29 November 2012

Takhrij versi Albani "Hadis Menyiram kuburan dengan air"





Apa Untungnya Bicara Hal Ini?

Paling tidak ada tiga versi berlainan dalam kaitan siram-menyiram kubur, yang intinya sama yaitu tidak ada syariat siram-menyiram kubur dengan air. Tapi apa sih untungnya kita berbicara hal ini?. ya minimal kita tahu titik permasalahan dan syariat agama dengan benar dari sumber yang benar pula. Karena implementasi ke’tidak-tahu’an itu lumayan besar. Dari mengakal-akali syariat yang setiap syariat itu harus dengan rasional, atau mem’bid’ah-bid’ahkan orang lain yang tidak sepaham dengan alasan tidak ada dalil. Mari kita bahas satu persatu, dan kita mulai dari versi ketiga dulu.

Versi Ketiga: Hadits Ini Dhaif

Alhamdulillah dari versi ketiga ini sudah ada kemauan untuk mencari haditsnya. Meski pencariannya belum tuntas. Dasar pijakan hadits yang dipakai dalam hal menyiram kuburan dengan air adalah hadits: 
“Sesungguhnya Nabi Muhammad ShallaAllahu alaihi wa sallam menyiram [air] diatas kubur Ibrahim, anaknya dan meletakkan kerikil diatasnya.”
Hadits ini diriwayatkan dari banyak jalan riwayat. Ketika hadits itu jalan riwayatnya banyak, maka kaidahnya adalah jika dari riwayat yang banyak itu ada satu hadits yang shahih, maka hadits lain yang dhaif tertutup oleh hadits shahih tadi.

Inilah yang sering kurang dipahami masyarakat awam yang sedang semangat belajar dan mengamalkan hadits-hadits shahih. Seolah alergi dengan cap dhaif dalam sebuah jalan riwayat hadits. Padahal bisa saja ada hadits lain yang shahih yang bisa digunakan sebagai pijakan hukum. Maka saya khawatirkan, mengurang-ngurangi agama itu bisa lebih bahaya dari menambah-nambahinya. Berbohong atas nama Nabi itu bisa saja dengan mengatakan itu tidak dari Nabi padahal benar-benar dari Syariat Nabi Muhammad ShallaAllahu alaihi wasallam.

Dirasatul Asanaid

Kalau dahulu saya pernah menulis, mentakhrij sebuah hadits itu sekarang sangat mudah. Bahkan seperti pasang status di Facebook. Memang iya, Alhamdulillah dengan kemajuan tekhnologi ini telah membawa berkah yang sangat besar dalam perkembangan keilmuan termasuk dalam keilmuan keagamaan.

Mudah itu maksudnya kita tinggal tulis haditsnya di laptop yang sudah terhubung dengan internet, maka dengan klik enter saja akan keluar hadtis beserta jalan sanad dan derajat haditsnya. Kalo yang berbahasa indonesia ada lidwa.com atau yang berbahasa arab ada islamweb.net atau di forum ahlalhdeeth.com, tapi syaratnya ya harus bisa baca tulisan arab gundul dan tahu artinya.

Hadits diatas dituliskan oleh Abu Daud dalam Marasilnya[2], Imam Baihaqi dalam Sunan-nya[3], Thabarani dalam Mu’jam Al Ausath[4].

Seperti yang dituliskan islamweb.com bahwa memang hadits ini diriwayatkan oeh banyak jalan:

As Sunan Al Kubro: Baihaqi

Hadits ini diriwayatkan Imam Baihaqi dari: Ahmad Ibn Hasan [Tsiqah] dari Muhammad Bin Abdullah [Tsiqah] dari Muhammad bin ya’qub [Tsiqah] dari Robi’ bin Sulaiman [Tsiqah] dari Abdullah bin Wahab [Tsiqah] dari Sulaiman bin Bilal [Tsiqah] dari Ja’far bin Muhammad [Shaduq] dari Muhammad bin Ali [Tsiqah]. Hadits ini mursal hanya sampai kepada Muhammad bin Ali tetapi semua rawi termasuk kategori tsiqat kecuali Ja’far bin Muhammad. Beliau termasuk kategori shaduq maka haditsnya adalah hasan.

Hadits ini juga diriwayatkan Baihaqi dari Ahmad bin Husain [Tsiqah] dari Muhammad bin Musa [Tsiqah] menyambung ke jalan riwayat diatas kepada Muhammad bin Ya’qub [Tsiqah] hingga keatas.

Ma’rifatu as Sunan wal Atsar: Baihaqi

Meskipun Imam Baihaqi juga meriwayatkan hadits ini dengan jalan lain dalam kitab beliau Ma’rifatu As Sunan wal Atsar. Jalan riwayatnya adalah: Imam Baihaqi meriwayatan hadits dari Ahmad bin Al Husain [Tsiqah] dari Ahmad bin Al Hasan [Tsiqah] dari Muhammad bin Ya’qub [Tsiqah] dari Robi’ bin Sulaiman [Tsiqah] dari Muhammad bin Idris [Tsiqah] dari Ibrahim bin muhammad [Matrukul hadits/Sangat lemah] dari Ja’far bin Muhammad [Shaduq] sampai keatas.

Inilah mengapa Syeikh Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil mengatakan bahwa hadits ini sangat lemah. Karena ada Ibrahim bin Muhammad.

Al Marasil: Abu Daud

Imam Abu Daud meriwayatkan hadits ini dari jalan Sulaiman bin Al Asyast [Tsiqah] dari Abdullah bin Umar [Tsiqah] dari Abdul Aziz bin Muhammad [Shaduq] dari Abdullah bin Muhammad [Laitsa bik qawi] dari Muhammad bin Umar dari Muhammad bin Ali [Tsiqah].

Hadits ini, hanya karena ada satu perawi yang berpredikat laitsa bi qawi/tidaklah kuat yaitu Abdullah bin Muhammad maka menjadi haditsnya dhaif.

Mushannaf: Abdur Rozzaq

Abdurrozzaq meriwayatkan hadits ini dari jalan Abdurrozzaq bin Hammam [Tsiqah] dari Sufyan bin Said [Tsiqah] dari Said bin Abi Hilal [Tsiqah] dari Makhul bin Syahrab [Tsiqah] dari Muhammad bin Ali [Tsiqah]. Semua rawi tersambung dan semuanya tsiqat.

Musnad Imam Syafi’i: Muhammad bin Idris As Syafi’i

Nah, dari jalan inilah ada sebagian kelompok yang mengatakan bahwa haditsnya dhaif. Imam Syafi’i meriwayatkan hadits dari jalan Ibrahim bin Muhammad [Syadidu ad Dhu’fi/sangat lemah] dari Ja’far bin Muhammad [Shaduq] dari Muhammad bin Ali [Tsiqah].

Al Mu’jam Al Ausath: At Thabarani

Disinilah lakonnya. Imam At Thabarani meriwayatkan hadits ini dari jalan Sulaiman bin Ahmad [Tsiqah] dari Muhammad bin Zuhair [Shaduq] dari Ahmad bin Abdah [Tsiqah] dari Abdul Aziz bin Muhammad [Shaduq] dari Hisyam bin Urwah [Tsiqah] dari Urwah bin Zubair [Tsiqah] dari Aisyah binti Abdullah [Tsiqah]. Semua rawinya selamat dari dhaif. Maka haditsnya hasan karena ada rowi yang shaduq.

Maka jawaban untuk versi ketiga bahwa haditsnya dhaif terjawabkan.

Bagaimana Dengan Syeikh Al Albani?

Tidak bisa dipungkiri bahwa beliau merupakan ulama’ zaman ini yang intens bergelut dalam takhrij hadits. Tak tanggung-tanggung, kitab para ulama’ yang sudah mapan dipakai umat islam seperti kitab Sunan para imam ahli hadits tak luput dari koreksi ulang.

Seperti kitab karya At Tirmidzi[5] atau dikenal juga dengan Al Jami’ atau Sunan At Tirmidzi. Oleh Syeikh Al Albani dikoreksi ulang dan dipecah jadi dua kitab yaitu Shahih At Tirmidzi dan Dhaif At Timidzi.

Kita patut bersyukur dan berterima kasih kepada beliau atas jasa-jasanya. Beliau telah menggugah umat islam untuk tidak stagnan dan kritis walaupun kepada sesuatu yang sudah mapan. Tetapi perlu diingat juga, beliau juga seorang manusia yang sangat mungkin salah. Karena tidak semua pengkritik itu lebih benar daripada yang dikritik. Kita juga harusnya bersikap kritis terhadap karya beliau dan tidak ngekor bebek kepada setiap penghukuman beliau atas sebuah hadits. Seolah jika dalam kitab yang sudah tertera label shahih shahih atau dhaif Al Albani sudah begitu saja diterima tanpa mau dikritik.

Terkait penilaian beliau atas hadits menyiram kuburan dengan air, kita bisa temukan dalam beberapa kitab beliau. Diantaranya dalam kitab Irwa’ Al Ghalil[6]. Beliau menyebutkan bahwa hadits ini selain mursal juga diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dari jalan Ibrahim bin Muhammad dan dia termasuk muttaham bil kadzib; dicurigai melakukan kebohongan. Baru dicurigai berbohong saja dalam ilmu sanad hadits sudah menjadikan hadits itu dhaif.

Tapi nanti dulu, disinilah pentingnya belajar jangan setengah-setengah. Bagi ikhwah yang sering menshahihkan atau mendhaifkan hadits dengan acuan takhrij Syeikh Al Albani, maka sebaiknya jangan langsung melihat hasil akhir penilaian beliau, tapi lihatlah bagaimana hadits itu bisa menjadi dhaif. Maka ketika taqlid kepada salah satu madzhab empat yang muktamad itu dilarang, seharusnya taqlid kepada penilaian hadits seorang ulama’ yang belum tentu muktamad juga dilarang.

Di kitab ini beliau menghukuminya dalam kategori hadits dhaif. Tapi ternyata beliau memasukkan hadits ini dalam kitab Silsilatul Ahadist As Shahihah[7].
Syeikh Al Albani berkata: menyiram kubur dengan air memang terdapat banyak hadits. Tetapi ada cacatnya, sebagaimana telah saya jelaskan dalam kitab Irwa’ Al Ghalil: 3/205-206. Tetapi saya lantas mendapati sebuah hadits lain dalam kitab Ausath at Thabarani dengan sanad yang kuat tentang Nabi yang menyiram kubur Ibrahim, anaknya dengan air. Maka saya takhrij lagi dalam kitab as Shahihah: 3045. Dari kitab silsilatul Ahadits As Dhaifah: 13/994.

Itu sungguh pengakuan yang bagus dari Syeikh Nasiruddin Al Albani. Tapi pertanyaannya, apakah ada takhrij ulang dari kitab Irwa’ Al Ghalil? Bagaimana jika ada orang yang hanya belajar dari kitab Irwa’ Al Ghalil tanpa melihat kitab Silsilatul Ahadits As Shahihah atau ad Dhaifah? Bagaiamana kita bisa tahu, penilaian manakah yang lebih baru dari takhrij beliau? Apakah tidak dikhawatirkan ketika ada yang mengambil takhrij dari satu kitab beliau tanpa membaca kitab yang lain?. Sepertinya saya juga tidak bisa menjawab.

Versi Kedua: Ini Tidak Ada Dalilnya

Kadang geregetan juga jika ada orang yang sedikit-sedikit berdalil: “Ini tidak ada dalilnya, ini tidak ada pada Salafus Shalih, ini hal baru” tanpa benar-benar mencari tahu atau sekedar ingin tahu. Tak tahu dan tak ingin tahu itulah yang menjadi awal dalil, “tidak ada dalil”.

Ibnu Quddamah dalam kitabnya Raudhatu An Nadzir[8] ketika menerangkan tentang istishabul hal membuat sebuah kaidah yang bagus: “Tidak mengetahui adanya dalil itu bukan hujjah, yang menjadi hujjah adalah mengetahui tidak adanya dalil.”

Versi Pertama: Biar Adem, Kenapa Tidak Dengan Air Satu Bak Saja?

Akal sehat tidak akan bertentangan dengan nash yang shahih, itulah prinsipnya. Karena Dzat yang menciptakan akal tidak lain adalah Dzat yang menurunkan nash. Dalam agama, ada perkara-perkara yang bisa dipahami dengan akal dan rasional.
Tetapi ada juga hal-hal yang tak bisa dipahami dengan rasional otak saja. Contoh mudahnya ketika kentut kenapa yang dibasuh dalam wudhu kok bukan jalan keluarnya kentut. Bahkan dalam kehidupan nyata pun juga ada, ketika yang sakit adalah mata, kenapa yang disuntik malah bokongnya.

Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya agama ini dengan akal maka tentunya bagian bawah khuf (semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit) lebih utama untuk diusap (pada saat berwudhu-red) daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas khuf-nya.” HR Abu Dawud.

Menyiram kuburan dengan air, meskipun kita tidak tahu apa manfaat dibalik itu tetapi telah ada riwayat yang shahih menerangkan bahwa Nabi Muhammad ShallaAllahu alaihi wa sallam pernah menjalankannya.

Epilog

Maksud dari tulisan ini bukanlah menganjurkan untuk menyiram kubur dengan air. Tetapi terlebih kepada anjuran untuk selalu bersemangat untuk belajar agama lebih dalam lagi, tidak membatasi diri hanya belajar dari satu kelompok saja, dan selalu kritis selama didasari dari dalil yang kuat.

Yang terpenting bukanlah menyiram kubur dengan air, tetapi menyiram para penghuni kubur dengan do’a yang selalu menjadikan mereka sejuk di alam sana. Kita semua akan mati, akan habis jatah beramal kita. Tapi jika kelak ketika mati, kita meninggalkan anak-anak yang tak henti mendo’akan kita maka itulah INVESTASI AKHIRAT YANG LUAR BIASA.

Wallahu A’lamu bish Shawab
[1] Irwa’ Al Ghalil: Nashiruddin Al Albani, 3/205-206
[2] Al Marasil: Abu Daud, 304/424
[3] Sunan Baihaqi: Baihaqi, 3/311
[4] Mu’jam Al Ausath: At Thabarani, 2/80
[5] Imam al-Hafidz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak As-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadits kenamaan, lahir pada 279 H di kota Tirmiz arah selatan dari sungai Jaihun, bagian selatan Iran.
[6] Irwa’ Al Ghalil: Nashiruddin Al Albani, 3/205-206
[7] Silsilatul Ahadits As Shahihah: Al Albani, Hal. 13/994, No. Hahdits: 3045
[8] Raudhatu An Nadzir: Ibnu Quddamah, 1/156

1 komentar:

Jangan lupa Tulis Saran atau Komentar Anda