu sendiri.

Insya Allah, alfaqir penulis akan meluaskan skop perbincangan agar lebih mendekati femahaman yang sebenarnya tentang isbat dan ta'wil menurut Al-Asya'irah dan salafus soleh, berdasarkan kaedah Bahasa Arab itu sendiri, di samping itu, menjelaskan pula perihal dan peranan tafwidh yang menjadi ikatan antara golongan salafus soleh dan Al-Asya'irah yang seterusnya bisa membedakan antara keduanya daripada manhaj mutasallif yang terasing.

Isbat Menurut Salafus Soleh

Para ulama' salafus soleh yang memahami seluk-beluk Bahasa Arab yang tinggi, serta memahami akan pentingnya manhaj tanzih (menyucikan Allah s.w.t. dari sifat-sifat yang tercela dan kekurangan) dalam aqidah Islamiyah, pasti akan lebih waspada dalam berinteraksi dengan nas-nas yang membicarakan tentang sifat-sifat Allah s.w.t., apatah lagi dalam berinteraksi dengan nas-nas yang menyebut sifat-sifat yang mutasyabihat (kesamaran) dari sudut dhahirnya.

Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam buku beliau (fusulun fil Aqidah) menegaskan bahwa: "(Hakikat Isbat menurut salaf) pada hakikatnya ialah, membiarkan (lafaz) tersebut dengan dhahirnya lafad, dengan menafikan takyiif (keadaan dan bentuk sifat tersebut) serta tamsil (menyamakan sifat tersebut dengan sifat makhluk). (m/s 40).

begitu juga, menurut jumhur ulama' Al-Asya'irah, bahwa golongan salafus soleh bukanlah bermanhaj isbat, tetapi bermanhaj tafwidh dalam masalah mutasyabihat ini (rujuk buku Ibn Taimiyah laisa Salafiyan (Ibn Taimiyah bukan Salafi) karangan Sheikh Mansur Muhammad Uwais).

Jadi, ada dua pendapat ulama' dalam membincangkan tentang manhaj Salafus Soleh dalam berinteraksi dengan ayat-ayat Mutasyabihat.

Pendapat Pertama: Isbat yaitu, menetapkan lafaz dhahir perkataan tersebut.

Pendapat Kedua: Tafwidh yaitu menyerahkan makna lafaz tersebut kepada Allah s.w.t..

Pendapat kedua adalah pendapat majoritas ulama' Islam Ahlus Sunnnah wal Jamaah mengenai Salafus Soleh, termasuk pendapat guru-guru kami seperti Dr. Umar Abdullah Kamil, Sheikh Sa'id Fudah dan sebagainya.

Dr. Al-Qaradhawi sendiri mengatakan bahawa: "Realitasnya, bagi siapa yang membaca karangan para ulama' salafus soleh berkenaan ayat-ayat mutasyabihat tersebut, maka dia akan dapati bahwa, kebanyakkan daripada mereka meninggalkan usaha untuk mendalami makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut, tidak bersusah-payah untuk mentafsirkannya dengan ungkapan apapun. (Ini manhaj tafwidh)

"Perkara ini jelas bahkan, hampir sampai tahap muttafaqun alaih (disepakati oleh ulama') sebelum kelahiran Sheikhul Islam Ibn Taimiyah dan madrasahnya (pemikiran dan manhajnya yang tersendiri)…" (fusulun fil aqidah 40-41)

Jadi, persoalannya, apakah golongan Salafus Soleh itu bermanhaj isbat ataupun bermanhaj tafwidh berkenaan dengan ayat-ayat mutasyabihat.???

Penulis yang faqir berpendapat bahwa:

Kedua pendapat itu betul. karena, isbat menurut salafus soleh dan tafwidh bukanlah dua perkara yang berlawanan, tetapi berbeda dari satu sudut bahasa saja, pada hakikatnya adalah  perkara yang sama.

Penjelasannya:

Seperti yang disebutkan oleh Sheikh Dr. Al-Qaradhawi sebelumnya, bahwa, manhaj isbat menurut salafus soleh ialah: "menetapkan lafaz dhahir ayat-ayat mutasyabihat tersebut"  itu tidak bertentangan dengan manhaj tafwidh itu sendiri.

Hal ini karena, majoritas golongan salafus soleh sebenarnya menetapkan lafad [perkataan-perkataan] mutasyabihat tersebut, namun tidak menetapkan maknanya secara lughowi (dari sudut bahasa),jadi cuma (isbat lafaz), tetapi menyerahkan makna perkataan yang diisbatkan tersebut kepada Allah s.w.t. (manhaj tafwidh).

Jadi, kita dapat simpulkan bahawa, manhaj salafus soleh dalam masalah ini ialah, isbat lafaz (menetapkan lafad dhahirnya saja) tanpa menetapkan makna lughowi terhadap perkataan tersebut (bukan manhaj isbat ma'na lughowi), di samping menyerahkan maknanya kepada Allah s.w.t. (tafwidh).

Jadi, dapat kita fahami bahwa, mereka isbat dan dalam waktu yang sama juga tafwidh , karena isbat mereka, sekedar isbat lafad, bukan isbat ma'ana lughowi.

Kita beri contoh antara tafwidh, isbat lafad dan isbat ma'na lughowi seperti berikut.

Si A berkata: "Si Bulan masuk ke dalam kedai".

Manhaj isbat lafad ialah ketika seseorang berkata: "Saya percaya dengan kata-kata Si A, bahwa benarlah Si Bulan tersebut masuk ke dalam kedai, tapi Si Bulan tersebut bukanlah bulan yang keluar di waktu malam. tetapi ada makna lain, bukan makna dari sudut bahasa (i
yaitu, bulan yang di atas langit di waktu malam).

Manhaj Tafwidh ialah, ketika seseorang berkata: "Saya percaya dengan kata-kata Si A, tetapi saya serahkan makna sebenarnya perkataan Bulan tersebut kepada si A, kerana dialah yang mengatakan dan mengatahuinya, sedangkan saya tidak tahu makna tersebut.

Manhaj Isbat Ma'na Lughowi ialah, apabila seseorang berkata: "Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa Bulan masuk ke dalam kedai, dan saya tahu makna perkataan bulan tersebut, kerana ia memang makna dari sudut bahasa (yaitu, menurut pandangannya, bahwa si A bermaksud bahwa bulan yang menerangi malam  yang masuk ke kedai) tapi cuma saya tak tahu bagaimana bulan tersebut bisa masuk ke dalam kedai.

Maka yang kita dapati adalah, Manhaj Isbat Lafad dan Manhaj Tafwidh adalah dua manhaj yang seiringan karena, manhaj Isbat Lafaz, sekedar menetapkan lafad perkataan tersebut, tetapi menegaskan bahwa, tidak mengetahui akan makna lafad tersebut, sedangkan manhaj tafwidh adalah menyerahkan makna tersebut kepada yang berkata. Jadi, Isbat Lafaz dan Tafwidh merupakan satu manhaj yang selaras.

Tetapi, Manhaj Isbat Ma'na Lughowi inilah yang bertentangan dengan manhaj tafwidh, bahkan manhaj Isbat Ma'na Lughowi ini bukanlah manhaj salafus soleh tetapi manhaj Ibn Taimiyah dan para pengikutnya (yang akan dijelaskan kemudian insya Allah).

Kesimpulannya, tidak ada perbedaan besar antara manhaj Isbat Lafad dengan manhaj Tafwidh, bahkan keduanya sama dalam hakikat pendekatannya dan duanya inilah yang merupakan manhaj majoritas salafus soleh dalam masalah ini. Adapun manhaj Isbat Ma'na Lughowi (menetapkan maknanya dari sudut dhahir)  sebenarnya tidak termasuk dalam manhaj salafus soleh, yang akan dibincarakan selepas ini.

Isbat Lafad atau Tafwidh menurut Salafus Soleh dan Ta'wil Al-Asyairah: Apakah Dua Manhaj yang Saling Bertentangan?

Setelah kita ketahui bahwasanya, manhaj majoritas salafus soleh ialah manhaj tafwidh dan isbat lafad (menyerahkan makna perkataan tersebut kepada Allah s.w.t.. Hanya sekedar beriman dengan lafad saja, tanpa memahaminya dengan makna dari sudut bahasa, seperti memahami perkataan Yadd dengan makna tangan), dapatlah kita singkap perbedaan antara manhaj tafwidh dan ta'wil, apakah itu dua perkara yang berbeda, atau sekedar dua pendekatan yang hakikatnya sama?

Sheikh Dr. Al-Buti dalam buku beliau As-Salafiyyah, ketika membahas tentang ta'wil dan tafwidh, dan Sheikh Dr. Al-Qaradhawi dalam buku beliau fusulun fil Aqidah (yang mana keduanya menurut kami, merupakan ulama' yang paling gigih berusaha untuk menyatukan umat Islam, dan semoga Allah s.w.t.membantu mereka), akhirnya membuat kesimpulan bahwa-dengan perkataan Al-Qaradhawi (m/s145)-: "Sesungguhnya, kedua golongan (salafus soleh dan Al-Asya'irah/khalaf) pada akhirnya (pada hakikatnya-setelah diperincikan dan dikaji dengan teliti-sebenarnya menta'wil (ayat-ayat mutasyabihat) tersebut. Cuma, golongan salafus soleh menta'wilnya dengan ta'wil ijmali (ringkas) sedangkan golongan khalaf (Al-Asya'irah) menta'wilnya dengan ta'wil tafsili (terperinci)."

Mengapa menurut Dr. Al-Qaradhawi dan Al-Buti, bahwasanya manhaj salafus soleh juga pada hakikatnya suatu manhaj ta'wil tetapi dalam bentuk ijmali(ringkas)?

Hal ini karena, manhaj tafwidh yang menjadi manhaj majoritas para salafus soleh  dalam waktu yang sama,adalah manhaj ta'wil (memalingkan makna suatu lafaz dari makna asal menurut bahasa), Cuma, manhaj tafwidh tidak memberikan ta'wilan (makna lain) kepada lafaz tersebut, walaupun pada hakikatnya sama memalingkan makna perkataan tersebut dari makna asal  secara sudut bahasa.

Contohnya, seperti kata salafus soleh (insya Allah, contoh-contoh terperinci akan dibentangkan setelah ini):

"Yadd Allah bukanlah suatu anggota yang yang berjuz-juz, yang berbentuk, dan sebagainya. Hanya Allah s.w.t. yang mengetahui makna yadd tersebut."

Jadi, para salafus soleh, dengan manhaj demikian (tafwidh) juga menolak makna perkataan yadd tersebut dengan maknanya dari sudut bahasa (yaitu suatu anggota/organ yang berjuz …), yang mana, penolakan terhadap maknanya dari sudut bahasa tersebut,itu juga merupakan manhaj ta'wil secara tidak langsung. Bedanya dengan manhaj ta'wil tafsili Al-Asya'irah, adalah golongan Al-Asya'irah memberi makna lain (ta'wil) kepada lafaz tersebut, sedangkan majoritas golongan salafus soleh tidak memberikan ta'wil tersebut, namun kedua golongan sepakat bahwa, lafaz tersebut (seperti contoh yadd Allah) maksudnya bukanlah  dengan cara sudut bahasa dan keduanya berusaha memalingkan manusia daripada memahaminya dari sudut bahasa (dan inilah hakikat ta'wil)!

Golongan salafus soleh memalingkan (ta'wil) manusia daripada menetapkan makna perkataan-perkataan mutasyabihat dengan menafikan maknanya dari sudut bahasa seperti perkatanya: "yadd bukan suatu bagian anggota zat atau tubuh" sedangkan Al-Asya'irah juga memalingkan (ta'wil) manusia dariapda menetapkan makna perkataan mutasyabihat dengan memberi makna lain kepada perkataan tersebut, dengan kaedah majazi dalam Bahasa Arab yang telah kita perbincangkan sebelumnya, yang mana, makna lain tersebut mesti sesuai dengan kaedah kiasan (majazi) dan makna Bahasa Arab itu sendiri, seperti menta'wilkan Yadd dengan kekuatan dan kekuasaan. Ini karena, dari sudut Bahasa Arab sendiri, tangan bisa juga dikiaskan atau menjadi perumpamaan bagi kekuasaan seperti seseorang berkata: "Seluruh negara ini dalam tanganku" bererti dalam kekuasaan dan dalam miliknya.

