Dalam sebuah kitab klasik yang dijuluki Kifayatul Mu’taqid wa Nikayatul Muntaqid karya Syaikh Abu Muhammad Abdullah al-Yafi’i, terbitan Mushthafa al-Halabi Mesir cetakan pertama tahun 1961 halaman 303, penulis menemukan sebuah fatwa atau wasiat yang unik dan antik. Bunyinya kurang lebih sebagai berikut :
“Ketahuilah bahwa mazhab perusak (sebuah golongan kecil dalam sufi-sufi kuno) bertujuan menampakkan keburukan dan menyembunyikan kemuliaan. Mazhab ini banyak alirannya dan banyak pula tokokh-tokohnya. Mereka (para pemuka dan penganut mazhab ini) senantiasa melakukan hal-hal yang nyaris mengundang prasangka buruk agar mereka dibenci orang-orang sekitar dan dituduh yang bukan-bukan.
Mereka tidak pernah bergembira atas pujian orang, tidak pula bersedih atas cacian para penentang. Semua itu dilakukan semata-mata untuk menggapai tingkat keikhlasan yang sesempurna mungkin, serta membebaskan hati nurani dari syirik terkecil sekalipun, yang mana sukar dihindari kecuali oleh wali-wali papan atas. Mereka tidak perduli bila dikatakan kafir oleh orang-orang, selagi di sisi Tuhan mereka adalah orang-orang yang benar.
Di anatara mereka ada yang tampak tidak pernah melakukan shalat dan puasa, padahal sebenarnya mereka melakukannya dengan baik dan benar di ruang-ruang yang jauh dari pandangan manusia.
Di antara mereka juga ada yang tampak tidur dan kencing di tempat-tempat pembuangan sampah, padahal sebenarnya mereka tidak tidur dan tidak kencing, melainkan mereka shalat subuh dengan wudhu shalat isya’.
Di antara mereka juga ada yang sengaja menunampakkan auratnya. Ada pula yang suka memaki orang dengan kata-kata kasar dan kotor. Ada juga yang gemar main kuda-kudaan dengan tongkatnya sendiri. Ada pula yang makan dihadapan para raja dengan cara yang jorok. Ada juga yang mengoleksi barang-barang murahan. Ada pula yang sengaja membuat curiga agar dianggap pencuri. Semua itu hanya demi keselamatan hati dari ujub, riya’, takabbur, dan saudara-saudaranya”.
Pada halaman berikutnya diterangkan bahwa, dalam disiplin fikih, sesuatu yang haram boleh saja dilakukan dalam kondisi terpaksa, seperti mengkonsumsi yang najis atau haram untuk tujuan pengobatan. Nah, apabila mengobati badan yang sakit saja boleh dengan sesuatu yang terlarang, mengapa mengobati hati sebagai pusat makrifat dan cahaya tidak boleh dengan sesuatu yang kurang menawan?. Dan tidak dapat disamakan antara penyakit badan dengan penyakit hati. Penyakit badan masih mengandung kasih sayang dan pahala, sedangkan penyakit hati sepenuhnya dosa dan malapetaka.
Karena yang panas ditawar dengan yang dingin, dan yang dingin ditawar dengan yang panas, maka demikianlah penyakit riya’ karena pujian dapat ditawar dengan tawadhu’ karena makian.
Akan tetapi meski demikian kaidahnya, para senior mazhab ini sepakat bahwa meraih tujuan mulia itu sama sekali tidak boleh diupayakan melalui perbuatan-perbuatan haram apalagi dosa-dosa besar. Kalau hanya perbuatan-perbuatan makruh atau dosa-dosa kecil, maka tidak masalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa Tulis Saran atau Komentar Anda