Fasal Kedua: Selayang Pandang Terhadap Hadith Al-Jariyyah Riwayat Imam Muslim
Suatu hal yang perlu kita sadari bahwasanya, hadith Al-Jariyyah riwayat Imam Muslim dengan lafaz aina Allah ini setelah kita selidiki, lita dapati bahwasanya hadis itu tidak bisa dijadikan sandaran dalam masalah aqidah karena faktor-faktor yang telah diperbincangkan pada fasal yang pertama sebelumnya.
Selain dari syaznya hadis riwayat ini (terasing dengan menyalahi yang lebih banyak) dan mudthorib (marjuh atau lemah di banding yang lebih kuat) dari sudut matannya, dan juga merupakan hadith yang banyak perbedaan lafaz sehingga tidak lagi bisa dijadikan dalil yang qat'ie yang membawa kepada ilmu atau keyakinan.
Karena pembahasan hadith Al-Jariyyah tersebut jika dinilai daripada segenap sudut, apakah dari sudut perbandingan riwayat, dari sudut perbandingannya dengan usul Islam, perbandingan sanad dan matan dan sebagainya akan membawa kepada keputusan demikian (yaitu hadith Al-Jariyyah versi Imam Muslim adalah mudthorib dan sebagainya).
Adapun jika kita menilai hadith Al-Jariyyah versi riwayat Imam Muslim ini secara zatnya, berteraskan aqidah yang sejahtera, tanpa membuat perbandingan riwayat dan sebagainya (walaupun pada hakikatnya, pembuktian ilmiah perlu melalui proses perbandingan riwayat ini), kita akan dapati, lafaz aina Allah (di mana Allah) dan lafaz fi As-Sama' (Allah di langit) itu sendiri merupakan di antara nas-nas mutasyabihat,yang dimaksudkan bukanlah dengan makna dhahir dari nas-nas tersebut.
Ia kembali kepada dua pendirian utama ahlus-sunnah wal jamaah yaitu antara tafwidh, menyerahkan makna kepada Allah tanpa mentapkan makna dhahir atau ta'wil memberi makna lain berdasarkan kaedah bahasa Arab dan konsep murni aqidah Islam. Keduanya adalah manhaj salaf dan khalaf dalam berinteraksi dengan nas-nas mutasyabihat ini.
Kedudukan Pertanyaan Aina Allah: Hakiki atau Kiasan?
Sebagian ulama' lain ketika berinteraksi dengan hadith Al-Jariyyah versi riwayat Imam Muslim mencouba mengambil langkah untuk mendekatkan makna aina dengan femahaman yang sahih, yaitu dengan femahaman yang tdak membawa kepada faham tajsim atau "Allah s.w.t. bertempat".
Di antara Mereka adalah seperti Imam Ibn Al-Jauzi, Imam An-Nawawi, Imam Al-Qurthubi, Imam Al-Baji dan sebagainya. Mereka dengan aqidah murni Islam, dengan menolak konsep dan femahaman "Allah bertempat di atas Arasy", lalu mensyarahkan hadith Al-Jariyyah versi Imam Muslim ini dengan syarahan yang sesyau dengan aqidah murni Islam.
Terlebih dahulu, perkara yang paling perlu difahami oleh mereka yang berinteraksi dengan nas-nas mutasyabihat adalah, sesuatu yang dhahir daripada mutasyabihat, dengan maknanya dari sudut bahasa, bukanlah yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t. dan Rasul-Nya s.a.w..
Ada makna lain yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t. dan Rasul-Nya s.a.w. jika dhahir sesuatu nas itu mengandung kesamaran dan membawa kepada tasybih. Maka, kedudukan nas-nas mutasyabihat ini dipalingkan daripada makna dhahirnya dengan dua cara iaitu:
Pertama: Tafwidh Ma'na: yaitu menyerahkan makna sebenarnya dari nas mutasyabihat tersebut kepada Allah s.w.t. tanpa mendalaminya.
Kedua: Ta'wil Qarib: yaitu memberi makna sebenarnya (makna lain) kepada nas mutasyabihat tersebut berdasarkan konsep majazi dalam bahasa Arab esuai dengan aqidah Islam yang murni.
Dalam berinteraksi dengan nas aina Allah dalam hadith Al-Jariyyah ini juga, para ulama' ahlus-sunnah wal jamaah, baik salaf mahupun khalaf, menggunakan salah satu daripada dua manhaj tersebut yang mana keduanya sebenarnya adalah ta'wil (memalingkan) daripada makna dhahir atau daripada maknanya dari sudut bahasa.
Perbahasan mengenai mutasyabihat ini telah banyak alfaqir perbincangkan dalam beberapa risalah sebelum ini, maka diharapkan pembaca dapat kembali merujuk kepada artikel sebelumnya.
Perkataan Ulama' Muhaddith Muktabar dalam Menafikan Tempat dan Jisim bagi Allah s.w.t. (Suatu Pentunjuk untuk Memahami Aqidah Tanzih Mereka)
Imam Al-Hafiz Abu Bakr bin Al-Husein Al-Baihaqi As-Syafi'e (458 H) (yang sering menjadi rujukan termasuk bagi sebagian kelompok mujassimah dalam mencuba menisbahkan tempat bagi Allah) berkata:
وأنه الظاهر فيصح إدراكه بالأدلة، الباطن فلا يصح إدراكه بالكون في مكان. واستدل بعض أصحابنا في نفي المكان عنه بقول النبي (صلّى الله عليه و سلّم) "أنت الظاهر فليس فوقك شىء، وأنت الباطن فليس دونك شىء"، وإذا لم يكن فوقه شىء ولا دونه شىء لم يكن في مكان
: "Allah s.w.t. itu Maha dhahir karena (wujudannya) bisa didapati dengan bukti-bukti (daripada kekuasaanNya melalui alam ini) dan Maha Bathin karena tidak bisa didapati (wujudanNya) secara bertempat. Sebagian para ulama' kami (aliran ahlus-sunnah) menafikan tempat bagi Allah s.w.t. dengan berpandukan dalil sabda Rasulullah s.a.w. yang berbunyi: "Wahai Allah engkau Maha dhahir yang tidak ada di atas Mu sesuatu pun dan Maha Bathin yang tiada di sampingMu sesuatu pun". Jika tiada di atasNya sesuatu dan tiada di sampingNya sesuatu, jelaslah bahwasanya Allah s.w.t. wujud tanpa bertempat" (Al-Asma' wa As-Sifat: 400)
Imam Al-Muhaddith Umar bin Muhammad An-Nasafi (537 H) ada berkata"
والمُحدِثُ للعالَم هو الله تعالى ، لا يوصف بالماهيَّة ولا بالكيفية ولا يَتمكَّن في مكان
: "Adapun yang mewujudkan alam daripada tiada adalah Allah s.w.t.. Dia tidak disifati dengan apapun dari sifat mahiyyah, tidak disifati dengan tatacara apapun dan tidak bertempat pada tempat" (risalah Aqidah An-Nasafiyyah)
Imam Al-Hafiz Ibn 'Asakir Ad-Dimasyqi (571 H) juga ada berkata:
كان ولا مكان فخلق العرش والكرسي ولم يحتج إلى مكان ، وهو بعد خلق المكان كما كان قبل خلقه
: Allah s.w.t. wujud tanpa tempat. Maka Dia ciptakan Arasy dan Kursi tanpa berhajat kepada tempat. Dia wujud setelah menciptakan tempat sebagaimana Dia wujud sebelum menciptakan tempat (iaitu tidak bertempat). (Tabiyyin Kizb Al-Muftari: 150)
Al-Hafiz Imam Ibn Al-Jauzi (597 H) juga ada berkata:
الواجب علينا أن نعتقد أن ذات الله تعالى لا يحويه مكان ولا يوصف بالتغير والانتقال
: "Wajib bagi kita untuk meyakini bahwasanya zat Allah s.w.t. tidak diliputi oleh tempat dan tidak bersifat dengan perubahan dan perpindahan" (Shoid Al-Khatir: 47)
Bahkan, Imam Ibn Al-Jauzi mengarang satu risalah khusus dalam menolak golongan mujassimah yang berfaham tuhan berjisim dan bertempat ini dengan nama "Daf Syubah At-Tasybih".
Imam Ibn Athir (606 H) juga ada menyebutkan:
المراد بقرب العبد من الله تعالى القرب بالذكر والعمل الصالح ، لا قرب الذات والمكان لأن ذلك من صفات الأجسام ، والله يتعالى عن ذلك ويتقدس
: "Yang dimaksudkan dengan dekatnya hamba kepada Allah adalah kedekatan dengan zikir dan amal soleh, bukan dekat secara bertempat karena bertempat adalah ciri-ciri kejisiman sesuatu jisim sedangkan Maha Suci Allah daripada sifat kejisiman tersebut…" (An-Nihayah fi Gharib Al-Hadith 4/32)
Imam Al-Qurthubi (671 H) menyebutkan juga:
و "العليّ" يراد به علو القدر والمنزلة لا علو المكان ، لأن الله منزه عن التحيز
: "Adapun Allah "Maha Tinggi" itu maksudnya ketinggian keagungan dan kedudukanNya, bukan ketinggian tempat, karena Allah s.w.t. tidak bertempat". (Al-Jami'e li Ahkam Al-Qur'an pada Surah Al-Baqarah ayat 255 (3/278) )
Seorang ulama' hadith agung pada zamannya, yang menjadi rujukan utama dalam bidang hadith yaitu Imam Az-Zahabi yang sering diselewengkan maksud tulisan beliau oleh golongan mujassimah moden, juga berkata dalam menjelaskan pendirian dan aqidahnya yang berlepas tangan daripada faham "Tuhan bertempat":
وتعالى الله أن يحد أو يوصف إلا بما وصف به نفسه أو علمه رسله بالمعنى الذي أراد بلا مثل ولا كيف
: "Maha Suci Allah daripada dibatasi oleh batasan (tempat atau masa) atau Maha Suci Allah juga daripada sifat melainkan apa yang hanya disifatkan kepada diriNya atau apa yang diajarkan kepada para rasulNya dengan makna yang Dia sendiri kehendaki tanpa penyerupaan dengan makhluk dan tanpa tatacara…(Siyar A'lam An-Nubala' 16/97-98)
Seorang ulama' hadith agung yang turut menjadi rujukan dalam bidang hadith iaitu Al-Hafiz Imam An-Nawawi (676 H) juga berkata:
إن الله تعالى ليس كمثله شىء , منزه عن التجسيم والانتقال والتحيز في جهة وعن سائر صفات المخلوق
: "Sesungguhnya Allah s.w.t. tiada yang menyerupaiNya. Dia tidak berjisim, tidak berpindah-pindah, tidak diliputi oleh tempat dan tidak bersifat dengan sifat makhluk". (Syarah Sahih Muslim 3/19)
Imam Al-Hafiz Al-Karmani (786 H) menjelaskan tentang aqidah ini:
قوله ( في السماء ( ظاهره غير مراد ، إذ الله منزه عن الحلول في المكان ، لكن لما كانت جهة العلو أشرف من غيرها أضافها إليه إشارة إلى علو الذات والصفات
: "Perkataan Allah "fis sama'" maka makna dhahirnya bukanlh yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t. karena Allah s.w.t. tidak bertempat pada tempat, tetapi karena posisi di atas adalah posisi yang paling mulia di banding posisi lain, maka Allah s.w.t. menisbahkan posisi "atas" tersebut kepada diriNya sebagai petunjuk terhadap ketinggian derajat zat dan sifatNya." (fath Al-Bari: 13/412)
Imam Al-Muhaddith Al-Hafiz Ahmad Al-Iraqi (826 H) berkata:
...والله تعالى منزه عن الاستقرار والتحيز والجهة...
: "…sedangkan Allah s.w.t. tidak menetap di sesuatu, tidak mengambil ruang dan tidak bertempat…" (Torh At-Tathrib8/84)
Imam Al-Hafiz Ibn Hajar Al-Asqollani (852 H) berkata:
استدل به من أثبت الجهة وقال هي جهة العلو ، وأنكر ذلك الجمهور لأن القول بذلك يفضي إلى التحيز ، تعالى الله عن ذلك
: Golongan yang menetapkan tempat bagi Allah menggunakan hadith ini (hadith nuzul) sebagai hujah bahwa Allah bertempat di atas, sedangkan jumhur ulama' (yaitu ahlus-sunnah semuanya) mengingkarinya karena perkataan tersebut (Allah bertempat di atas) membawa maksud Allah itu mengambil ruang (bertempat) sedangkan Maha Suci Allah daripada tempat…" (Fath Al-Bari 3/30)
Imam Ibn Hajar r.a. berkata lagi:
فمعتمد سلف الأئمة وعلماء السنة من الخلف أن الله منزه عن الحركة والتحول والحلول، ليس كمثله شىء
: "Yang Muktamad sebagai pegangan salaf dari kalangan ahlus-sunnah dan juga khalaf bahwasanya Allah s.w.t. tidak bergerak-gerak, tidak berubah-ubah dan tidak bertempat. Tiada yang menyerupaiNya. (Fath Al-Bari 7/124)
Imam Al-Muhaddith Badruddin Mahmud bin Ahmad Al-'Aini Al-Hanafi (855 H) (salah seorang pensyarah hadith Sahih Al-Bukhari) menyebut:
تقرر أن الله ليس بجسم ، فلا يحتاج إلى مكان يستقر فيه، فقد كان ولا مكان
: Telah diketahui bahwasanya Allah s.w.t. tidak berjisim dan tidak memerlukan tempat untuk Dia menetap padanya.Dia wujud tanpa tempat ('Umdah Al-Qari 12/25/117)
Demikianlah sedikit daripada ungkapan sebagian para ulama' hadith yang jelas berlepas tangan daripada femahaman tuhan bertempat yang diketengahkan oleh golongan mujassimah hingga hari ini. Aqidah Islam yang sejahtera adalah aqidah tanzih yaitu menyucikan Allah s.w.t. daripada kekurangan termasuk menyucikan Allah s.w.t. daripada bertempat dan berjisim.
Hanya mereka yang terus ingin mengikut ta'asub diri mereka terhadap kejahilan dan kesesatan mujassimah saja yang terus keras kepala untuk terus mempercayai tuhan wujud secara bertempat. Mereka tidak lain hanyalah mengikut hawa nafsu mereka, mereka menyedarinya ataupun tidak.
Ulasan-ulasan Para Muhadithin Muhaqqiqin (yang teliti) Terhadap Hadith Al-Jariyyah
Hendaklah difahami bahwasanya, hadith-hadith itu bukanlah nas-nas yang semua orang bisa berinteraksi dengannya sesuka hatinya atau berdasarkan apa yang dikehendakinya. Para ahli ilmu khususnya ahli hadith mempunyai suatu manhaj ilmiah yang sangat luas lagi mendalam dalam menjadi panduan ketika berinteraksi dengan nas-nas Islami.
Kita akan kupaskan setelah ini, celaan bagi mereka yang tidak mempunyai latar belakang ilmu yang mendalam dalam bidang hadith, untuk menyelami perbahasan-perbahasan yang tinggi seperti membahas hadith ini dengan makna dhahir lalu menyalahi femahaman as-sawadh al-a'zhom dalam memahaminya.
Imam Abu Hanifah ketika ditanya:
أرأيت لو قيل أين الله تعالى ؟ فقال - أي أبو حنيفة : يقال له كان الله تعالى ولا مكان قبل أن يخلق الخلق ، وكان الله تعالى ولم يكن أين ولا خلق ولا شىء ، وهو خالق كل شىء
: "Apa pendapatmu kalau kamu ditanya tentang di mana Allah?" Lalu Imam Abu Hanifah menjawab: "Dikatakan kepadanya bahwasanya Allah s.w.t. wujud tanpa bertempat sebelum menciptakan tempat. Maka dia wujud sebelum wujudnya kata "di mana" itu sendiri malah sebelum wujud makhluk. Allah s.w.t. yang Maha Pencipta bagi segala sesuatu…" (Al-Fiqh Al-Absath, Himpunan risalah-risalah Imam Abi Hanifah yang ditahqiq oleh Imam Al-Kauthari 25)
Ini jelas menunjukkan bahawasanya aqidah salafus-soleh tidak memahami aina Allah tersebut dengan membawa femahaman Allah bertempat di atas langit. Mereka menafikan tempat bagi Allah s.w.t..
Al-Hafiz Imam An-Nawawi berkata dalam syarah beliau terhadap Sahih Muslim tentang hadith aina Allah tersebut:
قوله صلى الله عليه وسلم: أين الله ؟ قالـت في السماء ، قال: من أنا قالت: أنت رسول الله، قال: أعتقها فإنها مؤمنة هذا الحديث من أحاديث الصفاتوفيها مذهبان:ـ
أحدهما: الإيمان به من غير خوض في معناه مع اعتقاد أن الله تعالى ليس كمثله شئ وتنـزيهه عن سمات المخلوقات.
والثاني: تأويله بما يليق به، فمن قال بهذا قال: كان المراد امتحانها هل هي موحدة تـقر بأن الخالق المدبر الفعال هو الله وحده وهو الذي إذا دعاهالداعي استقبل السماء كما إذا صلى المصلي استقبل الكعبة، وليس ذلك لأنه منحصر في السماء كما أنه ليس منحصرا في جهة الكعبة بل ذلك لأنالسماء قبلة الداعين كما أن الكعبة قبلة المصلين.
: "Hadith ini adalah daripada hadith-hadith sifat (mutasyabihat) yang dalam memahaminya ada dua mazhab (metod).
"Pertama: ialah beriman dengannya (hadith tersebut) tanpa mendalami apa yang dimaksudkannya disertai dengan aqidah bahwasanya Allah s.w.t. tidak menyerupai sesuatu apa pun dan mensucikanNya daripada segala tanda-tanda atau sifat-sifat makhluk.
"Kedua: mentakwilkan hadith tersebut dengan apa yang layak bagi Allah. Maka siapa yang berpegang dengan jalan yang kedua ini, dia harus berpegang dengan yang dimaksudkan dengan hadith tersebut yaitu Junjungan Nabi s.a.w. menguji jariah tersebut untuk mengetahui apakah dia seorang ahli tauhid yang mengakui Maha Pencipta, Maha Pentadbir dan Maha Pembuat adalah Allah semata, yang mana Dialah Tuhan yang apabila seseorang memohon kepadaNya maka dia menghadap ke langit sebagaimana apabila seseorang sembahyang dia menghadap kaabah, dan tidaklah perlakuan demikian ini (iaitu menghadap ke langit ketika berdoa atau menghadap kaabah ketika solat) menunjukkan bahwasanya Allah terbatas di langit sebagaimana juga tidaklah Dia terbatas pada posisi kaabah (yakni Allah tidak dibatasi oleh sebarang tempat karana Dia Maha Suci daripada segala tempat dan arah, subhanAllah). Bahkan perbuatan menghadap ke langit itu adalah karena langit itu adalah kiblat orang yang berdoa sebagaimana kaabah itu kiblat bagi orang yang solat".
Kemudian, Imam An-Nawawi menukilkan seperti berikut:
"Imam Al-Qadhi 'Iyad berkata:
لا خلاف بين المسلمين قاطبة - محدثهم ومتكلمهم ومقلدهم ونظارهم - أن الظواهر الواردة بذكر الله في السماء كقوله: ((أأمنتم من في السماء)) أنها ليست على ظاهرها، وأنها متأولة عند جميعهم...
"Tidak ada khilaf di kalangan umat Islam secara ijma dari kalangan ahli-ahli fiqh, ahli-ahli hadith mereka, ahli-ahli kalam, para pemuka maupun pengikut mereka bahwasanya segala nas yang pada dhahirnya menyebut Allah di langit seperti firman Allah ta`ala: "Patutkah kamu merasa aman (tidak takut) kepada Tuhan (yang pusat pemerintahanNya) di langit itu, menunggang-balikkan bumi menimbus kamu…" dan sebagainya tidaklah dimaksudkan dengan makna dhahirnya. Bahkan,mesti ditakwilkan di sisi mereka semua (bukan difahami dengan makna dhahir."
Imam Al-Qurthubi pula ada menyebutkan dalam kitab Al-Mufhim yang mensyarahkan lafaz-lafaz hadith dalam Sahih Muslim pada hadith Al-Jariyyah ini:
وقوله صلى الله عليه وسلم للجارية أين الله هذا السؤال من النبي صلى الله عليه وسلم أراد أن يُظهر منها ما يدلُ على أنها ليست ممن يعبُدُ الأصنامولا الحجارة التي في الأرض، فأجابت بذلك وكأنها قالت إن الله ليس من جنس ما يكون في الأرض
وأين ظرف يسأل به عن المكان كما أن متى ظرف يُسأل به عن الزمان ...وهو لا يصحُّ إطلاقه على الله تعالى بالحقيقة إذ الله تعالى منـزه عنالمكان كما هو منـزه عن الزمان بل هو خالق الزمان والمكان ولم يـزل موجودا ولا زمان ولا مكان وهو الآن على ما عليه كان
: "Adapun sabda Nabi s.a.w. kepada Al-Jariyyah tersebut dengan perkataan "Aina Allah?" merupakan pertanyaan daripada Rasulullah s.a.w. yang mengkehendaki bukti daripada hamba perempuan tersebut apakah dia bukan penyembah berhala maupun penyembah batu yang di bumi. Maka hamba perempuan menjawab dengan jawapan tersebut seolah-olah mau menjelaskan bahwasanya Allah bukanlah daripada jenis-jenis tuhan di bumi (yang disembah oleh musyrikin).
"Aina adalah perkataan yang di gunakan untuk mengetahui sesuatu tempat sebagaimana juga kalimat mata adalah perkataan yang ditanyakan untuk mengetahui waktu… (Adapun pertanyaan dengan aina (di mana) tersebut) tidak bisa ditujukan kepada Allah secara hakikatnya karana Allah s.w.t. tidak bertempat sebagaimana Dia tidak diliputi oleh masa. Bahkan Dialah pencipta masa dan tempat sedangkan Dia wujud sejak azali tanpa bertempat dan tanpa diliputi oleh masa. Dia wujud kini sebagaimana Dia wujud sejak azali.
Imam Abu Al-'Abbas Ahmad Al-Qurtubi berkata lagi:
هو الله لا أيـن ولا كـيـف عنـده ولا حَدَّ يحويه ولا حصرَ ذي حَدِّ
: Dialah Allah, tanpa di mana dan tanpa tatacara bagiNya. Dia tidak dibatasi oleh batasan yang meliputi. (Tobaqot As-Syafi'iyyah: terjemah Abi Al-Hasan Al-Asy'ari 3/428)
Imam Husein bin Muhammad At-Tayyibi (743 H) ketika mengulas tentang hadith Al-Jariyyah ini berkata:
لم يُرِد - أي الرسول - السؤال عن مكانه - أي الله - فإنه منزه عنه
: "Tidak dikehendaki oleh Rasulullah s.a.w. ketika bertanya dengan pertanyaan tersebut untuk bertanya tentang tempat bagi Allah s.w.t. karena Maha Suci Allah s.w.t. daripada bertempat…" (syarh At-Tayyibi 'ala Misykat Al-Masobih 6/340)
Imam Jahbal (733 H) berkata pula:
ولا يقال له أين ولا حيث، يُرَى لا عن مقابلة ولا على مقابلة ، كان ولا مكان ، كوَّن المكان ، ودبَّرَ الزمان ، وهو الآن على ما عليه كان ، هذا مذهب أهل السنة ،
: "Tidak dikatakan bagi Allah, di mana dan bagaimana. Dia dilihat oleh orang-orang beriman di Akhirat tanpa berhadap hadapan dan tanpa berpalingan. Allah wujud tanpa bertempat lalu menciptakan tempat dan mentadbir masa. Dia wujud kini sebagaimana Dia wujud sejak azali (tanpa tempat). Inilah mazhab ahli sunnah. (tobaqot As-Syafi'iyyah Al-Kubra: 9/41)
Imam Fakhruddin Al-Razi menyebutkan berkenaan hadith Al-Jariyyah ini bahwaasnya, itu tidak membawa kepada Allah bertempat karana dalil daripada surah Al-An'aam ayat 12 dan 13 menunjukkan bahwasanya tempat dan masa serta apa yang wujud dalam keterbatasan pada keduanya adalah milik Allah s.w.t.. Oleh karena itu, Allah s.w.t. tidak bertempat dan tidak diliputi oleh masa sama sekali. (rujuk Asas At-Taqdis dalam syarah hadith tersebut)
Imam Ibn Al-Jauzi ketika mengulas tentang hadith Al-Jariyyah ini menyebutkan
قلت قد ثبت عند العلماء أن الله تعالى لا تحويه السماء والأرض و لا تضمه الأ قطار، وإنما عرف بإشاراتها تعظيم الخالق عندها
: Telah tetap bagi ulama' bahwasanya Allah s.w.t. tidak diliputi oleh langit maupun bumi dan tidak terangkum dalam tempat. Namun, Rasulullah s.a.w. mengetahui dengan isyarat hamba perempuan tersebut bahwa dia mengagungkan sang Maha Pencipta" (Daf' Syubah At-Tasybih 189)
Imam Abu Bakr Ibn Al-Arabi pula berkata dalam syarh Sunan At-Tirmizi tentang hadith tersebut:
والمراد بالسؤال بها عنه تعالى المكانة فإن المكان يستحيل
: "Yang dimaksudkan dengan pertanyaan "Aina Allah" adalah bertanyakan kepada hamba perempuan tersebut tentang kedudukan Allah s.w.t. bukan bertanya tentang tempat bagi Allah s.w.t. karana tempat bagi Allah s.w.t. adalah mustahil…" (Syarh Sunan At-Tirmizi 11/273)
Imam Muhammad bin Khalifah Al-Ubbi dalam syarah Muslim beliau (Al-Ikmal) mengulas hadith tersebut dengan berkata:
وقيل إنما سألها بأين عما تعتقده من عظمة الله تعالى، وإشارتها إلى السماء إخبار عن جلاله في نفسها
: "Dikatakan bahwasanya Rasulullah s.a.w. bertanya kepada hamba perempuan tersebut dengan soalan "aina" untuk bertanya tentang pegangan hamba tersebut tentang keagungan Allah s.w.t., lalu hamba perempuan tersebut menunjukkan ke langit dalam menjelaskan keagungan Allah dalam dirinya (bukan mengenai tempat Allah)" (Ikmal Al-Mu'allim pada syarah hadith tersebut)
Imam Muhammad As-Sanusi Al-Hasani dalam Mukammil Ikmal juga mensyarahkan hadith Al-Jariyyah tersebut dengan makna takwilan iaitu keagungan Allah s.w.t..
Imam Al-Baji ketika mensyarahkan hadith ini juga ada menyebut:
لعلها تريد وصفه بالعلو وبذلك يوصف كل من شأنه العلو فيقال فلان في السماء بمعنى علو حاله ورفعته وشرفه
: "boleh jadi yang dimaksudkan oleh hamba perempuan tersebut adalah menyifatkan Allah dengan ketinggian, iaitu ketinggian keagunganNya, karena dikatakan seseorang itu di langit dengan makna ketinggian keadaannya dan ketinggian derajat kemuliaannya". Rujuk kitab Al-Muntaqi.
Demikian sedikit sebanyak syarahan hadith Al-Jariyyah versi aina Allah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ini. Majoritas ulama' salaf dan khalaf iaitu ulama' ahlus-sunnah wal jamaah memalingkan aina Allah daripada makna dhahirnya yang membawa kepada kejisiman. Lebih jelas lagi, sebagian besar daripada mereka (ulama' muktabar) membuat ulasan yang menafikan "sekeras-kerasnya" femahaman tajsim dan femahaman tuhan bertempat daripada hadith Al-Jariyyah ini, dengan memberi makna keagungan, ketinggian kedudukan Allah dan sebagainya.
Mereka mensyarahkan hadith Al-Jariyyah dengan makna keagungan dan sebagainya tanpa menetapkan makna dhahir Allah di langit pada hadith Al-Jariyyah tersebut bukan berdasakan hawa nafsu mereka, sebagaimana dakwaan sebagian mujassimah yang jahil lagi menyesatkan, tetapi berteraskan manhaj ilmiah yang sahih lagi mendalam.
Para ulama' hadith seperti Imam Al-Baihaqi, Imam Ibn Al-Jauzi, Imam An-Nawawi, Imam Az-Zahabi, Imam Al-Qurtubi, Imam Ibn Hajar Al-Asqollani dan sebagainya yang terlibat dalam menafikan makna dhahir aina Allah daripada Allah s.w.t. merupakan di antara rujukan utama umat Islam dalam bidang hadith itu sendiri. Mereka tidak akan mengulas hadith Al-Jariyyah dengan hawa nafsu mereka, sebagaimana sangkaan golongan mujassimah sejak dahulu hingga hari ini.
Adapun mereka yang jahil dan terus ta'asub dengan kejahilan serta para pemimpin mereka, lalu terus menisbahkan tempat bagi Allah s.w.t. dengan nas-nas mutasyabihat terutama berkenaan hadith Al-Jariyyah versi Imam Muslim ini, maka merekalah sebenarnya yang jahil dengan kerangka dan manhaj ilmiah ulama' Islam, ataupun sengaja mengikut hawa nafsu mereka. memang mengakui kesalahann diri sendiri yang sudah bersarang dengan ujub di hati, adalah suatu yang amat berat. Ya Allah, sembuhkanlah penyakit ujub daripada hatiku ini dan hati umat Islam khususnya bagi mereka yang sudah terkeluar daripada landasan majoriti umat Islam ini. Amin…
BERSAMBUNG KE BAG 6
“Allah menganugrahkan al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al Qur`an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS Al Baqoroh: 269).
BalasHapus“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS Az Zumar: 9).
“Allah menganugrahkan al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al Qur`an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS Al Baqoroh: 269).
BalasHapus“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS Az Zumar: 9).