Kesimpulannya, tafwidh itu sendiri adalah suatu ta'wilan karena memalingkan makna asalnya dari sudut bahasa kepada suatu makna lain yang mana hanya diketahui oleh Allah s.w.t.. Jadi, tidak berlaku pertentangan antara golongan salafus soleh yang bermanhaj tafwidh dalam hal ini dengan golongan Al-Asya'irah yang bermanhaj ta'wil dalam hal ini, karena keduanya berkaitan dengan dua pendekatan yang berbeda namun pada hakikatnya satu manhaj yang sama (yaitu ta'wil itu sendiri).

Persoalannya: Kenapa Golongan Al-Asya'irah Memberi Ta'wil sedangkan Golongan Salafus Soleh hanya Sekedar Tafwidh (Tidak Memberi Makna Lain)

Kepada persoalan ini, kita perlu bertanya kepada mereka yang mempersoalkannya, bahwa: "benarkah dakwaan anda, bahawa golongan Salafus Soleh sekadar Tafwidh saja dan tidak ada dalam kalangan mereka (Salafus Soleh) yang memberi ta'wil?

Dan, benarkah klaim anda, bahwa semua golongan Al-Asya'irah Memberi Ta'wil dan tidak ada dari kalangan mereka yang bermanhaj Tafwidh?

Insya Allah, kami akan jawab persoalan tersebut terlebih dahulu, sebelum menjawab dua persoalan yang seterusnya.

Majoritas golongan Al-Asya'irah yang hidup di zaman di mana umat Islam semakin bertambah, bahkan banyak  orang-orang bukan Arab memeluk Islam, maka di kala itu, banyak budaya-budaya dan pengaruh asing mulai masuk ke dalam umat Islam. Maka, timbullah falsafah-falsafah luar yang menggugat institusi aqidah islamiyah dalam umat Islam, khususnya bagi umat Islam yang bukan dari orang-orang Arab.

Dengan pertemuan antara bukan Arab dengan orang-orang Arab, sehingga memaksa umat Islam bukan Arab bertanya tentang banyak persoalan-persoalan yang baru, yang timbul hasil dari pertemtemuan dan campur baur tersebut. Bahkan, orang-orang A'jam (bukan Arab) juga tidak mampu menguasai Bahasa Arab dengan baik,dengan lantaran itu, mereka tidak mau memahami ungkapan-ungkapan dalam Al-Qur'an dengan baik

Hal ini lebih parah lagi, bila orang-orang awam Islam yang berbangsa A'jam berinteraksi dengan ayat-ayat mutasyabihat ini, di mana mereka hampir-hampir terjerumus ke dalam faham Tasybih (menyerupakan sifat-sifat Allah s.w.t. dengan sifat-sifat makhluk), karena  kedangkalan mereka dalam memahami kaedah Bahasa Arab dan Kesusasteraannya yang tinggi.

Hal ini memaksa ulama'-ulama Islam Al-Asya'irah atau Khalaf, membuat satu pendekatan yang lebih mudah yaitu, dengan memberi ta'wil kepada ayat-ayat mutasyabihat tersebut dengan makna lain, yang sesuai dengan kaedah Bahasa Arab itu sendiri, karena pendekatan tafwidh tidak lagi dapat difahami oleh kebanyakkan golongan A'jam, karena kelemahan mereka dalam menguasai Ilmu Bahasa Arab terutamanya ilmu Majaz (kiasan).

Tetapi pada Hakikatnya, tidak  semua golongan Al-Asya'irah menggunakan pendekatan ta'wil tetapi, banyak juga dari kalangan mereka yang akhirnya kembali kepada manhaj tafwidh. Mereka berinteraksi dengan golongan awam sesuai dengan kondisi mereka. Kalau golongan awam tersebut berbangsa Arab, yang memahami kaedah Majaz, maka para ulama' Al-Asya'irah tersebut akan menggunakan pendekatan tafwidh. Adapun bagi golongan awam yang tidak mempnyai  dasar ilmu Bahasa Arab yang tinggi, maka mereka akan menggunakan pendekatan ta'wil yang sesuai dengan aqidah Islamiyah dan kaedah Bahasa Arab itu sendiri.

Hakikat yang tidak dapat dinafikan juga, adalah adanya sebagian dari kalangan salafus soleh ikut menggunakan pendekatan ta'wil bagi ayat-ayat mutasyabihat tertentu, karena ia lebih sesuai pada keadaan tersebut. Jadi, tidaklah semua ulama' salafus soleh tafwidh semata , karena ada juga dari kalangan mereka yang menta'wil ayat-ayat mutasyabihat, dan ada juga yang kadang-kala tafwidh dan kadang-kala ta'wil ayat-ayat tersebut, sesuai dengan konteks ayat itu sendiri.

Manhaj Tafwidh Para Salafus Soleh

Sheikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi membagi tafwidh salafus soleh kepada tiga jenis yang utama (rujuk fusulun fil aqidah):

Pertama: Tafwidh Sorih (yang jelas)

Kedua: Tafwidh qorib Ila Isbat (yang dekat kepada isbat)

Ketiga: Tafwidh qorib ila Ta’wil (yang dekat kepada ta’wil)

Pertama Tafwidh yang jelas:

yaitu, jenis tafwidh yang tidak sekadar mendiamkan diri daripada menafsirkan nas-nas mutasyabihat tersebut-karena dengan mendiamkan diri, tidak menunjukkan seseorang itu tafwidh- melainkan dengan disertai qarinah (petunjuk) yang menunjukkan kepada maksud tafwidh secara jelas.

1Jenis qarinah (petunjuk) yang pertama dalam tafwidh jenis ini ialah: dengan menyuruh orang mendiamkan diri dalam masalah tersebut, yang mana ini suatu petunjuk yang jelas menunjukkan akan kehendak tafwidh seseorang itu. Banyak para ulama’ yang menyuruh kepada sikap mendiamkan diri dari membahaskan tentang makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut.

Contohnya:

Al-Imam Malik r.a. berkata: “Bertanya mengenainya (istiwa’) adalah suatu perkara yang bid’ah” (aqidah As-Salaf w ashabul hadis karangan Imam As-Sobuni: 119)

Penulis berkata: Ini suatu petunjuk yang jelas bahwa, ada sebagian ulama’ salaf yang bersikap menyerahkan makna perkara-perkara mutasyabihat kepada Allah s.w.t. secara mutlak, serta melarang manusia daripada bertanya tentangnya karena menurut mereka, tida k ada siapa pun yang tahu makna mutasyabihat tersebut melainkan Allah s.w.t..

Manhaj ini merupakan manhaj yang inti dalam salafus soleh, bahkan ini bertentangan dengan manhaj Ibn Taimiyah yang mengatakan bahwa, sifat-sifat mutasyabihat tersebut, diketahui maknanya, cuma tidak diketahui keadaannya saja (insya Allah akan di bahas dalam satu perbahasan yang khusus).

2Jenis qarinah (petunjuk) dalam tafwidh yang jelas ialah: apabila beriringan diamnya ulama’,ketika tidak ada keperluan untuk berkata. (Dengan kata lain, sikap ulama’ berdiam diri takkala ditanya, menunjukkan mereka menyerahkan makna ayat-ayat mutasyabihat itu kepada Allah s.w.t. tanpa mau membicarakannya).

Contohnya seperti kata Abu Ubaid: “Jika ditanya kepada kami, tentang tafsirannya (ayat-ayat mutasyabihat), maka kami tidak menafsirkannya…” (Al-Asma’ wa As-Sifat karangan Imam Al-Baihaqi: 355)

3Jenis tafwidh yang sarih (jelas), di mana para ulama’ salaf melarang daripada menterjemahkan perkataan-perkataan mutasyabihat tersebut kepada bahasa selain daripada Bahasa Arab, atau pecahan daripadanya, atau mengqiyaskan kepadanya. Ini juga menunjukkan kepada manhaj tafwidh. karena, perkataan yang tidak diketahui maknanya, bagaimana mampu diterjemahkan ke bahasa asing?

Oleh  karena itu, Imam Sufian bin Uyainah r.a. berkata: “Apa yang disifati oleh Allah s.w.t. tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan  lafad tersebut (seperti yadd) ialah tafsirannya (yakni, cukuplah dengan menyebut perkataan tersebut, maka itulah yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t., tanpa perlu tahu makna sebenarnya dari sudut bahasa ataupun sebegainya- penulis). Tidak boleh seseorang menafsirkannya dengan Bahasa Arab (dengan mengisbatkan sifat tersebut dari sudut Bahasa Arab seperti manhaj Ibn Taimiyah yang akan dibahaskan selepas ini) ataupun menafsirkannya dengan bahasa Farsi (merujuk kepada menterjemahkan perkataan tersebut kepada bahasa asing, menurut maknanya dari sudut Bahasa Arab, seperti menterjemahkan perkataan Yadd Allah kepada tangan Allah)” (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).

Begitu juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Az-Zahabi dari perkataan Ibn Suraij: “Tidak boleh menterjemahkan sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain daripada bahasa Arab”.

Penulis menambah: Jadi, seseorang yang mengklaim mau mengikuti salaf, tidak sepatutnya menterjemahkan sifat-sifat mutasyabihat dengan maknanya dari sudut bahasa, ke bahasa-bahasa lain, seperti menterjemahkan Yadd Allah kepada tangan Allah. Ini karena, para salafus soleh memahami dengan jelas bahwa, sebenarnya tidak dimaksudkan dari perkataan-perkataan mutasyabihat tersebut maksudnya dari sudut bahasa, seperti klaim Ibn Taimiyah dan para pengikutnya. Jadi, siapa yang menterjemahkan Yadd Allah dengan makna tangan Allah sebenarnya tidak mengikuti manhaj salafus soleh yang digariskan oleh Imam Sufian bin Uyainah r.a..

4 di Antara bentuk tafwidh juga, jika seseorang jelas mengatakan bahwa, tidak ada yang mengetahui maknanya (ayat-ayat mutasyabihat tersebut) kecuali Allah s.w.t.. Ini karena, mereka mewakafkan bacaan Al-Qur’an, di mana Allah s.w.t. berfirman: “Tidaklah mengetahui akan ta’wilnya (ayat-ayat mutasyabihat tersebut) melainkan Allah…”

Mereka yang memilih untuk mewakafkan bacaan pada perkataan “melainkan Allah…” akan menegaskan bahwa, hanya Allah s.w.t. saja yang mengetahui makna-makna mutasyabihat tersebut. Inilah usul manhaj tafwidh yang jelas di mana menegaskan bahwa, hanya Allah s.w.t. saja yang mengetahui maknanya.

Penulis menambahkan: segala jenis tafwidh sebelum ini (no1-3) kembali kepada jenis keempat ini,  yakni tidak ada yang mengetahui makna perkataan-perkataan mutasyabihat tersebut kecuali Allah s.w.t..

Imam Abu Sulaiman Al-Khitobi r.a. berkata: “Mutasyabihat itu, cukuplah sekedar beriman mengenai sifat tersebut, dan cukuplah dengan mengetahui yang dhahir dari lafadnya. Adapun maknanya sebenarnya (batinnya), diserahkan kepada Allah s.w.t. semata…” (Al-Asma’ wa As-Sifat: 454).

Kesimpulannya, para salafus soleh bersikap menyerahkan makna perkataan-perkataan mutasyabihat tersebut, kepada Allah s.w.t., tanpa memahaminya dengan makna apapun, termasuk dengan maknanya dari sudut bahasa, seperti manhaj yang dipelopori oleh Ibn Taimiyah (isbat ma’na lughowi)  .

Kedua: tafwidh qorib ila isbat (tafwidh yang hampir kepada manhaj Isbat)

Ini ialah satu jenis tafwidh yang mengandung beberapa petunjuk  yang menunjukkan seolah-olah yang dimaksudkan ialah isbat (menetapkan sifat) dalam bentuk menyerahkan keadaannya kepada Allah s.w.t..

Contohnya, perkataan mereka: “lafad lafad tersebut ialah sifat” kemudian disertai dengan perkataan: “tanpa takyiif (membayangkan akan keadaannya atau membicarakan akan keadaannya)”. Dan perkataan mereka: “ikuti dhahirnya…” tentang ayat-ayat mutasyabihat tersebut, kemudian memalingkan keadaannya dari yang difahami dari sudut bahasa.

Dr. Al-Qaradhawi  kemudian memberi koment: “Bisa jadi, ada sebagian pengkaji tidak mampu membedakan perkataan jenis ini, apakah itu tafwidh atau isbat… Kita dapati bahwa, golongan yang mempelopori manhaj isbat (ma’na lughowi, yaitu manhaj Ibn Taimiyah) mengunakan dalil-dalil ini untuk membela manhaj mereka, lalu berkata, ini manhaj Isbat bukan Tafwidh.

Penulis menambah sedikit- atas koment Dr. Al-Qaradhawi : bahwasanya, ucapan-ucapan sebagian salafus soleh yang mana, seolah-olah menunjukan kepada manhaj Isbat, sebenarnya-menurut kami- merupakan manhaj Isbat, tetapi bukan manhaj isbat ma’na lughowi versi Ibn Taimiyah, tetapi sebaliknya manhaj isbat dari sudut lafad semata (isbat lafaz), yang tidak bertentangan dengan manhaj tafwidh itu sendiri. Sheikh Dr. Al-Qaradhawi sangat memahami makna ini, oleh karena itulah, ia menamakan manhaj isbat lafdi ini, dengan nama “tafwidh yang dekat kepada isbat”, dengan arti kata yang lain, ia merupakan manhaj tafwidh yang bisa menimbulkan kesamaran bagi mereka yang mengikuti manhaj isbat Ibn Taimiyah, padahal tidak demikian, karena itu sekadar isbat lafaz, bukan isbat ma’na lughowi Ibn Taimiyah.

Oleh karena itu, Sheikh Dr. Al-Qaradhawi seterusnya menukilkan koment Ibn Taimiyah dalam masalah ini dengan perkataan Ibn Taimiyah: “Sebenarnya, seseorang tidak akan menafikan takyiif (keadaan sifat tersebut) kalau perkataan (lafaz) tersebut tidak diketahui maknanya. Hanya saja, perkataan-perkataan yang diketahui maknanya saja, (seperti memahami kata tangan dengan makna suatu anggota yang berjuz, memiliki jari jemari dan sebagainya), perlu dinafikan pengetahuan tentang keadaannya (kaifiyat). (Contohnya, maksud yadd Allah ialah, tangan Allah yang berbentuk anggota, namun keadaannya tidak diketahui)…”

Penulis menambah dengan izin Allah: “Walaupun setelah menukilkan ucapan Sheikh Ibn Taimiyah tersebut, Sheikh Dr. Al-Qaradhawi tidak memberikan komen terhadap komen dan ta’liq Ibn Taimiyah, namun tidak bererti apa yang dikomen oleh Ibn Taimiyah tersebut benar, hatta menurut Sheikh Al-Qaradhawi. Ini karena, sebelumnya, Sheikh Al-Qaradhawi sendiri mengatakan bahwa, ada golongan yang salah faham dari ucapan ulama’ salaf dalam tafwidh jenis ini, lalu memberi contoh komen Sheikh Ibn Taimiyah. Di sini jelas bahwa, Sheikh Al-Qaradhawi dengan penuh adab, takkala meletakkan komen Ibn Taimiyah, sebenarnya bermaksud untuk menukilkannya sebagai contoh kekeliruan sebagian golongan dari ucapan Salafus soleh tentang masalah: “ sifat, tanpa takyiif” tersebut.

Sebenarnya, komen terhadap ucapan Ibn Taimiyah tersebut bahwa, “menafikan ilmu takyiif (keadaan) menunjukkan bahwa perkataan mutasyabihat tersebut diketahui maknanya (dengan maknanya dari sudut bahasa), karena sesuatu yang tidak diketahui tentang maknanya, tidak akan dinafikan tentang ilmu (pengetahuan) mengenai kaifiyatnya”, perkataan ini telah dikritik oleh Sheikh Sa’id Fudah dengan pembahasan yang agak tinggi, yang mana kami tidak akan menukilkannya secara keseluruhan karena kami tidak mau membebankan mereka yang membacanya, yang masih tidak menguasai ilmu bahasa arab dan mantik dengan baik.

Insya Allah, sedikit komen Sheikh Sa’id Fudah terhadap pendapat Ibn Taimiyah tersebut akan disertakan pada perbahasan yang khusus setelah ini, dalam membongkar kekeliruan  manhaj isbat versi Ibn Taimiyah setelah ini, dengan izin Allah s.w.t..

Perkataan jenis tafwidh yang  dekat kepada isbat ini banyak ditemui dalam karangan para salafus soleh seperti dalam ucapan Imam Al-Asy’ari sendiri dalam buku beliau: “Al-Ibanah” (yang mana walaupun buku ini diragukan nisbahnya kepada Al-Imam Al-Asy’ari sendiri), begitu juga dalam buku Imam Al-Baihaqi (Al-Asma’ wa As-Sifat).

Jadi, jika seseorang menukilkan perkataan salafus soleh: bahwa kita mengisbatkan seluruh sifat-sifat Allah s.w.t. yang disifati oleh Allah s.w.t. termasuk sifat-sifat mutasyabihat, seperti Wajh, Yadd dan sebagainya tanpa takyiif (membicarakan keadaannya)…” bukan berarti ini manhaj isbat Ibn Taimiyah.

hal Ini karena, para salafus soleh, takkala menegaskan bahwa, kita perlu mengisbatkan sifat-sifat mutasyabihat tersebut,maksudnya bukan mengisbatkan maknanya dari sudut bahasa, tetapi sekadar mengisbatkannya dari sudut lafaz, seperti yang dibicarakan sebelum ini.

Adapun perkataan para ulama’ salaf pada perkataan: “tanpa takyiif” setelah mengisbatkan sifat-sifat mutasyabihat tersebut, jelas maksudnya adalah bahwa maknanya tidak diketahui oleh mereka, dan tidak pula di fahaminya dari sudut bahasa seperti Ibn Taimiyah, karena tanpa takyiif dalam istilah mereka, sama seperti: “tanpa memahaminya dari sudut bahasa”.

Lihatlah sendiri contoh perkataan Al-Baihaqi, di mana baliau berkata pada tajuk-tajuk dalam buku beliau, contohnya: bab isbat sifat wajh Allah s.w.t., kemudian beliau mensyarah dengan demikian: “namun, itu bukanlah satu bentuk anggota”, sedangkan makna wajh dari sudut bahasa ialah satu bentuk anggota/organ. Jadi, isbat menurut salafus soleh bukanlah isbat seperti dakwaan Ibn Taimiyah, kerana isbat salafus soleh semata-mata menetapkan lafaz kalimah tersebut, tanpa memahaminya dengan makna perkataan tersebut dari sudut bahasa, sedangkan Ibn Taimiyah menetapkan makna perkataan tersebut dari sudut bahasanya.

Tafwidh jenis inilah yang disalah sangka oleh sebagian pengikut Ibn Taimiyah dengan mengklaim bahwa, golongan salafus soleh bermanhaj isbat, bukan tafwidh, sedangkan pada hakikatnya, golongan salafus soleh bermanhaj tafwidh, walaupun ada sebagian dari kalangan mereka seolah-olah menggunakan istilah “isbat”. Isbat menurut mereka sekedar mengakui sifat Allah s.w.t. yang mutasyabihat tersebut dari sudut lafaznya saja, tanpa memahami lafaz yang di lalui tersebut. Sedangkan, Ibn Taimiyah mengklaim bahwa golongan salafus soleh memahami maknanya dari sudut bahasa dan ini tidak benar, dan akan dijelaskan setelah ini.

Ketiga: Tafwidh yang dekat kepada Ta’wil

Di sana juga ada tafwidh yang dekat kepada ta’wil, dan kami (Dr. Al-Qaradhawi) akan menukilkan sebagian contoh mengenai ini. Golongan ini seperti ingin memalingkan makna daripada makna asal perkataan tersebut secara sudut bahasa, namun mereka tidak memberi kan makna yang lain.

Ada satu catatan penting di sini ialah mereka yang tafwidh dengan tafwidh pada bagian ini berpendirian: “secara jelas menafikan dhahir (makna asal perkataan tersebut dari sudut bahasa), dengan menegaskan bahwa, makna dhahir tersebut tidak mungkin merupakan maksud yang dikehendaki oleh Allah s.w.t.. Manhaj inilah yang lebih dikenali dengan: ta’wil ijmali (ta’wil secara ringkas).banyak para ulama’ memilih untuk menafikan makna dhahir perkataan tersebut secara jelas, di samping memilih untuk menyerahkan makna sebenarnya lafad tersebut kepada Allah s.w.t..

Penulis menambahkan: “seperti contoh: perkataan yadd Allah. Mereka menafikan bahwa yadd yang dimaksudkan di sini ialah yadd yang difahami oleh makna bahasa, iaitu satu anggota/organ yang berjuz, terbagi dengan beberapa anggota, berjari dan sebagainya. Walaupun demikian, mereka menyerahkan makna sebenarnya lafad tersebut kepada Allah s.w.t. tanpa memahaminya dengan makna dari sudut bahasa”.

Dr. Al-Qaradhawi seterusnya menambahkan: “Menurut Imam An-Nawawi r.a., inilah merupakan manhaj jumhur salafus soleh dan sebagian daripada golongan mutakallimin (golongan Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyah).

Imam An-Nawawi r.a. berkata: “Mazhab jumhur ulama’ salaf dan sebagian daripada golongan mutakallimin (ahli kalam dari kalangan Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyah): bahwa mereka beriman bahawasanya sifat-sifat tersebut (mutasyabihat tersebut) itu benar sesuai dengan sifat-sifat yang layak bagi Allah s.w.t.. Adapun dhahir yang diketahui sesuai dengan sifat kita (iaitu, makna dhahir perkataan tersebut dari sudut bahasa), bukanlah yang dimaksudkan (oleh Allah s.w.t.), dan mereka tidak memberikan ta’wilnya (makna lain untuk memalingkan perkataan tersebut dari maknanya dari sudut bahasa), di samping mempercayai akan kesucian Allah s.w.t. daripada sifat yang menyerupai sifat makhluk, dan suci dari pergerakan, perpindahan, dan segala sifat makhluk yang lain (yang hadis atau baru).” (Syarah Sahih Muslim: 6/36)

Para ulama’ mutakallimin (Al-Asya’irah) yang terkenal dengan manhaj ta’wil (seperti Imam Al-Juwaini r.a., Imam Al-Ghazali r.a., Imam Al-Razi r.a. dan sebagainya), kadang-kala kembali kepada manhaj tafwidh jenis ini, di mana mereka menafikan makna perkataan tersebut dari sudut bahasa, dengan tidak memberikan makna lain bagi perkataan tersebut, lalu menyerahkan makna sebenarnya  lafad tersebut kepada Allah s.w.t..

Sheikh Al-Qaradhawi (semoga Allah s.w.t. memberi ganjaran kepada beliau dengan manhaj kritikan beliau yang penuh adab dan semoga umat Islam dapat beradab dalam munaqasyah seperti beliau) memberi koment dalam perbahasan ini, terhadap pendirian keras Sheikh Ibn Taimiyah dalam menolak konsep tafwidh secara mutlak, dengan kata beliau (Al-Qaradhawi):

“Sesungguhnya, Ibn Taimiyah telah melakukan satu perkara yang merbahaya, dari sudut ini, dalam manhaj isbat beliau. Beliau mengingkari bahwa, ada ulama’ salaf yang menafikan makna dhahir ayat-ayat mutasyabihat tersebut. (rujuk fatwa Ibn Taimiyah 5/19). Maka, Ibn Taimiyah sebenarnya mengetahui bahwa: konsep “dhahirnya tidak dimaksudkan” merupakan nadi konsep ta’wil itu sendiri (lalu mencoba mengingkarinya), termasuk jika ayat-ayat mutasyabihat tersebut,yang pada dhahirnya membawa makna “tasybih atau tajsim” (menisbahkan sifat jisim kepada Allah s.w.t.).

Saya (Al-Qaradhawi) berkata: “Penentangan terhadap Ibn Taimiyah sebenarnya di sini (dalam bab ayat-ayat mutasyabihat ini), iaitu yang ditunjukkan (dimaksudkan) oleh dhahir nas-nas mutasyabihat tersebut. Jika kami (Al-Qaradhawi dan para pengkritik manhaj Ibn Taimiyah dalam masalah ini) katakan pada makna firman Allah s.w.t.: “Bersabarlah dengan hukum ketentuan dari Tuhanmu. Sesungguhnya kamu pada a’yunina (dalam bahasa melayu berarti: mata-mata Kami)” maksud (dari perkataan a’yunina (dalam Bahasa Melayu: mata-mata Kami) ialah: pada penjagaan dan pengawasan Kami (Allah s.w.t.), adakah kami (Al-Qaradhawi) telah keluar dari petunjuk dan maksud ayat tersebut? Tidak sama sekali, bahkan itulah makna yang lebih tepat (di banding dengan memahami a’yunina dengan makna dari sudut bahasa iaitu: pada mata-mata Kami). Inilah maksud dari ayat tersebut, tanpa mengisbatkan sifat mata-mata (dari sudut bahasa) kepada Allah s.w.t..”

Penulis menambahkan-dengan rasa hormat terhadap perkataan Sheikh Al-Qaradhawi tersebut, dan dengan rasa hormat dengan pandangan Sheikh Ibn Taimiyah-: “Di sini, jelas sekali pendirian seorang ulama’ yang mu’tadil (bermanhaj sederhana) seperti Sheikh Dr. Al-Qaradhawi sendiri, terpaksa mengkiritik dasar pemikiran Ibn Taimiyah dalam masalah ini, karena telah jelas kehilapan beliau, takkala menolak konsep majaz dan konsep “dhahir perkataan tidak dimaksudkan” tersebut, sebenarnya, konsep majaz dan sebagainya  itu terkandung dalam tabiat Bahasa Arab itu sendiri.

Oleh kerana itulah, Sheikh Al-Qaradhawi memberi komen lagi: “Sesungguhnya,  klaim bahwa makna dhahir saja yang dimaksudkan oleh suatu nas (ayat atau perkataan), merupakan satu klaim yang tidak  sehat dan tidak dapat diterima. Ini karena, kadang-kala juga, dalam hal-hal ayat tertentu, makna kiasan (bukan makna asal sesuatu perkataan tersebut) lebih tepat dengan tabiat Bahasa Arab itu sendiri (seperti perkataan: tangan raja di atas seluruh rakyatnya. Tabiat bahasa sendiri mengakui, makna kiasan bagi tangan raja iaitu kekuasaan adalah lebih tepat daripada maknanya dari sudut bahasa, iaitu satu anggota dari tubuh raja tersebut.)”.

Terdapat juga dari kalangan golongan salafus soleh yang bermanhaj tafwidh (menyerahkan makna perkataan mutasyabihat tersebut kepada Allah s.w.t.) kadang-kala menukilkan ta’wil-ta’wil terhadap ayat-ayat mutasyabihat tersebut, tanpa mengingkarinya (konsep ta’wil tersebut).

Contoh seperti dalam syarah Sahih Muslim oleh Imam An-Nawawi r.a., dalam bab hadis nuzul (turunnya) Allah s.w.t.:

“Pendapat kedua: Pendapat kebanyakkan golongan mutakallimin, dan sebagian daripada kalangan salafus soleh- seperti Imam Malik dan Auza’i r.a.-yang mana mereka menta’wil ayat-ayat mutasyabihat dalam kondisi-kondisi tertentu: bahwa, ta’wil bagi nuzul (turunnya) Allah s.w.t. ada dua ta’wil.Salah satunya (ta’wil Imam Malik r.a.) ialah: turunnya rahmat Allah s.w.t. urusan dan para malaikatNya…” (Syarah Sahih Muslim 6/36-37)

-Tamat Nukilan Perbahasan dari buku Fusulun fil Aqidah karangan Sheikh Al-Qaradhawi (semoga Allah s.w.t. memelihara beliau) berkenaan bab ini-

Maka,  apapun bentuk ucapan-ucapan golongan salafus soleh yang pada dasarnya menunjukkan kepada “isbat”, maka ketahuilah bahwasanya, isbat tersebut juga adalah jenis tafwidh, terutama kembali kepada makna tafwidh yang kedua iaitu, tafwidh yang dekat kepada isbat.

Ingatlah bahwasanya, kalaupun ada dari kalangan ulama’ salafus soleh yang mengisbatkan sesuatu sifat mutasyabihat, mereka akan kembali kepada kaedah: “isbat tanpa kaif (menggambarkan keadaan sifat tersebut)”.

Sheikh Ibn Taimiyah menyangka atau mengklaim bahwa: perkataan tanpa kaif (menggambarkan keadaan sifat tersebut) dalam ungkapan salafus soleh itu berarti, mereka mengetahui makna tersebut, namun sekadar menafikan bentuk keadaan sifat tersebut, padahal makna “tanpa kaif” dalam ungkapan salafus soleh berarti, mereka tidak mengetahui hakikat makna perkataan mutasyabihat tersebut, apatah lagi keadaan sifat tersebut.

Jadi, para salafus soleh mengisbatkan lafaz perkataan mutasyabihat tersebut, tanpa memahaminya dengan maknanya dari sudut bahasa, karena menurut mereka, hanya Allah s.w.t. saja yang mengetahui maknanya. Mereka mengatakan “tanpa kaif” berarti, mereka melarang orang lain daripada menggambarkan hakikat sifat tersebut dengan maknanya dari sudut bahasa.

Adapun Sheikh Ibn Taimiyah, memahami bahwa, golongan salafus soleh memahami ayat-ayat mutasyabihat dari sudut dhahirnya (maknanya dari sudut bahasa), Cuma melarang orang membayangkan bentuknya saja. Ini bertentangan dengan manhaj asal tafwidh itu sendiri, yang merupakan manhaj hampir semua salafus soleh.

Namun, Dr. Al-Qaradhawi tidak menafikan, kemungkinan ada dari kalangan salafus soleh mengisbatkan sifat-sifat mutasyabihat tersebut dari sudut bahasa, walaupun jumlahnya sangat sedikit. Tetapi, itu suatu hal yang bersifat samar, karena boleh jadi mereka tidak bermaksud untuk mengisbatkan maknanya dari sudut bahasa, Cuma disalah artikan. walau pun begitu, itu sangat  sedikit, karena majoritas salafus soleh bermanhaj tafwidh.

Ta’wil dan Para Salafus Soleh

Walaupun majoritas Salafus Soleh mengambil sikap untuk tidak menta’wil perkataan-perkataan mutasyabihat dengan makna lain, sebagai ganti dengan memalingkan makna perkataan tersebut dari perkataan yang dhahir (dari sudut bahasa), karena menyerahkan makna sebenarnya dari perkataan tersebut kepada Allah s.w.t., namun ada juga sebagian daripada golongan salafus soleh yang memberi ta’wilan kepada sebagian ayat yang mengandung mutasyabihat, dalam keadaan-keadaan tertentu.

Ta’wil yang mereka gunakan adalah ta’wil yang diterima dan memang sesuai dengan sunnah dan tabiat Bahasa Arab itu sendiri, yang mana dinamakan oleh ulama’ sastera Arab (balaghah) sebagai: kinayah (kata perumpamaan), majaz (kiasan) dan isti’arah atau kata pinjaman.

Contohnya:

Imam Ad-Dhihak r.a. dan Abu Ubaidah r.a. menta’wil firman Allah s.w.t.: “Setiap benda akan musnah kecuali WajahNya”. Wajah Allah s.w.t. dalam ayat tersebut maksudnya: ZatNya. (Daf’u Syibahu At-Tasybih oleh Imam Ibn Jauzi: 31).

Telah diriwayatkan secara ma’thur bahwa tafsiran sebgian salafus soleh, terhadap ayat “Dia sentiasa bersama kamu di mana kamu berada” dengan makna, bersama makhluk dengan ilmuNya (bukan dengan zatNya).” (Fusulun fil Aqidah: 84).

Dalam ayat “Dan langit itu Kami (Allah) dirikan dengan ayydin (tangan-tangan dalam Bahasa Melayu)…” Imam Ibn Abbas r.a. menta’wilkan aydin dengan makna kekuasaan. (Tafsir At-Tabari: 27/6)

Dalam ayat berbunyi: “Telah datang Tuhanmu” (Al-Fajr: 22), Imam Ahmad bin Hanbal r.a. telah menta’wil dengan makna: telah datang pahala (dari) Tuhanmu” (Al-Bidayah wa An-Nihayah: 10/328)

Dalam hadis sahih Al-Bukhari di mana Rasulullah s.a.w. menyebut: “Yadhak Allah” (dalam bahasa maksudnya: Allah telah tertawa), dan Imam Al-Bukhari menta’wilnya dengan maksud: “Allah merahmati”. Beliau menta’wil ketawa dengan makna rahmat. (Fathul Bari 6/123-124)

Imam Mujahid r.a. menta’wil perkataan “janbi” (dalam bahasa berarti pada lambung) Allah s.w.t., dalam ayat surah Az-Zumar ayat 56, dengan maksud: perintah Allah s.w.t.. (Tafsir At-Tabari 24/13).

Terlalu banyak contoh di mana para salafus soleh menta’wil ayat-ayat mutasyabihat, yang tidak termuat untuk dinukilkan semuanya di sini. Namun, dapatlah kita ketahui bahwa, para salafus soleh sendiri tidak menolak ta’wil secara mutlak seperti sikap Ibn Taimiyah, karena tidak sedikit dari kalangan mereka yang menta’wilkan sejumlah besar daripada ayat-ayat mutasyabihat dengan ta’wil yang sesuai dengan kaedah dan tabiat konsep kiasan dalam Bahasa Arab itu sendiri.

Jadi, dapatlah kita fahami bahwa, di antara manhaj salafus soleh dalam berinteraksi dengan ayat-ayat mutasyabihat, termasuk di dalamnya manhaj ta’wil, di samping majoritas daripada mereka bermanhaj tafwidh (yang juga pada hakikatnya satu bentuk ta’wil dari sudut lain).

Jadi, kita tanyakan kembali, di manakah pertentangan manhaj golongan Al-Asya’irah yang dikatakan bermanhaj ta’wil, dengan golongan salafus soleh, sedangkan golongan salafus soleh sendiri bermanhaj tafwidh yang juga ta’wil dalam bentuk ringkas, dan ada juga yang bermanhaj ta’wil (secara terperinci).

Apakah ta’wil secara terperinci (ta’wil tafsili) yang dilakukan oleh majoritas para Al-Asya’irah dan sebagian daripada golongan salafus soleh, maupun manhaj tafwidh majoritias salafus soleh, kedua-duanya bersepakat dalam satu manhaj yang sama iaitu: “menafikan makna dhahir ayat-ayat mutasyabihat tersebut” dan inilah sebenarnya nadi konsep ta’wil itu sendiri (yaitu, memalingkan daripada makna dhahir (makna dari sudut bahasa) sesuatu perkataan tersebut). Inilah kesepakatan antara dua golongan terbesar umat Islam iaitu, salafus soleh dan Al-Asya’irah.


Namun yang tinggal sekarang, hanyalah golongan mutasallif yang terasing, yang mengikuti versi manhaj salafi Ibn Taimiyah, sedangkan salafus soleh sendiri berlepas daripada manhaj isbat (ma’na lughowi) mereka.

Di edit sedikit oleh penulis dari tulisan: 
Al-Faqir ila Rabbihi Al-Jalil
Raja Ahmad Mukhlis bin Raja Jamaludin Al-Azhari
‘AmalahuLlahu bi LutfiHi Al-Khafiy

DiNuqilkan Oleh : Bagus Rangin ~ Kertajati-Majalengka

pucukpucuk Agan sedang membaca artikel tentang: Antara manhaj Salaf, Asy'ariyah dan Salafy [1]. Silakan agan copy dan paste atau sebarluaskan artikel ini jika dinilai bermanfaat,Ane juga menyediakan buku terjemahan kitab yang membantah wahabi: 1. buku "bid'ah mahmudah dan bid'ah idhafiyah antara pendapat yang membolehkan dan yang melarang" terjemah dari kitab: albid'atul mahmudah wal bid'atul idhafiyah bainal mujiziina wal maniin" karya Syaikh abdul fattah Qudais Al Yafi"i, 2.Terjemah kitab ‘At Tabaruk Bi As Sholihin Baina Al Muzijiin wa Al Maani’in: Mencari Keberkahan Kaum Sholihin Antara Pendapat yang Membolehkan dan yang Melarang, hub admin: hp/WA 0857-5966-1085.syukron :

*** Dapatkan buku terjemah disini ***

Share this article :

+ komentar + 3 komentar

6 Oktober 2012 pukul 09.59

Asssalaamu`alaikum warahmatulaahi wabarakaatuh...

Uraian tuan sangat membantu saya alhamdulillaah...

6 Oktober 2012 pukul 19.49

wa alaikum salam...segala puji milik allah...semoga mengalir manfaatnya bagi kita semua..jazakallah ahsanal jaza atas kunjungan tuan

5 Juli 2015 pukul 09.33

kunjungi tafsir quran www.TAFSIR-QURAN.co.nr

Posting Komentar

Jangan lupa Tulis Saran atau Komentar Anda

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger