News Update :
Home » » Menjelaskan Kemuskilan dalam Hadith Al-Jariyyah [Bag] 1

Menjelaskan Kemuskilan dalam Hadith Al-Jariyyah [Bag] 1

Penulis : Bagus Rangin on 15 November 2012 | 12.07.00




di nuqil dari risalah

في بيان ما أشكل من حديث الجارية
Cahaya-cahaya Yang Cerah
Dalam Menjelaskan Kemuskilan dalam Hadith Al-Jariyyah

Karya Al-Faqir ila Rabbihi Al-Qawiy Al-Jalil
Raja Ahmad Mukhlis bin Raja Jamaludin
'AmalahuLlahu bi althofiHi Al-Khafiyyah





Fasal Pertama: Hadtih Al-Jariyyah: Suatu Penelitian dan Perbandingan

Bila semua manusia, siapa saja berbicara tentang agama, tanpa melihat latar belakang pendidikan mereka, lalu bersikap ingin menonjol dengan mempopularkan faham-faham yang terpinggir dan merusak agama, makaakan membawa kepada fitnah yang besar terhadap para penganut agama Islam secara seluruhnya.

Bertolak daripada itulah, maka penulis yang penuh kejahilan ini, berbekalkan secebis upaya yang diberi melalui bantuan Allah s.w.t. yang Maha Mengasihi, serta dengan keberkatan didikan para guru yang dikasihi, mencuba menghimpun pembahasan-pembahasan sebagian para ulama' Islam yang muktabar lagi dipercayai, dalam menjelaskan permasalahan yang sering menjadi fitnah yang dikembangkan oleh pelopor femahaman tajsim dan para pengikutnya yang sekedar bertaqlid buta-tuli, iaitulah masalah hadith Al-Jariyyah.

Sebagian golongan ahli bid'ah menggunakan hadith ini untuk membela femahaman tajsim mereka, lalu menuduh mereka yang tidak sehaluan dengan "kesesatan faham tajsim" mereka (iaitulah golongan ahlus-sunnah) dengan sebutan "sesat" , bahkan mendakwa majoriti ulama' Islam dan umatnya yang berpegang dengan aqidah sejahtera (iaitu aqidah Allah s.w.t. ada tanpa tempat dan rupa), sebagai pengikut hawa nafsu yang tercela.

Padahal, demi sesungguhnya, pada hakikatnya, mereka yang menetapkan "tempat" bagi Allah s.w.t.-lah yang terus terlena dengan nafsu mereka, dengan sibuk mengikuti mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dalam masyarakat Islam secara amnya. Merekalah yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t. sebagai pengikut mutasyabihat (yattabi'un ma tasyabaha) dengan tujuan menyebarkan fitnah dalam agama (ibtigha al-fitnah), mereka sadari atau tanpa menyedarinya.

Kejahilan…Hanya karena Kejahilan

Andainya mereka kembali kepada jalan petunjuk yang nyata, melalui proses berguru dengan para ulama' yang mewakili majoriti ulama' Islam yang amanah lagi beraqidah sejahtera, lalu bersikap sebagai penuntut ilmu yang terbuka, tanpa ta'asub dan tanpa tergesa-gesa, nescaya mereka tidak akan tersesat dan terpedaya dengan mereka yang telah terlebih dahulu tersesat sebelum mereka.

Mereka menuturkan kata-kata yang dhahirnya seolah-olah mendukung apa yang mereka klaim, padahal jika dinilai dengan neraca ilmiah yang sempurna, akan tampak hakikatnya adalah sebaliknya. Hanya karena kejahilan yang nyata, akhirnya menyebabkan mereka terus keliru dengan mutasyabihat dan tidak tahu bagaimana untuk berinteraksi dengannya.

Mereka berinteraksi dengan nas-nas mutasyabihat dengan "cara" berinteraksi dengan muhkamat (ayat yang mengandung makna yang jelas dan tepat), lalu mendustai orang-orang awam yang tidak pernah taul perbedaan antara mutasyabihat dengan muhkamat.

Akhirnya, mereka hanya menang, di balik keroksakan, namun masih tetap merasa bongkak. Ini suatu gejala negatif yang mana jika ulama'-ulama' muktabar terdahulu masih ada di zaman ini, pasti merekalah yang berada di barisan hadapan untuk menghadapi golongan yang membawa kesesatan ini. Inilah amanah ilmu Allah s.w.t., untuk menjelaskan yang mana betul dan yang mana salah, bukan sekadar menghiasii penulisan dengan hujah-hujah, namun berteraskan femahaman yang salah.

Tidak Semua Hadith yang Sahih Sanadnya Ditetapkan Makna dhahirnya

Suatu yang tidak jelas di sisi orang-orang awam dan sebagian penuntut ilmu yang berguru dengan buku semata-mata, bahwasanya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah mengandung nas-nas mutasyabihat yang mana dhahirnya bukanlah yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t.. Ia hadir dalam bentuk kiasan atau secara hakikat yang hanya diketahui maknanya oleh Allah s.w.t..

Kalaulah semua orang yang menggunakan dhahir hadith sahih dianggap sebagai mengikut kebenaran, sudah tentu golongan yang mendakwa diri bergabung dengan tuhan (hulul atau ittihad) juga dianggap sebagai pengikut kebenaran karena mereka mendakwa berhujah dengan makna dhahir yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari yang berbunyi:


وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا



: Firman Allah s.w.t. dalam hadith qudsi: "…sekiranya hamba tersebut sentiasa mendekatkan dirinya kepadaKu dengan amalan-amalan sunat (setelah amalan wajib dilaksanakan) (sehingga setelah itu) Aku akan mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang dia mendengar dengannya, Aku adalah penglihatan yang dia melihat dengannya, Aku adalah tangan yang dia menggunakannya dan Aku adalah kaki yang dia gunakan untuk berjalan dengannya…" (Hadith riwayat Al-Bukhari no. 6021)

Adapun jika seseorang berpegang dengan hadith ini secara dhahir, nescaya dia akan mengikut femahaman sesat golongan hulul dan ittihad yang mendakwa Allah bersatu dalam dirinya. Ini suatu kesesatan yang nyata, biarpun mereka klaim menggunakan hadith yang sahih juga. Ini bukan masalah hadith itu sahih semata-mata, tetapi adakah makna hadith tersebut jelas atau samar.

Imam Ibn Hajar dalam Fath Al-Bari ketika mensyarahkan hadith tersebut mendatangkan empat makna yang mana kesemuanya adalah kiasan bagi perkataan-perkataan tersebut karena "makna dhahir" daripada nas tersebut tidak layak bagi Allah s.w.t..

Imam Ibn Hajar berkata pada awal ulasannya tentang lafaz hadith tersebut:


وَقَدْ اُسْتُشْكِلَ كَيْفَ يَكُونُ الْبَارِي جَلَّ وَعَلَا سَمْعَ الْعَبْدِ وَبَصَرَهُ إِلَخْ ؟


: "Maka telah berlaku kemusykilan bahwasanya, bagaimana Allah menjadi pendengaran dan penglihatan hambaNya?..."

Kemudian Imam Ibn Hajar r.a. sendiri menjelaskan bahwasanya dhahir lafaz tersebut membawa kemusykilan dan membawa maksud Allah s.w.t. menjadi pendengaran dan penglihatan hambaNya yang mustahil bagi Allah s.w.t..

Oleh karena itu, setelah itu beliau mengulas bahwasanya lafaz tersebut bukanlah dengan maknanya dari sudut bahasa, atau dari sudut dhahir, tetapi dengan makna kiasan atau perumpamaan yang menunjukkan pemeliharaan Allah s.w.t. atas anggota hambaNya dan sebagainya. Bisa rujuk Fath Al-Bari dalam syarah tentang hadith tersebut.

Beliau juga merujuk perkataan Imam At-Thufi yang berkata:

اِتَّفَقَ الْعُلَمَاء مِمَّنْ يُعْتَدّ بِقَوْلِهِ أَنَّ هَذَا مَجَاز وَكِنَايَة عَنْ نُصْرَة الْعَبْد وَتَأْيِيده وَإِعَانَته


: "Telah sepakat ulama' bahwasanya perkataan tersebut adalah majazi dan kiasan dengan maksud bantuan Allah atas hamba tersebut dan dokongan serta pertolonganNya padanya." (fath Al-Bari)

Ini jelas menunjukkan ada sebagian nas-nas hadith walaupun sahih, tetapi hadir dalam bentuk mutasyabihat yang mana dhahirnya bukanlah yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t.. Hanya karena kejahilan dan ta'assub saja, seseorang itu tidak dapat memahami hakikat ini, lalu berusaha keras menetapkan tempat bagi Allah s.w.t. dengan hadith Al-Jariyyah yang juga sama kedudukannya dengan hadith Al-Bukhari ini (iaitu dari kalangan nas-nas mutasyabihat).

Oleh karena itu, suatu pendirian yang sangat jelas apabila berinteraksi dengan nas-nas mutasyabihat adalah tidak memahaminya dengan makna dhahirnya.

Hal ini dijelaskan sendiri oleh Imam Hasan Al-Banna sebagaimana yang dinukikan lalu disetujui oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya fusulun fi Al-Aqidah. Imam Hasan Al-Banna ada menyebut:

“Sesungguhnya, menetapkan makna dhahir (bagi nas-nas mutasyabihat) adalah suatu Tajsim (menjisimkan Allah) dan Tasybih (menyamakan Allah dengan makhluk) karena dhahir lafaz tersebut adalah telah diletakkan makna baginya (berdasarkan ilmu bahasa Arab itu sendiri).

"Maka tiada makna ‘yad’ (tangan) secara hakikat (secara dhahir atau secara makna lughowinya) kecuali anggota badan dan begitu juga selainnya (seperti Allah fi As-Sama' dll).

"Manakala mazhab As-Salaf ttidak berpegang secara dhahir pada ayat dan hadith tersebut tetapi tidak langsung menyentuh dan berbahas mengenainya sama sekali”

Beliau berkata lagi: "Salaf dan khalaf sepakat bahwasanya apa yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t. melalui nas-nas mutasyabihat bukanlah dengan makna dhahirnya…"

Ditulis dalam Majmuk Rasa'il Imam As-Syahid Hasan Al-Banna pada kitab Al-Aqoid 408-418 yang dinukilkan dalam fusulun fi Al-Aqidaholeh Dr. Al-Qaradhawi m/s: 34.

Oleh sebab itu, Imam Ibn Al-Jauzi sangat mengkritik sebagian pengaku sebagai pengikut Imam Ahmad bin Hanbal namun berfaham musyabbihah dan mujassimah yang menisbahkan faham tersebut kepada Imam Ahmad r.a..

Beliau berkata dengan lantang:

"Janganlah kamu melakukan bid’ah terhadap mazhab ini (Hambali) yang sebenarnya bukan daripada mazhab ini iaitu kamu membicarakan hadith (yang mutasyabihat) lalu menetapkannya hadith secara dhahirnya… Jika seseorang yang mendakwa : "Allah bersemayam dengan DzatNya maka sesungguhnya dia telah menjadikan Allah sesuatu yang terbatas dengan kebendaan (hissiyyat). Bahkan, kita tidak boleh mengabaikan suatu neraca yang ditetapkan secara asal oleh syariat iaitul"akal" itu sendiri. Dengan "akal" jugalah kita mengenal Allah s.w.t. dan mengenal sifat qadimNya. Kalau kamu sekadar membacakan hadith (menyebut lafazd kemudian berdiam diri daripada membicarakannya (tidak memperincikan lafaz mutasyabihat) tersebut nescaya tiada orang yang mengingkari kamu. Masalahnya adalah, kamu menetapkannya (lafaz mutasyabihat tersebut) dengan makna dhahirnya yang buruk (tidak layak bagi Allah). Janganlah kamu memasukkan (menisbahkan) kepada mazhab lelaki yang soleh lagi salaf (Imam Ahmad) ini sesuatu yang bukan daripada mazhab itu sendiri. Kamu telah menutup mazhab ini (Imam Ahmad) dengan kain sesuatu yang buruk sehingga menyebabkan orang lain menyangka pengikut mazhab Hanbali sebagai Mujassim.

"(Keburukan) Kedua (Golongan Mujassimah yang berlindung di balik mazhab Hanabilah: Kamu katakan hadith-hadith tersebut sebagai mutasyabihat yang tidak ada orang mengetahuinya kecuali Allah. Kemudian kamu berkata: "kita tetapkan maknanya dengan makna dhahirnya". Sangat menghirankan (femahaman kamu wahai mujassimah), di mana kamu mengatakan tiada yang mengetahui "makna" mutasyabihat melainkan Allah s.w.t. adalah makna dhahir itu sendiri (maksudnya: kalau memang makna mutasyabihat adalah makna dhahirnya, maka apa sebenarnya yang hanya diketahui oleh Allah)? Bukankah makna dhahir bagi istiwa' itu duduk (yang membawa kepada tajsim)?". [Daf' Syubah At-Tasybih rujuk muqoddimahnya, oleh Imam Ibn Al-Jauzi r.a.].

Allahumma faqqihna fiddin wa 'allimna at-ta'wil…

Latar Belakang Hadith Al-Jariyyah (Hamba Perempuan)

Berdasarkan suatu kajian yang luas, hadith berkenaan dengan kisah Al-Jariyyah ini didapati dalam banyak riwayat. Namun sebagian mereka yang jahil meletakkannya secara "salah tempat". Akhirnya mulalah mendakwa bahwasanya Allah s.w.t. ada secara "bertempat". Sudahlah mereka tersesat, namun masih terus mengajak manusia selain mereka untuk sama-sama sesat.

Mereka menggunakan hadith ini untuk membela kesesatan faham tajsim mereka, dengan harapan dapat mempengaruhi semua manusia. Namun, golongan ahli ilmu yang mempunyai latar belakang pendidikan dan pembelajaran yang luas dalam ilmu agama, mana mungkin terpengaruh dengan bid'ah tajsim yang dijajakan mereka.

Adapun tentang hadith ini, jika kita menyingkap seluruh riwayat yang berkaitan dengan kisah ini, maka kita akan dapati bahwasanya, situasinya adalah berkenaan dengan seorang sahabat Rasulullah s.a.w. yang bernama Saidina Mu'awiyah bin Al-Hakam As-Sulami r.a., yang mana peristiwa dalam riwayat tersebut, ia baru memeluk Islam, dan tidak mempunyai latar belakang mengenai ilmu Islam yang banyak.

Kita mulai perbahasan ini dengan hadith yang diriwayatkan oleh Imam Muslim terdahulu karena isinya menceritakan dari awal peristiwa tersebut. Kisah ini bermula ketika Saidina Mu'awiyah bin Al-Hakam As-Sulami r.a. sedang mengerjakan solat, tiba-tiba beliau terdengar seseorang bersin. Lalu Saidina Mu'awiyah tersebut mengucapkan:

يرحمك الله

: "Semoga Allah merahmatimu".

Lalu para sahabat r.a. yang lain di samping Saidina Mu'awiyah menoleh ke arah Saidina Mu'awiyah r.a. dengan pandangan seolah-olah mengingkari perbuatan tersebut (membaca doa kepada orang yang sedang bersin ketika dalam solat).

Lalu, Saidina Mu'awiyah menoleh ke arah mereka lalu berkata:

ما شأنكم تنظرون إلي

: "Apa sebabnya kamu semua memandang kepadaku?"

Lalu para sahabat r.a. meletakkan tangan mereka pada mulut mereka sebagai isyarat menyuruh Saidina Mu'awiyah berdiam. Lalu Saidina Mu'awiyah bin Al-Hakam pun tidak berkata-kata lagi.

Setelah selesai solat, Rasulullah s.a.w. tidak marah walau sedikitpun, sebaliknya memberi nasihat secara hikmah kepada Saidina Mu'awiyah dengan bersabda:

إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء من كلام الناس إنما هو التسبيح والتكبير وقراءة القرآن

Maksudnya: Sesungguhnya solat ini tidak boleh ada perkataan manusia (tidak boleh berkata-kata). Sesungguhnya yang disebut hanyalah tasbih, takbir dan bacaan Al-Qur'an.

Peristiwa ini secara jelas diriwayatkan oleh Imam Muslim di bagian awal hadith ini yang sering diabaikan oleh sebagian golongan mujassimah. Peristiwa ini yang paling penting dalam hadith Al-Jariyyah ini khususnya di sisi Imam Muslim ketika meriwayatkan hadith ini dalam kitab Sahih beliau. Ia merupakan suatu peristiwa di mana seorang sahabat tidak mengetahui bahwa tidak boleh berkata-kata ketika dalam solat. Inilah tujuan sebenarnya Imam Muslim meriwayatkan hadith ini dalam kitab sahihnya, namun sebagian mujassimah yang mengikut hawa nafsu mereka, membuang peristiwa di atas lalu memfokuskan kepada kisah Al-Jariyyah (yang berlaku setelah peristiwa pertama ini), sedangkan maksud Imam Muslim adalah pada peristiwa pertama ini (iaitu: dalil tidak boleh berkata-kata di dalam solat).

Dalam lanjutan riwayat Imam Muslim juga, setelah itu Saidina Mu'awiyah r.a. berkata:

أو كما قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم،

Maksudnya: "Atau seperti yang disabdakan oleh Rasulullah s.a.w.".

Ayat ini menunjukkan bahwasanya Saidina Mu'awiyah r.a. tidak mengingat dengan yaqin kalimat dari Rasulullah s.a.w. dalam peristiwa tersebut secara jelas ketika meriwayatkannya. Oleh kerana itulah, beliau menambah ungkapan ini karena tidak yakin ketepatan kalimat yang dinisbahkan kepada Rasulullah s.a.w. walaupun tidak menjadi suatu kesalahan bagi seseorang meriwayatkan hadith Rasulullah s.a.w. dengan makna (lafaz daripada susunan perawi sendiri dalam menjelaskan makna sabda Nabi s.a.w. tersebut).

Sengaja alfaqir penulis memfokuskan nota penting ini karana ini sangat berperanan dalam menggambarkan "cara" periwayatan hadith ini melalui jalan Saidina Mu'awiyah bin Al-Hakam r.a.. "Cara" periwayatan ini penting dalam menjelaskan kedudukan "lafaz-lafaz" hadith yang diriwayatkan oleh Imam Muslim daripada jalan Saidina Mu'awiyah ini. Ini lebih berbentuk "meriwayatkan dengan makna (al-riwayah bil ma'na)" atau ada unsur 'amal Al-Rawi (campur tangan perawi dalam lafaz hadith).

Kemudian, kita lanjutkan lagi hadith ini:-

Kemudian Saidina Mu'awiyah bin Al-Hakam r.a. berkata kepada Rasulullah s.a.w.:

يا رسول الله إني حديث عهد بجاهلية

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya ini masih baru dengan waktu jahiliyyah (maksudnya, masih baru memeluk Islam dan masih baru meninggalkan zaman Jahiliyyah. Oleh sebab itu, banyak perkara tentang Islam yang beliau lebih perlu kepada penjelasan)."

Dalam perkataan ini menggambarkan latar belakang kedudukan sahabat yang meriwayatkan hadith ini sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Muslim tersebut, iaitu masih baru memeluk Islam dan tidak banyak tahu tentang Islam sehingga tidak tahu bahwasanya tidak boleh berkata-kata di dalam solat seperti yang dibincangkan sebelumnya. Ini nota yang sangat penting karena latar belakang seseorang perawi mempengaruhi "cara" beliau menggunakan lafaz-lafaz dalam meriwayatkan hadith secara makna yang akan dibincangkan setelah ini.

Kembali kepada hadith:-

Saidina Mu'awiyah bertanya tentang beberapa hukum seperti, menilik nasib, membuat ramalan dengan perubahan seperti meramal sesuatu baik atau buruk dengan arah burung terbang (tathoyyur) dan sebagainya.

Setelah itu, barulah Saidina Mu'awiyah bin Al-Hakam menceritakan tentang seorang jariyah (hamba perempuan) yang dimilikinya.Beliau berkata:


وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد والجوانية؛ فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب قد ذهب بشاة من غنمها وأنا رجل من بني آدم آسفكما يأسفون؛ لكني صككتها صكة فأتيت رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم فعظم ذلك على، قلت : يا رسول الله أفلا أعتقها


“Aku memiliki seorang hamba wanita yang mengembala kambing di sekitar pergunungan Uhud dan Jawaniyah. Pada suatu hari aku melihat seekor serigala menerkam dan membawa lari seekor kambing di bawah tugas pemeliharaannya (hamba perempuan tersebut). Dan aku adalah termasuk salah seorang anak Adam, aku juga memiliki perasaan tidak puas hati sebagaimana mereka (manusia lain juga ). Namun (sebab kambingnya dimakan serigala) aku menampar hamba perempuan tersebut dengan tamparan (pukulan) yang kuat. Maka aku pergi lagi menemui Rasulullah s.a.w., lalu Baginda menyalahkanku atas perbuatanku.

Saya lalu berkata: “Wahai Rasulullah! Adakah aku harus memerdekakannya?”

Rasulullah s.a.w. bersabda: "Bawa dia kepadaku".

Setelah hamba perempuan itu datang lalu Rasulullah s.a.w. diriwayatkan bersabda (melalui riwayat Imam Muslim ini):

أين الله

: "AinaLlah? (Salah satu lafaz mutasyabihat) iaitu mana Allah?".

Hamba tersebut menjawab:

في السماء

: "Di langit".

Rasulullah s.a.w. lalu bersabda:

من أنا

: "Siapakah aku?"

Hamba perempuan itu menjawab:

أنت رسول الله

: "Engkau Rasulullah"
Rasulullah s.a.w. bersabda lagi:

أعتقها فأنها مؤمنة

: "Merdekakanlah dia. Sesungguhnya dia seorang yang beriman."

Hadith dengan "lafaz" ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanadnya seperti berikut:

Saidina Mu'awiyah bin Al-Hakam r.a. meriwayatkan kepada:

'Atho' bin Yasar yang meriwayatkan kepada:

Hilal bin Abi Maimunah yang meriwayatkan kepada:

Yahya bin Abi Kathir yang meriwayatkan kepada:

Hajjaj As-Showwaf yang meriwayatkan kepada:

Ismail bin Ibrahim yang meriwayatkan kepada:

Abu Ja'far Muammad dan Abu Bakr bin Abi Syaibah yang meriwayatkannya kepada:

Imam Muslim yang meriwayatkannya dalam Sahihnya.

Pengkajian Kedudukan Perawi:

Adapun tentang Hilal bin Ali bin Usamah (iaitu Hilal bin Abi Maimunah), maka sebagian para nuqqad (ahli pengkaji sanad hadith) menyatakan seperti berikut:-

Imam Ad-Darqutni berkata tentang beliau: “Thiqah (terpercaya)”. Ya’qub bin Sufian berkata: “Thiqah dan baik hadithnya. Beliau meriwayatkan daripada Atha’ bin Yasar hadith-hadith yang baik (Hissanan)”. [Al-Ma’rifah wa At-Tarikh 2/466]

Namun, Imam Abu Hatim berkata: 

شيخ يكتب حديثه

"Dia seorang sheikh yang ditulis hadithnya" [rujuk Tahzib Al-Kummal 30/344].

Ungkapan ini menunjukkan kepada darajat hasan atau sahih peringkat rendah menurut Imam Az-Zahabi dalam kitab Al-Muqizhoh.

Imam An-Nasa'ie juga berkata:

ليس به بأس

: “tidak mempunyai masalah baginya" [Siyar A'laam An-Nubala 5/265]. Ini juga merujuk kepada darajat sahih peringkat rendah menurut Imam Az-Zahabi dalam Al-Muqizhoh.

Imam Az-Zahabi berkata:

"Adapun perkataan seperti fulan laisa bihi ba's …maka ungkapan gini jayyidah (baik atau hasan) tidak membawa kepada dha'ifnya sheikh (perawi) bahkan sebenarnya tidak sampai setinggi darajat sahih yang sempurna yang disepakati kesahihannya. Tetapi, banyak daripada ungkapan yang kita sebutkan tadi (termasuk fulan laisa bihi ba's) saling campur aduk penilaian ulama mengenainya antara mereka yang menjadikannya sebagai hujah dengan mereka yang tidak menjadikannya sebagai hujah…" [rujuk Al-Muqizhoh m/s 82]

Al-Hafiz Imam As-Sakhawi juga berkata dalam Fath Al-Mughith (2/113) berkata:

" ويلي هذه المرتبة خامسة وهي قولهم ليس به بأس أو لا بأس به

: Seterusnya status gadis peringkat kelima, iaitu perkataan mereka (An-Nuqqad): Laisa bihi Ba’s atau La Ba’sa bihi…”

Dengan kata lain, hadith yang diriwayatkan melalui jalan Hilal bin Ali (Abi Maimunah) ini berdarajat hasan atau darajat sahih yang rendah, itu sebagaimana yang dikatakan juga oleh Imam Al-Hafiz Ya'qub bin Sufian dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh dan Al-Hafiz Ibn 'Abd Al-Bar dalam Al-Isti’ab ketika menyebut tentang Mu’awiyyah bin Al-Hakam (3/403). Imam Ibn Hajar juga meletakkannya dengan darjat thiqah (darajat ketiga daripada dua belas peringkat perawi yang disusun oleh Imam Ibn Hajar dalam Taqrib At-Tahzib).

Dalam waktu yang sama, salah seorang perawi dalam hadith ini yang juga di katakan oleh sebagian para ulama' hadith adalah Yahya bin Abi Kathir. Menurut Imam Al-Kauthari dalam ta'liqat Al-Asma' wa As-Sifat m/s 532, sebagian ulama' hadith menetapkan bahwa Yahya bin Abi Kathir tersebut sebagai mudallis (pelaku kesamaran).

Al-Hafiz Imam Ibn Hajar Al-Asqollani dalam Taqrib Az-Tahzib berkata tentang Yayha bin Abi Kathir:

ثقة ثبت لكنه يدلس ويرسل 

: "Dia ialah seorang yang dipercayai dan teliti namun juga melakukan tadlis (melakukan kesamaran dalam riwayat) dan irsal (terputus sanad dari satu tobaqot)…".

Namun, beliau masihi thiqah walaupun tidak mencapai darajat sahih yang tinggi dengan sebab tadlis. Oleh sebab itu, riwayat beliau diterima oleh kebanyakkan perawi hadith termasuklah Imam Al-Bukhari.

Inilah jalan pertama atau riwayat pertama berkenaan hadith Al-Jariyah ini, yang sering digunapakai oleh sebagian golongan mujassimah dengan tanpa membuat analisa yang lebih mendalam. Secara jelas hadith ini tidak mencapai darajat kesahihan yang tinggi bahkan dari satu sudut walaupun tidak jatuh kepada dho'if tetapi hanya hasan atau sahih yang rendah kedudukannya. Lebih luas lagi penilaian terhadap hadith ini adalah, apabila dibandingkan dengan jalan-jalan periwayatan yang lain dalam konteks yang sama yang lebih kuat berbanding riwayat Imam Muslim ini yang akan dibincangkan kemudian.


bersambung pada bag 2...............

DiNuqilkan Oleh : Bagus Rangin ~ Kertajati-Majalengka

pucukpucuk Agan sedang membaca artikel tentang: Menjelaskan Kemuskilan dalam Hadith Al-Jariyyah [Bag] 1. Silakan agan copy dan paste atau sebarluaskan artikel ini jika dinilai bermanfaat,Ane juga menyediakan buku terjemahan kitab yang membantah wahabi: 1. buku "bid'ah mahmudah dan bid'ah idhafiyah antara pendapat yang membolehkan dan yang melarang" terjemah dari kitab: albid'atul mahmudah wal bid'atul idhafiyah bainal mujiziina wal maniin" karya Syaikh abdul fattah Qudais Al Yafi"i, 2.Terjemah kitab ‘At Tabaruk Bi As Sholihin Baina Al Muzijiin wa Al Maani’in: Mencari Keberkahan Kaum Sholihin Antara Pendapat yang Membolehkan dan yang Melarang, hub admin: hp/WA 0857-5966-1085.syukron :

*** Dapatkan buku terjemah disini ***

Share this article :

Posting Komentar

Jangan lupa Tulis Saran atau Komentar Anda

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger