News Update :
Home » » Diskusi sersan [serius tapi santai] Tentang ungkapan tangan tidak seperti tangan mahluk [1]

Diskusi sersan [serius tapi santai] Tentang ungkapan tangan tidak seperti tangan mahluk [1]

Penulis : Bagus Rangin on 2 Mei 2012 | 22.23.00






Wahabi berkata:

IMAM TIRMIZI MENJELASKAN IKTIQAD AHLI SUNNAH WAL JAMAAH



Imam Tirmizi Rahimahullah berkata setelah membawakan riwayat hadis di dalam sunannya yang menyebutkan berkenaan Allah mengambil sedekah dengan Tangan kananNya lalu beliau berkata



غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ وَمَا يُشْبِهُ هَذَا مِنْ الرِّوَايَاتِ مِنْ الصِّفَاتِ وَنُزُولِ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالُوا قَدْ تَثْبُتُ الرِّوَايَاتُ فِي هَذَا وَيُؤْمَنُ بِهَا وَلا يُتَوَهَّمُ وَلا يُقَالُ كَيْفَ هَكَذَا رُوِيَ عَنْ مَالِكٍ وَسُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُمْ قَالُوا فِي هَذِهِ الأَحَادِيثِ أَمِرُّوهَا بِلا كَيْفٍ وَهَكَذَا قَوْلُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ

وَأَمَّا الْجَهْمِيَّةُ فَأَنْكَرَتْ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ وَقَالُوا هَذَا تَشْبِيهٌ وَقَدْ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي غَيْرِ مَوْضِعٍ مِنْ كِتَابهِ الْيَدَ وَالسَّمْعَ وَالْبَصَرَ فَتَأَوَّلَتْ الْجَهْمِيَّةُ هَذِهِ الآيَاتِ فَفَسَّرُوهَا عَلَى غَيْرِ مَا فَسَّرَ أَهْلُ الْعِلْمِ وَقَالُوا إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَخْلُقْ آدَمَ بِيَدِهِ وَقَالُوا إِنَّ مَعْنَى الْيَدِ هَاهُنَا الْقُوَّةُ

و قَالَ إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَإِذَا قَالَ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ وَأَمَّا إِذَا قَالَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ وَلا يَقُولُ كَيْفَ وَلا يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلا كَسَمْعٍ فَهَذَا لا يَكُونُ تَشْبِيهًا وَهُوَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابهِ- لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Maksudnya: “Dan sungguh telah berkata tidak seorang daripada ahli ilmu tentang hadis ini dan hadis yang seumpamanya daripada riwayat-riwayat tentang al-Sifat dan (tentang) turunnya Rabb (Allah) Tabaraka wa Ta’ala pada setiap malam ke langit dunia. Mereka berkata riwayat-riwayat seperti ini adalah benar (thabit) dan berimanlah kepadanya dan jangan dibayangkan (seperti apa) dan jangan ditanya bentuk, ciri-ciri dan tatacaranya (kaifiat). Inilah yang telah diriwayatkan daripada Malik (bin Anas) dan Sufyan bin ‘Uyaynah dan ‘Abdullah bin Mubarak, sesungguhnya mereka telah berkata tentang hadis-hadis seperti ini (yang berkaitan nas-nas al-Sifat): Terimalah ia (berimanlah kepadanya) tanpa mempersoalkan bentuk, ciri-ciri dan tatacara (kaifiat). Dan demikianlah juga pendapat ahli ilmu Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah.

Adapun golongan al-Jahmiyyah, mereka mengingkari riwayat-riwayat seperti ini (nas-nas al-Sifat) sambil berkata ini adalah tasybih (penyerupaan dengan makhluk). Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menyebut hal ini tidak hanya sekali dalam kitab-Nya (al-Qur’an) seperti Tangan dan Pendengaran dan Penglihatan akan tetapi golongan al-Jahmiyyah telah mentakwilkan ayat-ayat ini dan menafsirkannya kepada sesuatu yang berlainan daripada tafsiran ahli ilmu. Mereka (al-Jahmiyyah) berkata sesungguhnya Allah tidak mencipta (Nabi) Adam (‘alaihi salam) dengan Tangan-Nya. Mereka berkata maksud Tangan-Nya di sini adalah kekuatan-Nya.

Padahal berkata Ishaq bin Ibrahim: “Sesungguhnya yang dianggap tasybih (penyerupaan dengan makhluk) hanyalah apabila seseorang berkata Tangan seperti tangan (makhluk) atau seumpama tangan (makhluk), Pendengaran seperti pendengaran (makhluk) atau seumpama pendengaran (makhluk). Justeru apabila seseorang berkata Pendengaran seperti pendengaran (makhluk) atau seumpama pendengaran (makhluk) maka barulah itu dianggap sebagai Tasybih (penyerupaan).

Namun apabila seseorang berkata sebagaimana firman Allah Ta’ala di dalam kitab-Nya (al-Qur’an): Tangan dan Pendengaran dan Penglihatan tanpa mempersoalkan bentuk, ciri-ciri dan tatacaranya (kaifiat) dan tidak dikatakan seumpama pendengaran (makhluk) dan tidak juga dikatakan seperti pendengaran (makhluk) maka ini tidak dianggap sebagai penyerupaan. Malah ia adalah seperti firman Allah Ta’ala di dalam kitab-Nya (al-Qur’an): Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [al-Syura 42:11]”.

[Lihat Sunan Tirmizi pada Hadis no: 662. (باب ما جاء في فضل الصدق) Bab Keutamaan Sedekah. Untuk melihat keseluruhan teks hadisnya, lihat di sini: http://hadith.al-islam.com/Display/Display.asp?Doc=2&Rec=1076 ] 

Komentar:
wahai SAUDARA.. semoga dirahmati Allah..
terima kasih atas nukilan ANDA yg seolah-olah "mampu" menolak segala nukilan-nukilan (dr salafus-soleh) saya al-faqir telah nukilkan dalam artikel-artikel sebelum atau sesudah ini tntang pegangan salafus-soleh yang sebenarnya.

و قَالَ إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَإِذَا قَالَ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ وَأَمَّا إِذَا قَالَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ وَلا يَقُولُ كَيْفَ وَلا يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلا كَسَمْعٍ فَهَذَا لا يَكُونُ تَشْبِيهًا وَهُوَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابهِ- لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

poin  pertama:

“Asas Aqidah As-Salaf As-Soleh” perlu disimpulkan berdasarkan perkataan-perkataan majoritas ulama’ salaf yang qat’ie ad-dilalah (jelas petunjuk dan maksudnya). Saya sudah menyusun dan memberi pelbagai perkataan para ulama’ salaf yang jelas menafikan konsep “menetapkan makna dzahir” atas nas-nas mutasyabihat. Hanya saja, sebagian pengakuan salafi dewasa ini tidak tahu tentang membedakan antara konsep menetapkan “lafad” mutasyabihat yg dipegang oleh ulama’ salaf dengan menetapkan “makna dhahir” bagi lafazd mutasyabihat yang dipegang oleh Ibn Taimiyyah.

Ini perkataan penghulu salaf ( dari kalangan para sahabat r.a.) yaitulah Saidina Ali r.a. berkata: Allah s.w.t. wujud tanpa bertempat (Al-Farq bain Al-Firaq: 256)

Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Husein r.a. (94 H) berkata: “Sesungguhnya, Engkaulah Allah, yang tidak bertempat” (Ittihaf Saadah Al-Muttaqin: 4/380)

Imam Abu Hanifah r.a. (150H) berkata: Allah s.w.t. itu wujud tanpa bertempat sebelum dia menciptakan makhluk. Maka, Allah s.w.t. wujud tanpa di mana, tanpa makhluk dan tanpa sesuatupun (bersamaNya). Dialah yang menciptakan segalanya. (Al-Fiqh Al-Absath: 25)

Dan masih terlalu banyak lagi perkataan-perkataan para salafus-soleh yang menafikan “tempat”, kejisiman dan makna-makna kejisiman bagi Allah s.w.t.. Oleh itu, mereka cuma menetapkan “lafad-lafad” mutasyabihat tanpa mentapkan makna dhahirnya.

Kesalahan mendasar dari anda dalam berinteraksi dengan nas-nas mutasyabihat termasuk dalam nas Imam At-Tirmizi adalah, dengan menterjemahkan lafad-lafad mutasyabihat dengan bahasa lain yang mana terjemahan suatu lafaa kepada bahasa lain menunjukkan bahwa anda memahami makna lafad tersebut. Berdasarkan terjemahan anda:

Yadd= tangan

Inilah merupakan konsep “menetapkan makna dhahir bagi nas-nas mutasyabihat yg digunakan oleh Ibn Taimiyyah, bukan Salafus-Soleh .

Adapun konsep salaf-soleh adalah, menetapkan lafad mutasyabihat lalu tidak mentapkan makna apapun bagi lafad tersebut karana menyerahkan (tafwidh) maknanya kepada Allah s.w.t..

Imam Abu Ubaid berkata secara jelas: “Jika ditanya kepada kami, tentang tafsiran (ayat-ayat mutasyabihat), maka kami tidak menafsirkannya…” (Al-Asma’ wa As-Sifat karangan Imam Al-Baihaqi: 355)

Makna tidak mentafsirkan ayat-ayat mutasyabihat adalah tidak memahaminya dengan makna apa pun.hal Ini karena mrk menyerahkan maknanya kepada Allah s.w.t.. Berbeda dgn Ibn Taimiyyah yg sekadar menyerahkan kaifiyyat (tatacara/bentuk/dll) makna tersebut kepada Allah s.w.t., bukan menyerahkan maknanya kepada Allah s.w.t..

LAFAZ MUTASYABIHAT --> MAKNA --> KAIFIYYAT (TATACARA)

Para ulama’ salaf selalu menyerahkan “makna” lafad mutasyabihat kpd Allah s.w.t. dengan mengatakan bahawasanya hanya Allah s.w.t. yg mengetahui maknanya lalu menolak secara mutlak “kaifiyyat” daripada Allah s.w.t.. Ibn Taimiyyah tidak begitu. Dia mengklaim memahami makna lafad mutasyabihat, yaitu dengan makna dzahir, lalu menetapkan kaifiyyat bagi lafaz-lafaz tersebut namun menyerahkan kaifiyyat kpd Allah s.w.t.. Di sinilah kegelinciran Ibn Taimiyyah dan pengikut2nya daripada manhaj salafus-soleh yang sebenarnya, walaupun berlindung di balik nama salaf.

Dari konsep “menetapkan makna dzahir” bagi nas-nas mutasyabihat inilah pengikut2 Ibn Taimiyyah menterjemahkn lafad-lafad mutasyabihat ke dalam bahasa lain seperti;

YADD  TANGAN

NUZUL  TURUN

Dll.

Siapa yang menyuruh anda untuk memahami nas-nas mutasyabihat dgn makna dzahir? Itulah masalah Ibn Taimiyyah dan pengikut2nya sejak awal. Mrk tidak faham bahwa nas-nas mutasybihat tidak perlu difahami dgn makna dhahirnya. Sebab itu Allah s.w.t. memberitahu dengan (firman)Nya dalam Al-Qur’an: bagi nas-nas mutasyabihat, ada makna lain (ta’wil)nya, Apakah hanya Allah s.w.t. saja yang mengetahuinya ataupu turut diketahui oleh sebagian ahli ilmu (kembali kepada pembahasan tentang wawu dalam surah Ali Imran ayat ketujuh).

Kalau tidak faham makna lafad mutasyabihat, bagaimana bisa menterjemah ke bahasa lain. Nah, inilah pegangan para ulama’ salaf:-

Imam Sufian bin Uyainah r.a. berkata: “Apa yang disifati oleh Allah s.w.t. tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan lafad tersebut (seperti yadd) adalah tafsirannya (yakni, cukuplah dengan menyebut lafad tersebut, maka itulah yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t., tanpa perlu tahu makna sebenarnnya dari sudut bahasa ataupun  laininya- penulis). Tidak bisa seseorang pun menafsirkannya dengan Bahasa Arab (dengan mengisbatkan sifat tersebut dari sudut Bahasa Arab) ataupun menafsirkannya dengan bahasa Farsi (merujuk kepada menterjemahkan perkataan tersebut kepada bahasa asing, menurut maknanya dari sudut Bahasa Arab, seperti menterjemahkan perkataan Yadd Allah kepada tangan Allah)” (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).

Kami sudah sebutkan terlalu banyak perkataan ulama’ salaf yang menolak makna kejisiman dan tempat bagi Allah s.w.t.. Ini asas aqidah mereka. Setelah itu, barulah bisa di fahami apa yang dimaksudkan oleh salaf daripada perkataan-perkataan mereka.

Kemudian, mari kita analisis perkataan Imam At-Tirmizi r.a. yang anda nukil secara ringkas dalam perkataan beliau, insya Allah.

Imam At-Tirmizi berkata:

غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ وَمَا يُشْبِهُ هَذَا مِنْ الرِّوَايَاتِ مِنْ الصِّفَاتِ وَنُزُولِ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالُوا قَدْ تَثْبُتُ الرِّوَايَاتُ فِي هَذَا وَيُؤْمَنُ بِهَا وَلا يُتَوَهَّمُ وَلا يُقَالُ كَيْفَ

Maksudnya: Bukan seorang saja (banyak) daripada ahli ilmu dalam (pembahasan) hadith ini dan yang seumpama dengannya daripada riwayat-riwayat (nas-nas) sifat dan nuzul (tetapkan lafad riwayat tanpa menetapkan makna dhahir, dan tidak perlu menterjemah ke bahasa lain, kerana ia adalah lafad mutasyabihat) Ar-Rabb s.w.t. pada setiap malam ke langit dunia, maka mereka ( ahli Ilmu tersebut) berkata:

“Telah thabit riwayat2 tersebut dan kami beriman (atau dgn teks yang anda maksud: dia beriman… lebih tepat: kami beriman dgn lafaz nu’minu bukan yu’minu) dengannya (hadith-hadith sifat tersebut) tanpa mewahamkan(nya) dan tanpa dikatakan “bagaimana”.

coba anda fahami makna perkataan:

- Beriman dengannya

- tidak mewahamkannya

Maksud beriman dengannya adalah beriman dengan kesahihan dan ketetapan hadith-hadith sifat yang mutasyabihat tersebut, dengan di sertai bahwa makna yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t., bukan dengan makna dhahirnya sebagaimana yang difahami oleh Ibn Taimiyyah dan para pengikutnya.

oleh Sebab itulah,setelahnya Imam At-Tirmizi menjelaskan lagi: “tidak mewahamkannya”… Maksud la yatawahham adalah: tidak memahami lafazd atau hadith mutasyabihat secara waham. Bagaimana? Memahami hadith sifat yg mutasyabihat secara waham (samar lagi salah) adalah sebagaimana yg difahami oleh Ibn Taimiyyah dan pengikutnya, yaitu memahaminya dengan makna dahir atau dengan maknanya dari sudut bahasa. Itulah kewahaman dalam memahami lafad-lafad mutasyabihat.

Adapun salaf-soleh tidak memahami hadith-hadith mutasyabihat dengan makna dhahir. Mereka hanya menetapkan lafazd mutasyabihat tersebut dgn menyerahkan maknanya kpd Allah s.w.t.. Inilah pendirian mrk. Oleh sebab itu, perkataan Imam At-Tirmizi jelas menolak femahaman pengaku salafi modern yang waham dalam memahami mutasyabihat.

Al-Khallal meriwayatkan dalam kitab As-Sunnah daripada Imam Ahmad r.a., bahawasanya Imam Ahmad brkata ktika berinteraksi dgn hadith-hadith sifat (mutasyabihat):

“Kami beriman dengannya dan membenarkannya tanpa kaif dan tanpa makna” (rujuk Takallamah Ar-Radd oleh Imam Al-Kauthari m/s60)

Ini secara jelas menunjukkan pegangan salaf hanya mentapkan lafad mutasyabihat, tidak menetapkan maknanya dari sudut dhahir atau dari sudut bahasa… Maka fahamilah…

هَكَذَا رُوِيَ عَنْ مَالِكٍ وَسُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُمْ قَالُوا فِي هَذِهِ الأَحَادِيثِ أَمِرُّوهَا بِلا كَيْفٍ وَهَكَذَا قَوْلُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ

Maksudnya: Begitulah sebagaimana yang diriwayatkan daripada Imam Malik, Imam Sufiyyan dan Imam Abdullah bin Al-Mubarak r.a. bahwasanya mereka berkata pada hadith (mutasyabihat) ini: “Ammiruhaa…” (maksudnya yang tepat bukan dengan : terimalah sebagaimana terjemahan anda. ammiruha dari marra  yang masdarnya imrar, yaitu secara bahasa adalah melalui. Maksudnya imrarkannya atau melalui atau melewatinya , yakni baca  tanpa perlu mendalami maknanya. Itulah makna imrar yang sebenarnya) tanpa kaif ( maksud makna tanpa kaif itu lebih umum daripada tanpa kaifiyyat. Ini menunjukkan ulama’ salaf selalu menafikan kaifiyyat daripada Allah s.w.t. sedangkan Ibn Taimiyyah tidak menafikannya. Dia hanya berkata, hanya Allah yg tahu kaifiyyat sifat-sifat mutasyabihat tersebut).” Inilah perkataan ahli ilmu dari kalangan ahli sunnah wal jamaah.

Imam Ibn Katsir pun menukilkan perkataan salaf

إمرارها كما جاءت

melewatinya (membacanya tanpa mendalami makna mutasyabihat) sebagaimana datang nya (disebut dalam Al-Qur’an dan Hadith). (Tafsir: 2/221)

Apa makna perkataan salaf “sebagaimana datangnya”?

Maksudnya, tetapkan lafad mutasyabihat sebagaimana adanya,nah Mengapa yadd ditukar    dengan tangan?  yang disebut di dalam Al-Qur’an itu yadd atau tangan? Yadd itu lebih luas  maksudnya daripada tangan kerana membawa kemungkinan ada makna lain bagi yadd selain makna dhahirnya yaitu tangan (makna kejisiman) sebagaimana yang difahami oleh orang-orang mujassimah dan sebagainya. Contohnya, ain, tak mesti di maksudkan mata (makna kejisiman). Kalau ain di tukar maknanya dengan mata, maka hilangkan fungsi “isytiraq makna” dalam ungkapan ‘ain tersebut krn penggunaan ain dan mata dalam dua bahasa, adalah beda maknanya, maka fahamilah.

Kalau yang ngaku salafi menetapkan yadd tanpa memaknai dengan makna dhahir yg membawa kepada makna kejisiman, maka tiada seorang pun pun yg akan menolak hal itu. Tapi, justru mrk memahami yadd dgn makna kejisiman lalu menterjemahkannnya ke bahasa2 lain dgn makna dhahirnya yg jisim tersebut seperti tangan, hand dll. Itulah yg salah. secara tidak Langsung itu tidak menetapi konsep “imraruha kama jaa’at…”

Kemudian, Imam At-Tirmizi kata lagi:

وَأَمَّا الْجَهْمِيَّةُ فَأَنْكَرَتْ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ وَقَالُوا هَذَا تَشْبِيهٌ

Maksudnya: Adapun golongan Al-Jahmiyyah, maka mereka menafikan riwayat-riwayat sifat ini. Mereka berkata, ini adalah tasybih.

nah Ini berbeda dengan kami yang merupakan ahli sunnah wal jamaah hakiki (Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyyah). Tiada seorangpun dari kalangan ulama’ Al-Asya’irah yg menafikan riwayat-riwayat ini. Kami cuma menafikan waham org2 pengaku salafi yg memahami nas-nas tersebut dengan makna dhahirnya. Salafus-soleh pun menafikan kewahaman tersebut.

Kami tidak ngomong (tidak pernah langsung berkata) bahwa nas-nas mutasyabihat itu adalah tasybih. Kami cuma berkata femahaman org2 mujassimah terhadap nas-nas tersebut dengan makna dhahirnya itulah tasybih. Kalau tetapkan lafaz mutasyabihat lalu menyerahkan maknanya kepada Allah s.w.t., maka itu bukan tasybih karana makna mutasyabihat di menurut Allah s.w.t. ada maknanya yang layak bagiNya tanpa tasybih. Itulah dikatakan wala yalamu ta’wilahu (Ali-Imran: 7)

Kemudian beliau berkata:

وَقَدْ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي غَيْرِ مَوْضِعٍ مِنْ كِتَابهِ الْيَدَ وَالسَّمْعَ وَالْبَصَرَ فَتَأَوَّلَتْ الْجَهْمِيَّةُ هَذِهِ الآيَاتِ فَفَسَّرُوهَا عَلَى غَيْرِ مَا فَسَّرَ أَهْلُ الْعِلْمِ وَقَالُوا إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَخْلُقْ آدَمَ بِيَدِهِ وَقَالُوا إِنَّ مَعْنَى الْيَدِ هَاهُنَا الْقُوَّةُ

Maksudnya: Allah s.w.t. telah menyebutkan dalam banyak tempat dalam kitabNya akan lafad yadd (bukan lafad tangan, di mana ada lafad tangan dalam Al-Qur’an.), As-Sam’u (pendengaran. Ini bukan lafad mutasyabihat kerana makna dhahirnya tidak membawa kepada kejisiman berdasarkan bahasa Arab. Al-Qur’an diturunkan dengan femahaman bahasa Arab. Maka fahamilah) dan Al-Bashor (penglihatan).

Orang Jahmiyyah menta’wilkan ayat-ayat ini (yadd, as-sam’u dan al-bashor) maka mereka mentafsirkannya dengan bukan tafsiran ahli ilmu. Mereka berkata, Allah s.w.t. tidak menciptakan Adam a.s. dengan yaddNya. Dan mereka juga berkata: makna tangan di dalam ayat ini adalah quwwah (kekuatan)…”

Memang jahmiyyah menta’wilkan lafaD-lafad mutasyabihat. Tapi, yang salah bukan ta’wil mutasyabihat. Imam At-Tirmizi mengkritik Jahmiyyah kerana mrk menta’wilkan nas-nas mutasyabihat tidak mengikuti cara ahli ilmu menurut beliau. Kalau Jahmiyyah menta’wil nas-nas mutasyabihat mengikut cara ahli ilmu, maka Imam At-Tirmizi pun tidak akan menolak. Bahkan, Imam At-Tirmizi pun pernah juga menta’wilkan nas-nas mutasyabihat.

Orang jahmiyyah menafikan Allah s.w.t. menciptakan Nabi Adam a.s. dengan Yadd. Golongan Al-Asya’irah tidak pernah menafikannya. Mrk membenarkan bahawasanya Allah s.w.t. menciptakan Nabi Adam a.s. dengan Yadd. Tetapi, makna yadd bukanlah dengan makna kejisiman yakni suatu anggota bagi dzat Allah s.w.t.. Yadd juga banyak kemungkinan maknanya. Kita tetapkan makna sebenarnya sebagaimana yang Allah maksudkan dengan menyerahkan makna tersebut kepada Allah s.w.t..

Orang Jahmiyyah menta’wilkan yadd kepada tangan kerana menolak “lafad” yadd dalam hadith itu. Itulah yang tertolak. Adapun golongan Al-Asya’irah menerima lafad yadd dalam hadith tersebut tetapi bukan dengan makna dhahirnya, sebagaimana juga ulama’ salaf. Yadd dalam hadith penciptaan Nabi Adam a.s. juga tidak menolak kemungkinan bahawasanya yadd tersebut adalah qudrah (bukan quwwah. Ada dua perbezaan halus pada dua ta’wilan ini).

Secara aqidah, Allah s.w.t. menciptakan segala makhluk dengan qudrah (kuasa) Allah s.w.t. yang menyeluruh. Kalau yadd dalam hadith penciptaan Adam a.s. tidak boleh difahami dengan makna qudrah, maknanya, Nabi Adam a.s. tidak diciptakan dengan qudrah (kuasa) Allah s.w.t., tetapi diciptakan dengan yadd Allah yg merupakan sifat lain bagi Allah s.w.t. yang berbeza dariapda qudrah. Kalau begitu, Adam a.s. terlepas daripada qudrah Allah s.w.t.. Ini suatu kemustahilan kerana semua makhluk di bawah qudrah (kuasa) Allah. Maka, yadd juga tidak menafikan makna qudrah itu sendiri.

itulah Bedanya Al-Asya’irah dengan Al-Jahmiyyah, Al-Jahmiyyah ingkar lafad yadd lalu menuduh lafad itu adalah tasybih. Lalu, mereka menta’wil kepada quwwah utk menolak lafad yadd. Ini adalah ta’thil.

adapun Al-Asya’irah tidak mengingkari lafad yadd, tetapi menetapkannya. Mereka juga tidak menganggap lafad yadd itu tasybih tetapi itu mutasyabihat. Adapun yang tasybih adalah femahaman sebagian mujassimah terhadap nas mutasyabihat dengan mkna dhahir. ada pun Ta’wilan Al-Asya’irah adalah dalam rangka membenarkan lafad mutasyabihat tersebut, dengan maknanya yang lebih sesuai, bukan sebagaimana faham Al-Jahmiyyah.

buktinya Imam At-Tirmizi juga menta’wil sebagian nas-nas mutasyabihat. Bahkan dengan sebab itulah, sebahagian pengikut Ibn Taimiyyah menuduh Imam At-Tirmizi sebagai jahmiyyah.

Ibn Qayyim berkata:

( وأما تأويل الترمذي و غيره بالعلم ، فقال شيخنا ( يقصد ابن تيمية ): هو ظاهر الفساد من جنس تأويلات الجهمية


Makasudnya: “Adapn ta’wilan Imam At-Tirmizi dan yang lainnya dengan “ilmu”, maka menurut guru kami (Ibn Taimiyyah): Ini adalah pendapat yang fasid daripada jenis ta’wilan Jahmiyyah…” (rujuk keseluruhan kitab Mukhtasar As-Sowa’iq)

Maka fahamilah betul2 istilah para ulama’ dan juga Asasnya mereka. Mungkin sebagian kecil perkataan mereka tidak merujuk kepada majoritas salaf. Adapun majoritas salaf, mereka jelas jelas menolak tempat dan kejisiman bagi Allah s.w.t…
Wallahu a’lam

wahabi berkata:
Anda mengatakan diantara Yadd itu tidak difahami (tafwidh makna), sedangkan Sam’u dan Basaru anda memahami dan menerima maknanya lalu diterjemahkan kepada pendengaran dan penglihatan.

Coba kita lihat kembali daripada kata-kata Imam Tirmizi tersebut, bukankah beliau menggandingkan Yadd dengan Sam’u dan Basaru,itu menunjukkan tidak ada perbedaan diantara Yadd, Nuzul, Sam’u, Basaru’ semuanya merujuk kata-kata beliau yakni adalah merupakan ayat-ayat sifat bukannya sesuatu yang tidak mempunyai makna.

Coba lihat apa terjemahan hanya sebatas begini:

مِنْ الرِّوَايَاتِ مِنْ الصِّفَاتِ وَنُزُولِ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا

“daripada riwayat-riwayat tentang al-Sifat dan (tentang) Nuzul Rabb (Allah) Tabaraka wa Ta’ala pada setiap malam ke langit dunia…”

وَأَمَّا إِذَا قَالَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ وَلا يَقُولُ كَيْفَ وَلا يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلا كَسَمْعٍ فَهَذَا لا يَكُونُ تَشْبِيهًا

“dan apabila seseorang berkata sebagaimana firman Allah Ta’ala di dalam kitab-Nya (al-Qur’an): Yadd dan Sama’ dan Basar tanpa dipersoalkan bagaimana dan tidak dikatakan seumpama ’ (makhluk) dan tidak juga dikatakan seperti Basar (makhluk) maka ini tidak dianggap sebagai penyerupaan…”

Perhatikan dengan teliti sekiranya Yadd, Sama’, Basar, dan Nuzul tidak mengandung arti yang bisa kita fahami, maka apa jadinya? Ayat al-Quran nanti hanya sebatas lafad-lafazd yang tidak mengandungi arti sebagiannya sehingga tidak ada gunanya meriwayatkan hadis-hadis nabi tentang Yadd, Wajh, Nuzul, dan lain-lain begitu juga di dalam al-Quran yang hampir kebanyakan ayat-ayatnya menyebut lafad-lafad ini.

Sedangkan Al-Quran diturunkan dalam bahasa arab yang dapat difahami maknanya agar dapat diambil iktibar serta mentadabburinya.

Perhatikan Maksud Firman Allah berikut:

“Dan sesungguhnya! Kami telah mudahkan Al-Quran untuk menjadi peringatan dan pengajaran, maka Adakah siapa yang mau mengambil peringatan dan pelajaran (daripadanya)?” (Al-Qamar: 17) “Sesungguhnya Kami jadikan Kitab itu sebagai Quran Yang diturunkan Dengan bahasa Arab, supaya kamu (menggunakan akal) memahaminya.” (Az-Zukhruf: 3) “Dan Sesungguhnya Al-Quran diturunkan oleh Allah Tuhan sekalian alam. Ia dibawa turun oleh malaikat Jibril yang amanah ke dalam hatimu, supaya engkau (Wahai Muhammad) menjadi seorang dari pemberi-pemberi ajaran dan perintah (kepada umat manusia). (ia diturunkan) dengan bahasa Arab yang fasih serta terang nyata.” (Asy-Syu’ara’: 192-195) “Allah menghendaki (dengan apa yang telah diharamkan dan dihalalkan dari kaum perempuan itu) ialah untuk menerangkan (SyariatNya) dan untuk menunjukkan kepada kamu jalan-jalan aturan orang-orang yang dahulu daripada kamu (Nabi-nabi dan orang-orang yang soleh, supaya kamu mengikutinya), dan juga untuk menerima taubat kamu. dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa’: 26) 

Masih banyak lagi dalil-dalil tentang kejelasan ayat al-Quran yang mana ia dapat difahami dengan bahasa arab yang tulen agar kita mentadabburnya.

Saya beri contoh yang mudah, yang menjadi perdebatan sekarang berkenaan Istiwa’nya Allah di atas ‘Arasy:

Firman Allah:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Maksudnya: "Yang Maha Pemurah beristiwa' di atas 'Arasy" (Taha: 5)

Imam At-Tabari r.h. berkata:

وأما قوله:ثم استوى على العرش فإنه يعني: علا عليه .

Maksudnya: "Dan adapun firmanNya (Kemudian Dia beristiwa di atas 'Arasy) Maka sesungguhnya maknanya: Meninggi di atasnya." (Jami'ul Bayan, Imam At-Tabari, juz 16, ms. 325

عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ, فِي قَوْلِهِ:” ” ثُمَّ اسْتَوَى ” , يَقُولُ: ارْتَفَعَ”، وَرُوِِىِ عَنِ الْحَسَنِ وَالرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ مِثْلُ قَوْلِ أَبِي الْعَالِيَةِ

Maksudnya: “Daripada Abu al-Aliyah rahimahullah dalam mentafsirkan firman Allah (maksudnya): “Kemudian dia beristiwa..” kata Abul Aliyah: “Di atas”. Dan diriwayatkan juga daripada al-Hasan, al-Rabi’ bin Anas seperti perkataan Abul Aliyah”. [Tafsir Ibn Abi Hatim, juz 10, ms. 338].

Maka dari penafsiran ulama maksud Istawa di sini di dalam bahasa arab maksudnya adalah  Tinggi. Ini membuktikan perkataan tersebut difahami bukanlah hanya sebatas lafad yang diimani tanpa ada maksud apa-apa.

Bahkan Ibn Mubarak pernah ditanya oleh guru Imam Bukhari: bagaimana bisa mengenal Allah, beliau menjawab di atas langit yang ketujuh di atas 'Arasy.

عن علي بن الحسن بن شقيق، شيخ البخاري، قال: قلت لعبد الله ابن المبارك كيف نعرف ربنا؟ قال: "في السماء السابعة على عرشه". وفي لفظ "على السماء السابعة على عرشه، ولا نقول كما تقول الجهمية إنه هاهنا في الأرض". وقال أيضاً: سألت ابن المبارك: كيف ينبغي لنا أن نعرف ربنا؟. قال: "على السماء السابعة، على عرشه، ولا نقول كما تقول الجهمية إنه هاهنا في الأرض"

Dari Ali Ibn Al-Hasan bin Syaqiq, guru Imam Bukhari berkata: “Saya pernah bertanya kepada Abdullah bin Mubarak bagaimana kita mengetahui Tuhan kita?” Katanya: “Di langit ketujuh di atas 'ArasyNya” Dalam lafaz lain: “Di atas langit ke tujuh di atas ‘ArasyNya dan kita tidak mengatakan sebagaimana yang dikatakan Jahmiyyah bahawasanya Allah di sini, di bumi.”

Ali juga berkata: “Saya pernah bertanya kepada Abdullah bin Mubarak: “Bagaimana sepatutnya kita mengenali Tuhan kita?” Dia menjawab: “Di atas langit ketujuh, di atas Arasy-Nya, dan kita tidak mengatakan sebagaimana orang Jahmiyyah berkata bahawa Allah ada di bumi ini.” (Riwayat Imam Bukhari dalam Khalqu Af’al Al-Ibad (8), Ad-Darimi dalam Raddu Ala Al-Marisi (103) dan juga dalam Ar-Raddu Ala Al-Jahmiyyah (50), Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no: 22 & no: 216, Ibn Batthah dalam Al-Ibanah no: 112, Ibn Mandah dalam At-Tauhid no: 899, Ash-Shobuni dalam Aqidah As-Salaf no: 28, Al-Baihaqi dalam Asma’ Wa Al-Sifat no: 903, Ibn Abdil Barr dalam At-Tamhid (7/142), Ibn Qudamah dalam Itsbat Shifat Al-Uluw, 99 & 100.)

Memang terdapat banyak pendapat makna Istawa' ini, namun yang sahihnya adalah sebagaimana yang dipegang oleh para salafus soleh bahawa Allah itu Tinggi Dia di atas 'Arasy.

Imam Al-Syaukani berkata:

قد اختلف العلماء في معنى هذا على أربعة عشر قولاً ، وأحقها وأولاها بالصواب مذهب السلف الصالح أنه : استوى سبحانه عليه بلا كيف ، بل على الوجه الذي يليق به مع تنزهه عما لا يجوز عليه ، والاستواء في لغة العرب هو العلوّ والاستقرار

Maksudnya: "Para ulama telah berselisih pada makna ayat ini (Istiwa') kepada 14 pendapat dan yang paling dan paling utamanya dengan kebenaran adalah mazhab mazhab As-Salafus Soleh bahawa Istiwa' Subhanahu di atasNya tanpa ditanya bagaimana, bahkan dengan cara yang layak denganNya serta kesucianNya dari apa yang tidak boleh padaNya, dan Istiwa di dalam bahasa arab ialah Tinggi dan Meninggi" (Fathul Qadir, Imam Syaukani, 3/44)

Bahkan Imam Ibn Hajar Al-‘Asqalani pernah membawakan riwayat yang benar tentang Istiwa ini di dalam kitabnya Fathul Baari.

Ibn Hajar Al-'Asqalani rahimahullah berkata:

قَالَ اِبْنِ بَطَّال اِخْتَلَفَ النَّاس فِي الاسْتِوَاء الْمَذْكُور هُنَا فَقَالَتْ الْمُعْتَزِلَة مَعْنَاهُ الاسْتِيلاء بِالْقَهْرِ وَالْغَلَبَة وَاحْتَجُّوا بِقَوْلِ الشَّاعِر : قَدْ اِسْتَوَى بِشْر عَلَى الْعِرَاق مِنْ غَيْر سَيْف وَلا دَم مِهْرَاق. وَقَالَتْ الْجِسْمِيَّة مَعْنَاهُ الاسْتِقْرَار ، وَقَالَ بَعْض أَهْل السُّنَّة مَعْنَاهُ اِرْتَفَعَ ، وَبَعْضهمْ مَعْنَاهُ عَلا ، وَبَعْضهمْ مَعْنَاهُ الْمُلْك وَالْقُدْرَة وَمِنْهُ اِسْتَوَتْ لَهُ الْمَمَالِك

Berkata Ibn Batthol: "Manusia berbeda pendapat pada menafsirkan Istawa' yang  telah disebutkan, maka berkata Al-Mu'tazilah maknanya (istawa') ialah Istila' yaitu menguasai dan mengalahkan dengan hujah kata-kata syair:

ٍSeorang lelaki telah menguasai Iraq tanpa menggunakan pedang dan tanpa pertumpahan darah


dan berkata sebagian Ahli Sunnah maknanya meninggi, dan sebagian mereka memaknai dengan ketinggian, dan sebagian mereka pula memaknai dengan kerajaan dan kekuasaan dan itu ada pada contoh perkataan Arab dia menguasai kerajaan. (Rujuk: Fathul Bari, jilid 20, ms. 494)

Ibn Hajar Al-'Asqalani rahimahullah berkata:

ثُمَّ قَالَ اِبْن بَطَّال : فَأَمَّا قَوْل الْمُعْتَزِلَة فَإِنَّهُ فَاسِد ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَزَلْ قَاهِرًا غَالِبًا مُسْتَوْلِيًا ، وَقَوْله " ثُمَّ اِسْتَوَى " يَقْتَضِي اِفْتِتَاح هَذَا الْوَصْف بَعْد أَنْ لَمْ يَكُنْ ، وَلَازِمُ تَأْوِيلهمْ أَنَّهُ كَانَ مُغَالَبًا فِيهِ فَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ بِقَهْرِ مَنْ غَالَبَهُ ، وَهَذَا مُنْتَفٍ عَنْ اللَّه سُبْحَانه ، وَأَمَّا قَوْل الْمُجَسِّمَة فَفَاسِدٌ أَيْضًا ؛ لأَنَّ الِاسْتِقْرَار مِنْ صِفَات الأَجْسَام وَيَلْزَم مِنْهُ الْحُلُول وَالتَّنَاهِي ، وَهُوَ مُحَال فِي حَقِّ اللَّه تَعَالَى ، وَلائِق بِالْمَخْلُوقَاتِ

Kemudian berkata Ibn Batthol: Adapun perkataan Muktazilah maka itu fasid karana Allah itu senantiasa menguasai dan firman-Nya: "Kemudian Dia bersemayam"  pemahaman Dia bersemayam dari tidak bersemayam maka lazim daripada takwil mereka (istaula) bahwa Dia menguasai Arasy dengan merampasnya daripada orang lain dan ini mustahil pada Allah S.W.T. Adapun pendapat Mujassimah juga fasid kerana menetap itu dengan sifat jisim (makhluk) dan lazim padanya hulul dan berujung dan itu mustahil pada Allah, dan layak pada makhluk. (Fathul Bari, jilid 20, ms. 494)
Dari sini kita fahami bahwa Istiwa ialah Irtafa’a atau ‘ala yang maksudnya sesuatu yang tinggi. Sungguh tidak sukar jika kita fahami ayat-ayat sifat dengan syarat yang Allah telah tetapkan:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Maksudnya: “Tiada sesuatupun yang sebanding dengan (ZatNya, sifat-sifatNya, dan pentadbiranNya) dan Dia lah yang Maha Mendengar, lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuura: 11)

Imam Malik rahimuahullah berkata:

الإستواء معلوم (غير مجهول) والكيف مجهول (غير معلوم) والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة

”Istiwa' adalah maklum (tidak majhul), kaifiat (caranya) adalah majhul (tidak maklum), dan beriman dengannya adalah wajib dan menyoal tentangnya adalah bid'ah.” (Riwayat al-Darimi dalam ''Fi al-Radd 'ala al-Jahmiyah'' m.s 55-56, al-Lalikai dalam ''Syarah al-Sunnah'' 3/398, Imam al-Sobuni dalam '''Aqidah al-Salaf'' no: 25 dan 26, al-Baihaqi dalam ''al-Asma wa al-Sifat'' m.s 408 ada 2 sanad. Al-Hafiz Ibn Hajar mengatakan ''Jayyid'' pada satu sanadnya; rujuk Fath al-Bari 13/406-407, Ibn Abdil Barr, al-Tamhid 7/138, 151, Abu Na'im, al-Haliyah 6/325-326)
Wallahua’lam... 

Komentar:
Perkataan anda:

Anda mengatakan Yadd itu tidak difahami (tafwidh makna), sedangkan Sam’u dan Basaru anda fahami dan menerima maknanya lalu diterjemahkan kepada pendengaran dan penglihatan.
Coba kita lihat kembali daripada kata-kata Imam Tirmizi tersebut, bukankah beliau menggandingkan Yadd dengan Sam’u dan Basaru,itu menunjukkan tidak ada perbedaan diantara Yadd, Nuzul, Sam’u, Basaru’ semuanya merujuk kata-kata beliau yakni adalah merupakan ayat-ayat sifat bukannya sesuatu yang tidak mempunyai makna.

Jawabannya:

Beliau mengandingkan hadits2 tersebut bukan atas dasar maklum maknanya atau tidak, tetapi atas dasar bahwa itu hadith-hadith sifat, maka fahamilah.

Bagi ayat-ayat atau nas mutasyabihat (dinamakan dengan mutasyabihat, kecuali  menurut Ibn Taimiyyah), maka tidak semestinya makna dhahir nas mutasyabihat itu yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t.. Sebab itu Allah s.w.t. mengatakan; ada ta’wil bagi nas-nas mutasyabihat (Ali-Imran: 7). Apa ta’wil??, maksudnya ada makna lain, dan bukan difahami dengan makna dhahir. Fahamilah makna ta’wil itu .

Ilaika Al-Bayaan…

Inilah perkataan-perkataan salaf:

Imam Ibn Qudamah berkata dalam buku lamma'ah Al-I'tiqod:
"Jika ada kesamaran pada ayat-ayat dan hadith-hadith tersebut (mutasyabihat), maka wajib kita menetapkan lafadnya dan meninggalkan usaha untuk mengetahui maknanya. Kita serahkan ilmu (tentang maknanya) kepada yang berfirman (Allah s.w.t.)…"

Kemudian, Imam Ibn Qudamah meriwayatkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal r.a. yang berkata: "Hadith-hadith ini (mutasyabihat) kita perlu beriman dengannya, dan membenarkannya, tanpa kaifiyat (yaitu: tanpa menetapkan keadaan bagiNya) dan tanpa makna…" (Lamma'ah Al-I'tiqod m/s: 3)

Nah, jelaslah bahawasannya para salafus-soleh tidak memahami makna nas mutasyabihat dengan makna dhahir.

Ini lagi kata salaf:-

Imam Ibn Qudamah berkata lagi dalam buku zamm At-Ta'wil: "Biarkan lafadnya (tetapkan lafad nas-nas mutasyabihat tersebut) dan serahkan maknanya kepada yang mengkhabarkannya (Allah s.w.t.)…"

Beliau juga meriwayatkan perkataan Imam As-Syafi'e r.a. yang berkata tentang pegangan salafus-soleh:

"Mereka mengetahui bahawasanya yang menyampaikan nas-nas tersebut (mutasyabihat) benar dan tidak diragukan kebenarannya (Nabi s.a.w.) lalu mempercayainya (membenarkan lafad-lafad mutasyabihat tersebut) tetapi mereka tidak mengetahui hakikat maknanya (tidak tahu makna sebenarnya dari lafad-lafad mutasyabihat tersebut). Oleh karena itu, mereka diam daripada membicarakannya…" (Zamm At-Ta'wil: m/s 30)

Imam As-Syafi’e jelas mengatakan para salafus-soleh tidak memahami “hakikat makna”  lafad-lafad mutasyabihat. Inilah manhaj tafwidh salaf. Semoga Allah s.w.t. membuka pintu hati kita untuk menerima kebenaran.

Berdasarkan ucapan-ucapan para salafus-soleh ini, kita dapat fahami bahawasanya, manhaj tafwidh mereka dirikan atas dasar "tidak mengetahui makna lafad mutasyabihat" tersebut. Mereka juga tidak memahaminya dengan makna dhahirnya karana itu mereka menyerahkan makna lafad mutasyabihat tersebut kepada Allah s.w.t. tanpa berusaha untuk memahaminya.

Sangat beda antara orang yang berkata: lafad mutasyabihat tiada makna" dengan perkataan: “lafad mutasyabihat memiliki makna tetapi Allah s.w.t. saja yang mengetahui maknanya. Ini berdasarkan ayat surah ali Imran: 7. Bacalah kalau faham, maka akan faham.

Perkataan anda:

Coba lihat apa terjemahan hanya sebatas begini:

مِنْ الرِّوَايَاتِ مِنْ الصِّفَاتِ وَنُزُولِ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا

“daripada riwayat-riwayat tentang al-Sifat dan (tentang) Nuzul Rabb (Allah) Tabaraka wa Ta’ala pada setiap malam ke langit dunia…”

وَأَمَّا إِذَا قَالَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ وَلا يَقُولُ كَيْفَ وَلا يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلا كَسَمْعٍ فَهَذَا لا يَكُونُ تَشْبِيهًا

“dan apabila seseorang berkata sebagaimana firman Allah Ta’ala di dalam kitab-Nya (al-Qur’an): Yadd dan Sama’ dan Basar tanpa dipersoalkan bagaimana dan tidak dikatakan seumpama ’ (makhluk) dan tidak juga dikatakan seperti Basar (makhluk) maka ini tidak dianggap sebagai penyerupaan…”

Perhatikan dengan teliti sekiranya Yadd, Sama’, Basar, dan Nuzul tidak mengandung arti yang bisa kita fahami, maka apa jadinya? Ayat al-Quran nanti hanya sebatas lafad-lafazd yang tidak mengandungi arti sebagiannya sehingga tidak ada gunanya meriwayatkan hadis-hadis nabi tentang Yadd, Wajh, Nuzul, dan lain-lain begitu juga di dalam al-Quran yang hampir kebanyakan ayat-ayatnya menyebut lafad-lafad ini.

Jawaban :
Memang benar, ini sudah pegangan majoritas salafus-soleh bahawasanya, nas-nas mutasyabihat ini ada yang tidak diketahui maknanya kecuali Allah s.w.t..

Menurut salaf dan khalaf juga, dan ada sebagian berpendapat, nas-nas mutasyabihat itu difahami maknanya, tetapi bukan dengan makna dhahir sebagaimana yang difahami oleh mujassimah dan sebagainya. Mereka (salaf dan khalaf) ketika berinteraksi dengan nas-nas mutasyabihat akan menafikan kelaziman-kelaziman jisim seperti bertempat dan sebagainya. Inilah asas mereka dalam berinteraksi dengan nas-nas mutasyabihat, bukan seperti mujassimah yang sewenang-wenang, tanpa memahami kaedah bahasa Arab, lalu memaksa diri dan orang lain untuk memahami nas mutasyabihat dengan makna dhahir (makna dari sudut bahasa) sedangkan dalam bahasa Arab, ada konsep majazi.

Masalah ini perbedaan ahlus-sunnah dengan mujassimah dalam nas-nas mutasyabihat adalah,: ahlus-sunnah (salaf dan khalaf) tidak memahaminya dengan makna dari sudut bahasa. Oleh karena itu, apakah mereka menyerahkan maknanya kepada Allah s.w.t. seperti riwayat yg tlh sy nukilkan td atau memahami maknanya dengan bentuk kiasan,bukan dengan makna dhahir yg membawa kejisiman seperti yg difahami oleh mujassimah.

Adapun mujassimah, mrk memahami nas-nas mutasyabihat dgn makna dhahir, seolah-olah Al-Qur’an itu sebatas uslub itu saja bahasanya. Tiada seorang pun menyuruh mereka memahami nas-nas mutasyabihat dengan makna dhahir melainkan hanya karana kejahilan terhadap konsep bahasa Arab lalu menolak konsep ta’wil (makna lain) bagi nas-nas mutasyabihat.

Masalahnya bukan sahaja pada “diketahui maknanya” atau tidak diketahui maknanya, tetapi masalahnya pada memahami maknanya dengan makna dhahir yg membawa pada kejisiman yg mustahil bagi Allah s.w.t..

Nah, perkataan Imam Ibn Al-Jauzi dalam menolak pendustaan mujasssimah:

Imam Ibn Al-Jauzi berkata:
"Mereka (mujassimah yang berlindung dalam kelompok hanabilah) berkata: Kita berpegang dengan dhahirnya (makna dhahir nas mutasyabihat tersebut), sedangkan pada makna dhahirnya mengandungi ciri-ciri manusia (kejisiman dan sebagainya). Seolah-olah, sesuatu itu perlu ditetapkan dengan hakikatnya (makna dhahirnya) . Namun, dalam waktu yang sama, mereka menghindar daripada tasybih, dan mengklaim sebagai ahlus-sunnah, padahal  pada hakikatnya yang mereka lakukan adalah tasybih . Bahkan, faham mereka turut dianuti oleh sebahagian orang awam." (Daf' Syubah At-Tasybih: 3).

Perkataan anda lagi:
Sedangkan Al-Quran diturunkan dalam bahasa arab yang dapat difahami maknanya agar dapat diambil iktibar serta mentadabburinya.

Perhatikan Maksud Firman Allah berikut:

“Dan sesungguhnya! Kami telah mudahkan Al-Quran untuk menjadi peringatan dan pengajaran, maka Adakah siapa yang mau mengambil peringatan dan pelajaran (daripadanya)?” (Al-Qamar: 17) “Sesungguhnya Kami jadikan Kitab itu sebagai Quran Yang diturunkan Dengan bahasa Arab, supaya kamu (menggunakan akal) memahaminya.” (Az-Zukhruf: 3) “Dan Sesungguhnya Al-Quran diturunkan oleh Allah Tuhan sekalian alam. Ia dibawa turun oleh malaikat Jibril yang amanah ke dalam hatimu, supaya engkau (Wahai Muhammad) menjadi seorang dari pemberi-pemberi ajaran dan perintah (kepada umat manusia). (ia diturunkan) dengan bahasa Arab yang fasih serta terang nyata.” (Asy-Syu’ara’: 192-195) “Allah menghendaki (dengan apa yang telah diharamkan dan dihalalkan dari kaum perempuan itu) ialah untuk menerangkan (SyariatNya) dan untuk menunjukkan kepada kamu jalan-jalan aturan orang-orang yang dahulu daripada kamu (Nabi-nabi dan orang-orang yang soleh, supaya kamu mengikutinya), dan juga untuk menerima taubat kamu. dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa’: 26) 

Masih banyak lagi dalil-dalil tentang kejelasan ayat al-Quran yang mana ia dapat difahami dengan bahasa arab yang tulen agar kita mentadabburnya.

Jawaban :

Masalah atau puncak perselisihn faham anda adalah, anda tidak memahami perbedaan nas-nas muhkamat dengan nas-nas mutasyabihat. Memang benar, kita perlu bertadabbur dengan Al-Qur’an, tetapi bukan dengan kejumudan akal.  anda sendiri menukilkan ayat yg menyuruh kita menggunakan akal dalam memahami Al-Qur’an.

Kalau anda menggunakan akal dalam mentadabbur Al-Qur’an, maka mujassimah tidak akan memahami nas-nas mutasyabihat dengan makna dhahir krn makna dhahirnya secara akal dan secara sudut bahasanya tidak layak bagi Allah s.w.t.. Oleh karena itu, para ulama’ salaf banyak yg tidak mentafsirkan nas-nas mutasyabihat dengan tafsiran apapun, karana meraka tidak memahaminya dengan makna dhahir.

Nah, ini perkataan salaf lagi, agar anda tahu bagaimana salaf. Jangan terlena dengan cuma merujuk Ibn Taimiyyah dan pengikut2nya saja, sedangkan banyak juga ulama’ lain yang bisa   menjadi rujukan utk memahami salaf.

Imam Al-Lalka'ie meriwayatkan dari Imam Muhammad bin Al-Hasan, murid Imam Abu Hanifah r.a. bahwa beliau (Imam Muhammad) berkata:

"Ulama' dari belahan Timur dan Barat telah bersepakat atas kewajiban beriman dengan Al-Qur'an dan hadith-hadith yang diriwayatkan oleh orang-orang thiqah (dipercaya) dari Rasulullah s.a.w. yang membicarakan tentang sifat-sifat Tuhan, tanpa tafsiran, tanpa menyifatkannya (tidak menetapkan makna dhahirnya) dan tanpa tasybih (menyerupakan Allah s.w.t. dengan makhlukNya)…" (risalah At-Tanzih oleh Imam Ibn Qudamah, m/s: 18, Mukhtasor Al-Ulwi oleh Imam Az-Zahabi, m/s 159, majmu' Al-Fatawa oleh Ibn Taimiyyah 4/4-5.)

Abu 'Ubaid r.a. juga berkata:

"Kami tidak mendapatkan satu pun daripada mereka (salafus-soleh) yang mentafsirkannya..." (Al-Asma' wa As-Sifat m/s 491, Mauqif As-Salaf m/s 20, dinukilkan dari Ibn Taimiyyah sendiri).

Imam At-Tirmizi berkata:

"…Inilah pendapat yang dipilih oleh Ahli Hadith, yaitu mereka meriwayatkan hadith-hadith tersebut (mutasyabihat) seperti  yang diriwayatkan kepada mereka (dengan lafad-lafazd tersebut) dan mereka beriman dengannya tanpa mentafsirkannya dan tanpa mengkhayalkannya…" (Sunan At-Tirmizi 4/692)

Mengapa para salaf (sebagiannya) tidak mentafsirkannya,jikalau memang mereka memahaminya? Ini karana, mereka tahu, dengan akal mereka dan ilmu mereka terhadap bahasa Arab, makna dhahir bagi nas-nas mutasyabihat tidak layak bagi Allah s.w.t..

Nah, ini hadith riwayat Al-Bukhari: Allah berfirman (hadith qudsi):

“Jika Aku cinta seseorang , Aku jadi pendengaran yg dia mendengar dengannya, dan penglihatan yang dia melihat dengannya…” (hadith sahih)

Nah, ini kalau difahami secara mujassimah (dengan makna dhahir), maka ia akkan membawa kepada faham hulul dan ittihad. Oleh sebab itu ulama’ ahlus-sunnah menta’wilkannya atau menyerahkan maknanya kepada Allah s.w.t..

Begitu juga dengan ayat “ma’iyyah” (Allah bersama makhluk di mana pun mahluk berada). Itu tidak difahami dengan makna dhahir, tetapi majoritas ulama’ sunnah menta’wil  kebersamaan tersebut dengan kebersamaan ilmu Allah kerana dhahir ayat itu membawa kepada tajsim dan menetapkan makna yang tidak layak bagi Allah s.w.t..

Kalau mujassimah, ayat ma’iyyah itu pun difahami secara ta’wil (walaupun tidak mengaku ta’wil) agar tidak bertentangan dgn  faham  mrk terhadap ayat-ayat yg mrk fahami Tuhan bertempat di langit, padahal kedua-duanya (ayat ma’iyyah dan istiwa’) tidak difahami oleh ahli kebenaran (salaf dan khalaf) secara makna dhahir karena kedua-duanya tidak layak bagi Allah s.w.t..

Contoh-contoh yg anda berikan berserta ungkapan2 ulama’ itu akan jauh lebih menyesatkan daripada apa anda jadikan bukti, apakah lagi dengan menggunakan perkataan para imam yang secara aqidah mereka adalah al-asya’irah dan tidak setuju dengan makna tajsim (Allah bertempat, ada anggota dll).

Mari kita analisa perkataan anda…

Perkataan  anda:
Saya beri contoh yang mudah, yang menjadi perdebatan sekarang berkenaan Istiwa’nya Allah di atas ‘Arasy:

Firman Allah:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Maksudnya: "Yang Maha Pemurah beristiwa' di atas 'Arasy" (Taha: 5)

Imam At-Tabari r.h. berkata:

وأما قوله:ثم استوى على العرش فإنه يعني: علا عليه .

Maksudnya: "Dan adapun firmanNya (Kemudian Dia beristiwa di atas 'Arasy) Maka sesungguhnya maknanya: Meninggi di atasnya." (Jami'ul Bayan, Imam At-Tabari, juz 16, ms. 325

Jawaban :-

Adakah ‘ala di sini adalah ‘ala makan (posisi atau tempat) atau ‘ala al-makanah (ketinggian sifat dan keagungan/statusNya)? Kita faham dulu deh, apa aqidahnya Imam At-Tabari, sebelum anda salah faham perkataan beliau lagi…

Makna istiwa’ ‘ala dari sudut bahasa adalah menetap. Ini memiliki makna tempat.
Adakah ayat ini difahami dengan makna dhahir menurut Imam At-Tabari. Beliau tidak berkata: Allah menetap di atas Arasy. Maka, jelas beliau tidak memahami ayat ini dengan makna  dhahir atau dengan maknanya dari sudut bahasa.

Beliau berkata: ‘ala ‘alaihi (tinggi di atasnya).

Ketinggian ada dua jenis. Ketinggian hissi dan maknawi.

Ketinggian hissi membawa kepada makna bertempat dan sebagainya. Ketinggian maknawi membawa arti tinggi kedudukan atau status seseorang dan tidak membawa makna kejisiman dan tempat.

Contoh ketinggian hissi:
Ahmad di atas kuda...

Contoh ketinggian maknawi:
Sultan di atas ('ala) menteri...

Dua jenis ketinggian dalam dua contoh tersebut di mana contoh kedua tidak membawa makna bertempat sama sekali .

Nah, Imam At-Tabari menjelaskan pada awal pembahasannya (surah Al-Baqarah: 29)

فقل: علا علـيها علوّ ملك وسلطان لا علوّ انتقال وزوال

Maksudnya: “Katakanlah ketinggian Allah di atas makhluk (Arasy dan langit ) adalah ketinggian dari sudut pemilikan dan kerajaan, bukan ketinggian dari sudut berpindah-pindah dan hilang.

Imam At-Tabari memahami ketinggian dengan makna “pemilikan dan kerajaan” , ketinggian yang beliau fahami adalah ketinggian maknawi, bukan hissi sebagaimana yg difahami oleh mujassimah lalu menyangka bahawa Tuhan berada (bertempat) di atas langit. Syattan baina aqidah At-Tabari wa bain aqidah mujassimah, fafham..

Perkataan anda lagi:-


عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ, فِي قَوْلِهِ:” ” ثُمَّ اسْتَوَى ” , يَقُولُ: ارْتَفَعَ”، وَرُوِِىِ عَنِ الْحَسَنِ وَالرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ مِثْلُ قَوْلِ أَبِي الْعَالِيَةِ

Maksudnya: “Daripada Abu al-Aliyah rahimahullah dalam mentafsirkan firman Allah (maksudnya): “Kemudian dia beristiwa..” kata Abul Aliyah: “Di atas”. Dan diriwayatkan juga daripada al-Hasan, al-Rabi’ bin Anas seperti perkataan Abul Aliyah”. [Tafsir Ibn Abi Hatim, juz 10, ms. 338].

Maka dari penafsiran ulama maksud Istawa di sini di dalam bahasa arab maksudnya adalah  Tinggi. Ini membuktikan perkataan tersebut difahami bukanlah hanya sebatas lafad yang diimani tanpa ada maksud apa-apa.

Jawaban :
Benar, tinggi di sini bukan tinggi “tempat” dan kejisiman yang difahami oleh mujassimah. Tinggi ini adalah tinggi kedudukan (status) sebagaimana yang difahami oleh Imam At-Tabari. Fahamilah wahai tuan. Kalau anda faham dgn cara ahlus-sunnah (tanpa bertempat dan tanpa bentuk bagi zat Allah), apakah tafwidh (menyerahkan makna sebenarnya kepada Allah sebagaimana majoritas salaf) atau ta’wil qarib (memahaminya dengan bukan makna dhahir tetapt dengan yang sesuai dengan kaedah bahasa Arab/kiasan), maka itu memang aqidah ahlus-sunnah (salaf dan khalaf). Kedua-duanya sudah saya nukilkan perkataan2 mrk yg justeru lbh banyk dari nukilan anda, walhamdulillah.

Sudah sy jelaskan sebelum ini. Kesesatan mujassimah adalah memahami makna bagi nas-nas mutasyabihat dari sudut dhahir atau dari sudut bahasa. Ini adalah bid’ah yang tidak ada petunjuknya.

Perkataan anda lagi:
Bahkan Ibn Mubarak pernah ditanya oleh guru Imam Bukhari: bagaimana bisa mengenal Allah, beliau menjawab di atas langit yang ketujuh di atas 'Arasy.

عن علي بن الحسن بن شقيق، شيخ البخاري، قال: قلت لعبد الله ابن المبارك كيف نعرف ربنا؟ قال: "في السماء السابعة على عرشه". وفي لفظ "على السماء السابعة على عرشه، ولا نقول كما تقول الجهمية إنه هاهنا في الأرض". وقال أيضاً: سألت ابن المبارك: كيف ينبغي لنا أن نعرف ربنا؟. قال: "على السماء السابعة، على عرشه، ولا نقول كما تقول الجهمية إنه هاهنا في الأرض"

Dari Ali Ibn Al-Hasan bin Syaqiq, guru Imam Bukhari berkata: “Saya pernah bertanya kepada Abdullah bin Mubarak bagaimana kita mengetahui Tuhan kita?” Katanya: “Di langit ketujuh di atas 'ArasyNya” Dalam lafaz lain: “Di atas langit ke tujuh di atas ‘ArasyNya dan kita tidak mengatakan sebagaimana yang dikatakan Jahmiyyah bahawasanya Allah di sini, di bumi.”

Memang terdapat banyak pendapat makna Istawa' ini, namun yang sahihnya adalah sebagaimana yang dipegang oleh para salafus soleh bahawa Allah itu Tinggi Dia di atas 'Arasy.
dan sebagainya... nukilan  anda...

Memang terdapat banyak pendapat makna Istawa' ini, namun yang sahihnya adalah sebagaimana yang dipegang oleh para salafus soleh bahawa Allah itu Tinggi Dia di atas 'Arasy.

Jawaban saya:

Kalau tinggi kedudukan atau status, memang itu aqidah salaf. Kalau tinggi tempat atau maksudnya Allah bertempat atau berada di atas Arasy, maka itu tajsim yg konon  mnurut Ibn Taimiyyah dan rekan2nya sebagai salaf (yg palsu). Fahamilah .

kata anda lagi:-

Imam Al-Syaukani berkata:

قد اختلف العلماء في معنى هذا على أربعة عشر قولاً ، وأحقها وأولاها بالصواب مذهب السلف الصالح أنه : استوى سبحانه عليه بلا كيف ، بل على الوجه الذي يليق به مع تنزهه عما لا يجوز عليه ، والاستواء في لغة العرب هو العلوّ والاستقرار

Maksudnya: "Para ulama telah berselisih pada makna ayat ini (Istiwa') kepada 14 pendapat dan yang paling dan paling utamanya dengan kebenaran adalah mazhab mazhab As-Salafus Soleh bahawa Istiwa' Subhanahu di atasNya tanpa ditanya bagaimana, bahkan dengan cara yang layak denganNya serta kesucianNya dari apa yang tidak boleh padaNya, dan Istiwa di dalam bahasa arab ialah Tinggi dan Meninggi" (Fathul Qadir, Imam Syaukani, 3/44)

Jawaban saya :

Hatta dalam bahasa Arab, tinggi itu juga ada dua makna, bukan tinggi hissi saja, tetapi tinggi maknawi (tidak bertempat tetapi sekadar tinggi kedudukan dan keagungan). Memilih utk memahami tinggi dengan makna hissi itulah tabiat mujassimah.

Sebagaimana juga membesarkan dada (takabbur), bukan membesar secara hissi saja dalam bahasa Arab, tetapi juga difahami dengan makna membesar maknawi (rasa lebih dari orang lain dsb nya). begItu juga bahasa Arab. Jd, dalil2 atau nukilan tuan, kalau maksudnya ketinggian maknawi, mka tidak ada yang mengingkari.

Masalahnya, mujassimah memahami tinggi itu dengan makna hissi yaitu bertempat di atas. Ini hanya karena kejahilan mrk dalam memahami bahasa Al-Qur’an karana tidak faham bahasa Arab dengan  luas. Para salafus-soleh tidak pernah berkata: “tinggi zatNya” sama sekali. Jadi, ini menolak femahaman mujassimah yg mengatakan zat tuhan di atas langit sebagaimana aqidah2 orang musyrikin dan ahlul-kitab.

Ini kembali kepada femahaman  anda… dan semoga bukan tajsim… amiin..

Imam Al-Mulla 'Ali Al-Qari berkata:

وكذا من قال: بأنه سبحانه جسم وله مكان ويمرّ عليه زمان ونحو ذلك كافر، حيث لم تثبت له حقيقة الإيمان...

Begitu juga dengan orang yang berkata bahawasanya Allah s.w.t. itu berjisim, Allah s.w.t. itu mempunyai tempat (bertempat), Allah s.w.t. diliputi oleh peredaran zaman dan sebagainya, maka dialah kafir karena tidak tetap baginya hakikat keimanan… (syarh fiqh Al-Akbar 271)

Imam Ibn Hajar Al-Haithami juga berkata:

واعلم أن القَرَافي وغيره حكوا عن الشافعي ومالك وأحمد وأبي حنيفة رضي الله عنهم القول بكفر القائلين بالجهة والتجسيم، وهم حقيقون بذلك


Ketahuilah bahawasanya Imam Al-Qarafi dan yang lainya meriwayatkan daripada Imam As-Syafi'e, Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah r.a. bahawasanya mereka berpegang dengan pendapat tentang mengkafirkan orang-orang yang menetapkan tempat dan kejisiman bagi Allah s.w.t.. Mereka benar dalam pegangan tersebut. (Al-Minhaj Al-Qowim m/s: 224)

Perkataan anda lagi:
 Bahkan Imam Ibn Hajar Al-‘Asqalani pernah membawakan riwayat yang benar tentang Istiwa ini di dalam kitabnya Fathul Baari.

Ibn Hajar Al-'Asqalani rahimahullah berkata:

قَالَ اِبْنِ بَطَّال اِخْتَلَفَ النَّاس فِي الاسْتِوَاء الْمَذْكُور هُنَا فَقَالَتْ الْمُعْتَزِلَة مَعْنَاهُ الاسْتِيلاء بِالْقَهْرِ وَالْغَلَبَة وَاحْتَجُّوا بِقَوْلِ الشَّاعِر : قَدْ اِسْتَوَى بِشْر عَلَى الْعِرَاق مِنْ غَيْر سَيْف وَلا دَم مِهْرَاق. وَقَالَتْ الْجِسْمِيَّة مَعْنَاهُ الاسْتِقْرَار ، وَقَالَ بَعْض أَهْل السُّنَّة مَعْنَاهُ اِرْتَفَعَ ، وَبَعْضهمْ مَعْنَاهُ عَلا ، وَبَعْضهمْ مَعْنَاهُ الْمُلْك وَالْقُدْرَة وَمِنْهُ اِسْتَوَتْ لَهُ الْمَمَالِك

Berkata Ibn Batthol: "Manusia berbeda pendapat pada menafsirkan Istawa' yang  telah disebutkan, maka berkata Al-Mu'tazilah maknanya (istawa') ialah Istila' yaitu menguasai dan mengalahkan dengan hujah kata-kata syair:

ٍSeorang lelaki telah menguasai Iraq tanpa menggunakan pedang dan tanpa pertumpahan darah


dan berkata sebagian Ahli Sunnah maknanya meninggi, dan sebagian mereka memaknai dengan ketinggian, dan sebagian mereka pula memaknai dengan kerajaan dan kekuasaan dan itu ada pada contoh perkataan Arab dia menguasai kerajaan. (Rujuk: Fathul Bari, jilid 20, ms. 494)

Ibn Hajar Al-'Asqalani rahimahullah berkata:

ثُمَّ قَالَ اِبْن بَطَّال : فَأَمَّا قَوْل الْمُعْتَزِلَة فَإِنَّهُ فَاسِد ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَزَلْ قَاهِرًا غَالِبًا مُسْتَوْلِيًا ، وَقَوْله " ثُمَّ اِسْتَوَى " يَقْتَضِي اِفْتِتَاح هَذَا الْوَصْف بَعْد أَنْ لَمْ يَكُنْ ، وَلَازِمُ تَأْوِيلهمْ أَنَّهُ كَانَ مُغَالَبًا فِيهِ فَاسْتَوْلَى عَلَيْهِ بِقَهْرِ مَنْ غَالَبَهُ ، وَهَذَا مُنْتَفٍ عَنْ اللَّه سُبْحَانه ، وَأَمَّا قَوْل الْمُجَسِّمَة فَفَاسِدٌ أَيْضًا ؛ لأَنَّ الِاسْتِقْرَار مِنْ صِفَات الأَجْسَام وَيَلْزَم مِنْهُ الْحُلُول وَالتَّنَاهِي ، وَهُوَ مُحَال فِي حَقِّ اللَّه تَعَالَى ، وَلائِق بِالْمَخْلُوقَاتِ

Kemudian berkata Ibn Batthol: Adapun perkataan Muktazilah maka itu fasid karana Allah itu senantiasa menguasai dan firman-Nya: "Kemudian Dia bersemayam"  pemahaman Dia bersemayam dari tidak bersemayam maka lazim daripada takwil mereka (istaula) bahwa Dia menguasai Arasy dengan merampasnya daripada orang lain dan ini mustahil pada Allah S.W.T. Adapun pendapat Mujassimah juga fasid kerana menetap itu dengan sifat jisim (makhluk) dan lazim padanya hulul dan berujung dan itu mustahil pada Allah, dan layak pada makhluk. (Fathul Bari, jilid 20, ms. 494)
Wah, cukup banyak sekali ya nukilan anda tntang prkataan Imam Ibn Hajar Al-Asqollani r.a.. Tunggu dulu tuan.  banyak org memang pandai menukilkan perkataan perkataan  ulama’ tetapi tidak banyak dari mereka yg memahami maksud dan makna sebenarnya perkataan itu .

Memang, bukan Imam Ibn Hajar r.a. saja yg menukilkan riwayat-riwayat tentang istiwa’, tetapi bagaimana femahaman beliau tentangnya? Asasnya apa ya? apa Betul Imam Ibn Hajar Al-Asoqollani memahami istiwa dengan makna “tinggi hissi” sebagaimana femahaman mujassimah yaitu tuhan berada atau bertempat di atas langit, atau sekadar maknawi (status dan kedudukan Tuhan itu tinggi)?

Nah, baca dulu sih, aqidahnya Imam kami (yg dari kalangan Al-Asya’irah, bukan dari kalangan At-Taimiyyah/ pengikut Ibn Taimiyyah).

Apa kata Imam Ibn Hajar?

Beliau berkata dalam fatwanya (m/s 20) pada syarahnya terhadap sepotong hadith:-

والله سبحانه وتعالى منـزه عن الحلول في الأماكن، فإنه سبحانه وتعالى كان قبل أن يحدث الأماكن). اهـ. ونقله عنه تلميذه الحافظ السخاوي في كتابه المقاصد الحسنة وأقره عليه (ص/345). وذكره أيضا الحافظ المؤرخ ابن طولون الحنفي في كتاب الشذرة في الأحاديث المشتهرة (2/72) وأقره عليه.

Maksudnya: “sedangkan Allah itu Maha Suci daripada bertempat pada tempat mana pun (tidak di atas Arasy, tidak bertempat sama sekali wahai mereka yg mengerti…). Allah s.w.t. itu wujud sebelum tempat diadakan…

Imam Al-Hafiz As-Sakhowi meriwayatkan perkataan ini dalam Al-Maqasid Al-Hasnah 345 lalu mengakuinya. Imam Ibn Thulun juga meriwayatkannya dalam As-Syazrah di Al-Ahadith Al-Musytahirah (2/72)

Nah… ini dong aqidahnya Imamuna Ibn Hajar Al-Asqollani. Beliau tidak memahami istiwa dgn makna tuhan itu berada di atas langit atau atas Arasy semacam yg difahami oleh mujassimah. Na’uzubillah…

Ini juga aqidah Imam kami (As-Syafi’e) yang menolak tajsim yg memahami tuhan di atas langit…

Imam As-Syafi’e r.a. (204 H) berkata:

إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لا يجوز عليه التغيير في ذاته ولا التبديل في صفاته

“Allah s.w.t. wujud tidak bertempat. Dia menciptakan tempat, sedangkan Dia tetap dengan sifat-sifat keabadianNya, seperti sebelum Dia menciptakan makhluk. Tidak layak Allah s.w.t. berubah sifatNya atau zatNya.” (ittihaf saadah Al-Muttaqin: 2/24).

Ini aqidahnya Imam At-Tabari yg tuan nukilkan tafsirnya yg kononnya memahami istiwa itu berada di atas Arasy. Perhatikan aqidahnya:

Imam At-Tabari r.a. berkata:

فتبين إذا أن القديم بارىء الأشياء وصانعها هو الواحد الذي كان قبل كل شىء ، وهو الكائن بعد كل شىء ، والأول قبل كل شىء ، والآخر بعد كل شىء، وأنه كان ولا وقت ولا زمان ولا ليل ولا نهار، ولا ظلمة ولا نور ولا سماء ولا أرض ولا شمس ولا قمر ولا نجوم ، وأن كل شىء سواه محدث مدبرمصنوع...

Maksudnya: "Jelaslah bahwa Allah s.w.t. qadim, Tuhan seluruh makhluk dan Penciptanya. Dialah yang Maha Esa yang wujud sebelum sesuatu wujud. Dia juga kekal setelah wujudnya makhluk. Dialah yang Maha Awal sebelum segala sesuatu dan Maha Akhir setelah segala sesuatu. Allah s.w.t. itu wujud tanpa masa, zaman, siang, malam, tanpa kegelapan dan tanpa cahaya, tanpa langit, tanpa bumi, tanpa matahari, tanpa bulan dan tanpa bintang. Semua selainNya adalah baharu yang ditadbir dan diciptakan (olehNya)." (Tarikh At-Tabari : 1/26)

Jelas beliau menafikan tempat bagi Allah s.w.t.. Fahamilah aqidah seseorang sebelum menukilkan perkataan2 mrk. Insya Allah lebih mudah faham.

INi lagi aqidah Imam Ibn Hajar r.a. kalau memang mau tahu… Silakan…

Imam Al-Hafiz Ibn Hajar Al-Asqollani (852 H) berkata:

استدل به من أثبت الجهة وقال هي جهة العلو ، وأنكر ذلك الجمهور لأن القول بذلك يفضي إلى التحيز ، تعالى الله عن ذلك

Maksudnya: Golongan yangmenetapkan tempat bagi Allah menggunakan hadith ini (hadith nuzul) sebagai hujah bahwa Allah bertempat di atas, sedangkan jumhur ulama' (iaitulah ahlus-sunnah kesemuanya) mengingkarinya karena perkataan tersebut (Allah bertempat di atas) membawa pada Allah itu mengambil ruang (bertempat) sedangkan Maha Suci Allah daripada tempat…" (Fath Al-Bari 3/30)

Imam Ibn Hajar r.a. berkata lagi:

فمعتمد سلف الأئمة وعلماء السنة من الخلف أن الله منزه عن الحركة والتحول والحلول، ليس كمثله شىء

Maksudnya: "Muktamad sebagai pegangan salaf dari kalangan ahlus-sunnah dan juga khalaf bahawasanya Allah s.w.t. tidak bergerak-gerak, tidak berubah-ubah dan tidak bertempat. Tiada yang menyerupaiNya. (Fath Al-Bari 7/124)

Tiada masalah kalau tau makna istiwa’ tp bukan dengan femahaman mujassimah, iaitu tuhan di atas langit, bertempat di atas Arasy dll. Sebab itulah Al-Qur’an menyuruh tadabbur dengan pakai akal. Kalau org2 sesat menggunakan ayat kebersamaan Allah s.w.t. dengan makna, tuhan bertempat dalam dirinya, maka dia tetap sesat, bukan kerana tidak ada dalil Al-Qur’an, tetapi salah faham dalil Al-Qur’an.

Begitu juga kesesatan mujasssimah yg guna ayat istiwa’ dll dengan makna tuhan bertempat di atas Arasy, maka mrk tetap sesat bukan kerana tiada dalil Al-Qur’an, tetapi salah fahami Al-Qur’an…

yang penting adalah hidayah Allah s.w.t.. Memang susah utk mengaku salah (saya khususnya) kalau memangnya sudah salah. Mudah2n Allah s.w.t. membantu mrk yg salah (termasuklah sy jika salah) utk kembali kepada kebenaran. Amiin… 

DiNuqilkan Oleh : Bagus Rangin ~ Kertajati-Majalengka

pucukpucuk Agan sedang membaca artikel tentang: Diskusi sersan [serius tapi santai] Tentang ungkapan tangan tidak seperti tangan mahluk [1]. Silakan agan copy dan paste atau sebarluaskan artikel ini jika dinilai bermanfaat,Ane juga menyediakan buku terjemahan kitab yang membantah wahabi: 1. buku "bid'ah mahmudah dan bid'ah idhafiyah antara pendapat yang membolehkan dan yang melarang" terjemah dari kitab: albid'atul mahmudah wal bid'atul idhafiyah bainal mujiziina wal maniin" karya Syaikh abdul fattah Qudais Al Yafi"i, 2.Terjemah kitab ‘At Tabaruk Bi As Sholihin Baina Al Muzijiin wa Al Maani’in: Mencari Keberkahan Kaum Sholihin Antara Pendapat yang Membolehkan dan yang Melarang, hub admin: hp/WA 0857-5966-1085.syukron :

*** Dapatkan buku terjemah disini ***

Share this article :

+ komentar + 4 komentar

Anonim
3 Mei 2012 pukul 13.35

Mantabs Ijin Copas Ya'i

6 Mei 2012 pukul 19.25

ijin copas kang buat group ini http://www.facebook.com/groups/zelmadury/permalink/325319904205822/

syukron

6 Mei 2012 pukul 21.32

silahkan kmas dengan senang hati.............

29 September 2012 pukul 10.18

iji save juga ya..

Posting Komentar

Jangan lupa Tulis Saran atau Komentar Anda

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger