News Update :
Home » » Mengkompromikan antara manhaj isbat dan takwil

Mengkompromikan antara manhaj isbat dan takwil

Penulis : Bagus Rangin on 15 September 2012 | 08.04.00




Wahabi selalu pilih pilih dalam mengambil perkataan ulama yang mengambil dari salaf, ana melihat mereka mengambil sebagian, dan tidak tahu sebagian yg lain. padahal untuk Mengkaji manhaj seorang ulama mesti dilakukan dengan melihat kepada kitab-kitab yg mereka tulis, bukan membacanya melalui sumber kedua (marja’ thanawi) yg ditulis oleh orang lain ttgnya. Juga kajian itu mestilah mutakamil (komprehensif), bukan mutajazza (parsial). Menarik kesimpulan dari satu atau dua contoh perkataan mereka saja itu tidak mencukupi.
Salaf mempunyai dua metode sebagaimana kita ambil contoh dalam perkataan dan sikap Ibn Qutaibah ,yang mana beliau adalah madhab hambali, pada satu saat,beliau mengisbatkan sifat2 Allah spti para salaf mengisbatkannya. spt kata beliau ttg yadullah :
"هما اليدان اللتان تعرف الناس"

;keduanya adalah tangan sebagaimana yang di ketahui manusia (Al-Ikhtilaf fil Lafz wal Raddu ‘alal Jahmiah wal Musyabbihah, Ibn Qutaibah al-Dainuri, m.s 41-42, cet. Dar al-Rayah) 

Dan kalau kita menCoba membuka kitab beliau yang lain misal kitab  Takwil Mukhtalif al-Hadith, lalu perhatikan komen-komen Ibn Qutaybah berkenaan hadis-hadis sifat ini. misal ttg hadis “Allah berjalan dan berlari”, “Hajarul Aswad tangan kanan Allah”, “Janganlah engkau mencela masa (dahr) sebab Allah adalah masa”, “aku menemukan nafas Allah dari arah Yaman” dan lain-lain. Maka kita akan lihat beliau mentakwilnya

Cuba juga buka kitab beliau: Takwil Musykil Al-Qur’an. kita akan temukan beliau berkata bahwa lafaz “wajah” dalam bahasa Arab seringkali za’idah (tambahan) dan tidak perlu dimaknai. “Segala sesuatu akan binasa melainkan wajah-Nya”, kata Ibn Qutaybah: “melainkan Dia.” “Kemana engkau berpaling, maka di situ wajah Allah”, maknanya: “di situ Allah.” 

Lafaz “wajah” di dalam ayat ini dan ayat-ayat yang lain hanya tambahan belaka (zai’dah), tanpa ada hakikatnya. lalu bagaimana dengan perkataan ibnu qutaibah sebelumnya yang menyatakan isbat?
Persoalan yang paling utama adalah, benarkah isbat menurut mereka yang isbat dan juga menurut salaf itu suatu pertentangan dengan ta’wil menurut khalaf ketika mereka mentakwil , atau kita sendiri tidak faham dengan makna sebenarnya isbat menurut ulama yang isbat atau menurut salaf dan ta’wil khalaf ketika mereka mentakwil??

Mereka [wahabi] memahami ta’wil tidak seperti yang dimaksudkan oleh para ulama yang mentakwil (dan golongan salafus soleh) dan memahami isbat (menetapkan sesuatu) dengan faham mereka, bukan menurut yang isbat atau menurut salafus soleh itu sendiri.
Misal dalam perkataan ibnu qutaibah:tangan yang kita ketahui" JELAS tidak mungkin di artikan tangan secara yang kita lihat dan kita tau pada diri kita,toh itu jelas tasybih, maksudnya adalah menetapkan lafad yad sebagaimana lafad itu di gunakan pada manusia,tapi maknanya tidak seperti yad yang di idofatkan pada mahluk. Meskipun Wahabi berfikirkan Allah sebagai jisim/tubuh, mereka masih mengatakan tentang sifat Allah itu: "kami tidak tahu bagaimananya." Jadi ini kontradiksi/bertentangan akut....
Benarkah manhaj salafus soleh berbeda dengan manhaj takwil ahlis sunnah khalaof dalam memahami nas-nas mutasyabihat?

dan jika ada perbedaan, benarkah perbezaan tersebut suatu perbedaan yang bertentangan antara satu dengan yang lain?

Marilah kita kaji apakah yang diklaim oleh golongan mutasallif, bahwa golongan Al-Asya'irah ,juga ulama hambali yang mentakwil dan golongan Salafus Soleh saling bertentangan dalam memahami nas-nas mutasyabihat (atau menurut isitilah golongan mutasallif: ayat-ayat khabariyah).


Menurut golongan Mutasallif:

Golongan Salafus Soleh Bermanhaj: Isbat (menetapkan) sifat-sifat mutasyabihat tersebut.

Golongan Al-Asya'irah dan sebagian madhab hambali Bermanhaj: Menta'wilkan sifat-sifat Mutasyabihat tersebut.

Sebenarnya, klaim golongan Mutasallif tersebut tidak bersifat jami' dan mani' (tidak bersifat lengkap dan menyeluruh).

Hakikatnya,karena tidak semua golongan salafus soleh tidak menta'wil ayat-ayat mutasyabihat dan juga tidak semua golongan Al-Asya'irah dan sebagian madhab hambali tidak mengisbatkan sifat-sifat mutasyabihat.

Dengan kata lain, tidak semua manhaj golongan Salafus Soleh mengisbatkan semua ayat-ayat mutasyabihat tanpa menta'wilnya, dan tidak juga semua golongan Al-Asya'irah menta'wilkan ayat-ayat mutasyabihat tanpa mengisbatkannya.

Bahkan, pada hakikatnya, Isbat menurut manhaj salafus soleh tidak berbeda dengan ta'wil menurut Al-Asya'irah, dari segi hakikat, cuma berbeda dari sudut pendekatan saja. Cuma, yang mempermasalahkan antara kedua pihak tersebut adalah golongan ketiga, yaitu golongan mutasallif (konon salafi dari sudut manhaj), karena mereka tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh kedua-dua pihak (salafus soleh dan Al-Asya'irah) dengan isbat dan ta'wil itu sendiri.

Insya Allah, alfaqir penulis akan meluaskan skop perbincangan agar lebih mendekati femahaman yang sebenarnya tentang isbat dan ta'wil menurut sebagian madhab hambali dan Al-Asya'irah dan salafus soleh, berdasarkan kaedah Bahasa Arab itu sendiri, di samping itu, menjelaskan pula perihal dan peranan tafwidh yang menjadi ikatan antara golongan salafus soleh dan Al-Asya'irah yang seterusnya bisa membedakan antara keduanya daripada manhaj mutasallif yang terasing.


Isbat Menurut manhaj Salafus Soleh

Para ulama' salafus soleh yang memahami seluk-beluk Bahasa Arab yang tinggi, serta memahami akan pentingnya manhaj tanzih (menyucikan Allah s.w.t. dari sifat-sifat yang tercela dan kekurangan) dalam aqidah Islamiyah, pasti akan lebih waspada dalam berinteraksi dengan nas-nas yang membicarakan tentang sifat-sifat Allah s.w.t., apatah lagi dalam berinteraksi dengan nas-nas yang menyebut sifat-sifat yang mutasyabihat (kesamaran) dari sudut dhahirnya.

Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam buku beliau (fusulun fil Aqidah) menegaskan bahwa: "(Hakikat Isbat menurut salaf) pada hakikatnya ialah, membiarkan (lafaz) tersebut dengan dhahirnya lafad, dengan menafikan takyiif (keadaan dan bentuk sifat tersebut) serta tamsil (menyamakan sifat tersebut dengan sifat makhluk). (m/s 40).

begitu juga, menurut jumhur ulama' Al-Asya'irah, bahwa golongan salafus soleh bukanlah bermanhaj isbat, tetapi bermanhaj tafwidh dalam masalah mutasyabihat ini (rujuk buku Ibn Taimiyah laisa Salafiyan (Ibn Taimiyah bukan Salafi) karangan Sheikh Mansur Muhammad Uwais).

Jadi, ada dua pendapat ulama' dalam membincangkan tentang manhaj Salafus Soleh dalam berinteraksi dengan ayat-ayat Mutasyabihat.

Pendapat Pertama: Isbat yaitu, menetapkan lafaz dhahir perkataan tersebut.

Pendapat Kedua: Tafwidh yaitu menyerahkan makna lafaz tersebut kepada Allah s.w.t..

Pendapat kedua adalah pendapat majoritas ulama' Islam Ahlus Sunnnah wal Jamaah mengenai Salafus Soleh, termasuk pendapat guru-guru kami seperti Dr. Umar Abdullah Kamil, Sheikh Sa'id Fudah dan sebagainya.

Dr. Al-Qaradhawi sendiri mengatakan bahawa: "Realitasnya, bagi siapa yang membaca karangan para ulama' salafus soleh berkenaan ayat-ayat mutasyabihat tersebut, maka dia akan dapati bahwa, kebanyakkan daripada mereka meninggalkan usaha untuk mendalami makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut, tidak bersusah-payah untuk mentafsirkannya dengan ungkapan apapun. (Ini manhaj tafwidh)

"Perkara ini jelas bahkan, hampir sampai tahap muttafaqun alaih (disepakati oleh ulama') sebelum kelahiran Sheikhul Islam Ibn Taimiyah dan madrasahnya (pemikiran dan manhajnya yang tersendiri)…" (fusulun fil aqidah 40-41)

Jadi, persoalannya, apakah golongan Salafus Soleh itu bermanhaj isbat ataupun bermanhaj tafwidh berkenaan dengan ayat-ayat mutasyabihat.???

Penulis yang faqir berpendapat bahwa:

Kedua pendapat itu betul. karena, isbat menurut salafus soleh dan tafwidh bukanlah dua perkara yang berlawanan, tetapi berbeda dari satu sudut bahasa saja, pada hakikatnya adalah perkara yang sama.

Penjelasannya:

Seperti yang disebutkan oleh Sheikh Dr. Al-Qaradhawi sebelumnya, bahwa, manhaj isbat menurut salafus soleh ialah: "menetapkan lafaz dhahir ayat-ayat mutasyabihat tersebut" itu tidak bertentangan dengan manhaj tafwidh itu sendiri.

Hal ini karena, majoritas golongan salafus soleh sebenarnya menetapkan lafad [perkataan-perkataan] mutasyabihat tersebut, namun tidak menetapkan maknanya secara lughowi (dari sudut bahasa),jadi cuma (isbat lafaz), tetapi menyerahkan makna perkataan yang diisbatkan tersebut kepada Allah s.w.t. (manhaj tafwidh).

Jadi, kita dapat simpulkan bahwa, manhaj salafus soleh dalam masalah ini ialah, isbat lafaz (menetapkan lafad dhahirnya saja) tanpa menetapkan makna lughowi terhadap perkataan tersebut (bukan manhaj isbat ma'na lughowi), di samping menyerahkan maknanya kepada Allah s.w.t. (tafwidh).

Jadi, dapat kita fahami bahwa, mereka isbat dan dalam waktu yang sama juga tafwidh , karena isbat mereka, sekedar isbat lafad, bukan isbat ma'ana lughowi.

Kita beri contoh antara tafwidh, isbat lafad dan isbat ma'na lughowi seperti berikut.

Si A berkata: "Si Bulan masuk ke dalam kedai".

Manhaj isbat lafad ialah ketika seseorang berkata: "Saya percaya dengan kata-kata Si A, bahwa benarlah Si Bulan tersebut masuk ke dalam kedai, tapi Si Bulan tersebut bukanlah bulan yang keluar di waktu malam. tetapi ada makna lain, bukan makna dari sudut bahasa (i
yaitu, bulan yang di atas langit di waktu malam).

Manhaj Tafwidh ialah, ketika seseorang berkata: "Saya percaya dengan kata-kata Si A, tetapi saya serahkan makna sebenarnya perkataan Bulan tersebut kepada si A, kerana dialah yang mengatakan dan mengatahuinya, sedangkan saya tidak tahu makna tersebut.

Manhaj Isbat Ma'na Lughowi ialah, apabila seseorang berkata: "Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa Bulan masuk ke dalam kedai, dan saya tahu makna perkataan bulan tersebut, kerana ia memang makna dari sudut bahasa (yaitu, menurut pandangannya, bahwa si A bermaksud bahwa bulan yang menerangi malam yang masuk ke kedai) tapi cuma saya tak tahu bagaimana bulan tersebut bisa masuk ke dalam kedai.

Maka yang kita dapati adalah, Manhaj Isbat Lafad dan Manhaj Tafwidh adalah dua manhaj yang seiringan karena, manhaj Isbat Lafaz, sekedar menetapkan lafad perkataan tersebut, tetapi menegaskan bahwa, tidak mengetahui akan makna lafad tersebut, sedangkan manhaj tafwidh adalah menyerahkan makna tersebut kepada yang berkata. Jadi, Isbat Lafaz dan Tafwidh merupakan satu manhaj yang selaras.

Tetapi, Manhaj Isbat Ma'na Lughowi inilah yang bertentangan dengan manhaj tafwidh, bahkan manhaj Isbat Ma'na Lughowi ini bukanlah manhaj salafus soleh tetapi manhaj Ibn Taimiyah dan para pengikutnya (yang akan dijelaskan kemudian insya Allah).


Kesimpulannya, tidak ada perbedaan besar antara manhaj Isbat Lafad dengan manhaj Tafwidh, bahkan keduanya sama dalam hakikat pendekatannya dan duanya inilah yang merupakan manhaj majoritas salafus soleh dalam masalah ini. Adapun manhaj Isbat Ma'na Lughowi (menetapkan maknanya dari sudut dhahir) sebenarnya tidak termasuk dalam manhaj salafus soleh, yang akan dibincarakan selepas ini.


Isbat Lafad atau Tafwidh menurut Salafus Soleh dan Ta'wil Al-Asyairah: Apakah Dua Manhaj yang Saling Bertentangan?

Setelah kita ketahui bahwasanya, manhaj majoritas salafus soleh ialah manhaj tafwidh dan isbat lafad (menyerahkan makna perkataan tersebut kepada Allah s.w.t.. Hanya sekedar beriman dengan lafad saja, tanpa memahaminya dengan makna dari sudut bahasa, seperti memahami perkataan Yadd dengan makna tangan), dapatlah kita singkap perbedaan antara manhaj tafwidh dan ta'wil, apakah itu dua perkara yang berbeda, atau sekedar dua pendekatan yang hakikatnya sama?

Sheikh Dr. Al-Buti dalam buku beliau As-Salafiyyah, ketika membahas tentang ta'wil dan tafwidh, dan Sheikh Dr. Al-Qaradhawi dalam buku beliau fusulun fil Aqidah (yang mana keduanya menurut kami, merupakan ulama' yang paling gigih berusaha untuk menyatukan umat Islam, dan semoga Allah s.w.t.membantu mereka), akhirnya membuat kesimpulan bahwa-dengan perkataan Al-Qaradhawi (m/s145)-: "Sesungguhnya, kedua golongan (salafus soleh dan Al-Asya'irah/khalaf) pada akhirnya (pada hakikatnya-setelah diperincikan dan dikaji dengan teliti-sebenarnya menta'wil (ayat-ayat mutasyabihat) tersebut. Cuma, golongan salafus soleh menta'wilnya dengan ta'wil ijmali (ringkas) sedangkan golongan khalaf (Al-Asya'irah) menta'wilnya dengan ta'wil tafsili (terperinci)."

Mengapa menurut Dr. Al-Qaradhawi dan Al-Buti, bahwasanya manhaj salafus soleh juga pada hakikatnya suatu manhaj ta'wil tetapi dalam bentuk ijmali(ringkas)?

Hal ini karena, manhaj tafwidh yang menjadi manhaj majoritas para salafus soleh dalam waktu yang sama,adalah manhaj ta'wil (memalingkan makna suatu lafaz dari makna asal menurut bahasa), Cuma, manhaj tafwidh tidak memberikan ta'wilan (makna lain) kepada lafaz tersebut, walaupun pada hakikatnya sama memalingkan makna perkataan tersebut dari makna asal secara sudut bahasa.

"Yadd Allah bukanlah suatu anggota yang yang berjuz-juz, yang berbentuk, dan sebagainya. Hanya Allah s.w.t. yang mengetahui makna yadd tersebut."

Jadi, para salafus soleh, dengan manhaj demikian (tafwidh) juga menolak makna perkataan yadd tersebut dengan maknanya dari sudut bahasa (yaitu suatu anggota/organ yang berjuz …), yang mana, penolakan terhadap maknanya dari sudut bahasa tersebut,itu juga merupakan manhaj ta'wil secara tidak langsung. Bedanya dengan manhaj ta'wil tafsili Al-Asya'irah, adalah golongan Al-Asya'irah memberi makna lain (ta'wil) kepada lafaz tersebut, sedangkan majoritas golongan salafus soleh tidak memberikan ta'wil tersebut, namun kedua golongan sepakat bahwa, lafaz tersebut (seperti contoh yadd Allah) maksudnya bukanlah dengan cara sudut bahasa dan keduanya berusaha memalingkan manusia daripada memahaminya dari sudut bahasa (dan inilah hakikat ta'wil)!

Golongan salafus soleh memalingkan (ta'wil) manusia daripada menetapkan makna perkataan-perkataan mutasyabihat dengan menafikan maknanya dari sudut bahasa seperti perkatanya: "yadd bukan suatu bagian anggota zat atau tubuh" sedangkan Al-Asya'irah juga memalingkan (ta'wil) manusia dariapda menetapkan makna perkataan mutasyabihat dengan memberi makna lain kepada perkataan tersebut, dengan kaedah majazi dalam Bahasa Arab yang telah kita perbincangkan sebelumnya, yang mana, makna lain tersebut mesti sesuai dengan kaedah kiasan (majazi) dan makna Bahasa Arab itu sendiri, seperti menta'wilkan Yadd dengan kekuatan dan kekuasaan. Ini karena, dari sudut Bahasa Arab sendiri, tangan bisa juga dikiaskan atau menjadi perumpamaan bagi kekuasaan seperti seseorang berkata: "Seluruh negara ini dalam tanganku" bererti dalam kekuasaan dan dalam miliknya.

Kesimpulannya, tafwidh itu sendiri adalah suatu ta'wilan karena memalingkan makna asalnya dari sudut bahasa kepada suatu makna lain yang mana hanya diketahui oleh Allah s.w.t.. Jadi, tidak berlaku pertentangan antara golongan salafus soleh yang bermanhaj tafwidh dalam hal ini dengan golongan Al-Asya'irah yang bermanhaj ta'wil dalam hal ini, karena keduanya berkaitan dengan dua pendekatan yang berbeda namun pada hakikatnya satu manhaj yang sama (yaitu ta'wil itu sendiri).


Persoalannya: Kenapa Golongan Al-Asya'irah dan sebagian kholaf madhab hambali misal ibnu qutaibah Memberi Ta'wil sedangkan Golongan Salafus Soleh hanya Sekedar Tafwidh (Tidak Memberi Makna Lain)

Kepada persoalan ini, kita perlu bertanya kepada mereka yang mempersoalkannya, bahwa: "benarkah dakwaan anda, bahwa golongan Salafus Soleh sekadar Tafwidh saja dan tidak ada dalam kalangan mereka (Salafus Soleh) yang memberi ta'wil?

Dan, benarkah klaim anda, bahwa semua golongan Al-Asya'irah dan kholaf madhab hambali Memberi Ta'wil dan tidak ada dari kalangan mereka yang bermanhaj Tafwidh?

Insya Allah, kami akan jawab persoalan tersebut terlebih dahulu, sebelum menjawab dua persoalan yang seterusnya.

Majoritas golongan Al-Asya'irah dan sebagian kholaf madhab hambali yang hidup di zaman di mana umat Islam semakin bertambah, bahkan banyak orang-orang bukan Arab memeluk Islam, maka di kala itu, banyak budaya-budaya dan pengaruh asing mulai masuk ke dalam umat Islam. Maka, timbullah falsafah-falsafah luar yang menggugat institusi aqidah islamiyah dalam umat Islam, khususnya bagi umat Islam yang bukan dari orang-orang Arab.

Dengan pertemuan antara bukan Arab dengan orang-orang Arab, sehingga memaksa umat Islam bukan Arab bertanya tentang banyak persoalan-persoalan yang baru, yang timbul hasil dari pertemtemuan dan campur baur tersebut. Bahkan, orang-orang A'jam (bukan Arab) juga tidak mampu menguasai Bahasa Arab dengan baik,dengan lantaran itu, mereka tidak mau memahami ungkapan-ungkapan dalam Al-Qur'an dengan baik

Hal ini lebih parah lagi, bila orang-orang awam Islam yang berbangsa A'jam berinteraksi dengan ayat-ayat mutasyabihat ini, di mana mereka hampir-hampir terjerumus ke dalam faham Tasybih (menyerupakan sifat-sifat Allah s.w.t. dengan sifat-sifat makhluk), karena kedangkalan mereka dalam memahami kaedah Bahasa Arab dan Kesusasteraannya yang tinggi.

Hal ini memaksa ulama'-ulama Islam Al-Asya'irah atau Khalaf, membuat satu pendekatan yang lebih mudah yaitu, dengan memberi ta'wil kepada ayat-ayat mutasyabihat tersebut dengan makna lain, yang sesuai dengan kaedah Bahasa Arab itu sendiri, karena pendekatan tafwidh tidak lagi dapat difahami oleh kebanyakkan golongan A'jam, karena kelemahan mereka dalam menguasai Ilmu Bahasa Arab terutamanya ilmu Majaz (kiasan).

Tetapi pada Hakikatnya, tidak semua golongan Al-Asya'irah menggunakan pendekatan ta'wil tetapi, banyak juga dari kalangan mereka yang akhirnya kembali kepada manhaj tafwidh. Mereka berinteraksi dengan golongan awam sesuai dengan kondisi mereka. Kalau golongan awam tersebut berbangsa Arab, yang memahami kaedah Majaz, maka para ulama' Al-Asya'irah tersebut akan menggunakan pendekatan tafwidh. Adapun bagi golongan awam yang tidak mempnyai dasar ilmu Bahasa Arab yang tinggi, maka mereka akan menggunakan pendekatan ta'wil yang sesuai dengan aqidah Islamiyah dan kaedah Bahasa Arab itu sendiri.

Hakikat yang tidak dapat dinafikan juga, adalah adanya sebagian dari kalangan salafus soleh ikut menggunakan pendekatan ta'wil bagi ayat-ayat mutasyabihat tertentu, karena ia lebih sesuai pada keadaan tersebut. Jadi, tidaklah semua ulama' salafus soleh tafwidh semata , karena ada juga dari kalangan mereka yang menta'wil ayat-ayat mutasyabihat, dan ada juga yang kadang-kala tafwidh dan kadang-kala ta'wil ayat-ayat tersebut, sesuai dengan konteks ayat itu sendiri.

Salaf adalah orang-orang yang menguasai bahasa Arab zauqan wa ma"nan. Oleh karena itu, mereka mengetahui pentingnya siyaq [rangkaian kalimat] dalam menentukan makna lafaz. Sebuah lafaz seringkali berubah maknanya apabila diletakkan dalam siyaq yang berbeda.

Ana ambil contoh dari bahasa kita agar mudah dipahami. Lafaz “tangan dan kaki” misalnya berbeda makna jika ia berada dalam siyaq yang berbeda. Kedua kata ini di dalam siyaq: “Saya memegang dengan tangan, berjalan dengan kaki,” maknanya berbeda dengan ucapan: “Selain kaki tangan dilarang masuk.” Hanya orang tak sadar saja yg mengatakan kedua kata ini di dalam kedua siyaq ini mengandungi makna yg sama. 

Bahasa Arab jauh lebih luas balagahnya daripada bahasa lain, dan ulama salaf kita menyadari fakta ini. Salaf memang tidak menyebut ketika ada perbedaan siyaq dengan istilah majaz atau takwil, sebab ilmu balaghah belum berkembang pada masa mereka seperti ilmu-ilmu keislaman yang lain. Namun sebagai orang Arab, mereka merasakan adanya perbezaan makna akibat perbedaan siyaq ini. 


“Mazhab salaf dalam hal ini memang jelas”, sekali lagi saya setuju. Mazhab ini sangat jelas dipahami oleh para ulama kita, tapi belum tentu jelas untuk kebanyakan daripada kita. 

Apa yang kita fahami belum tentu sama seperti yang mereka fahami. Oleh itu, pemahaman kita mesti selalu disahihkan dengan pemahaman mereka, bukan pemahaman mereka yang mesti selalu diluruskan dengan pemahaman kita. Mereka ulama, sedang kita tak layak walau hanya disebut talib ‘ ilm.


Kesimpulan Jadi, jika seseorang menukilkan perkataan ulama kholaf apakah dari madhab hambali atau pun dari salafus soleh: bahwa kita mengisbatkan seluruh sifat-sifat Allah s.w.t. yang disifati oleh Allah s.w.t. termasuk sifat-sifat mutasyabihat, seperti Wajh, Yadd dan sebagainya tanpa takyiif (membicarakan keadaannya)…” bukan berarti ini manhaj isbat Ibn Taimiyah.

hal Ini karena, para salafus soleh, takkala menegaskan bahwa, kita perlu mengisbatkan sifat-sifat mutasyabihat tersebut,maksudnya bukan mengisbatkan maknanya dari sudut bahasa, tetapi sekadar mengisbatkannya dari sudut lafaz, seperti yang dibicarakan sebelum ini.

Adapun perkataan para ulama’ salaf pada perkataan: “tanpa takyiif” setelah mengisbatkan sifat-sifat mutasyabihat tersebut, jelas maksudnya adalah bahwa maknanya tidak diketahui oleh mereka, dan tidak pula di fahaminya dari sudut bahasa seperti Ibn Taimiyah, karena tanpa takyiif dalam istilah mereka, sama seperti: “tanpa memahaminya dari sudut bahasa”.

Lihatlah sendiri contoh perkataan Al-Baihaqi, di mana baliau berkata pada tajuk-tajuk dalam buku beliau, contohnya: bab isbat sifat wajh Allah s.w.t., kemudian beliau mensyarah dengan demikian: “namun, itu bukanlah satu bentuk anggota”, sedangkan makna wajh dari sudut bahasa ialah satu bentuk anggota/organ. Jadi, isbat menurut salafus soleh bukanlah isbat seperti dakwaan Ibn Taimiyah, kerana isbat salafus soleh semata-mata menetapkan lafaz kalimah tersebut, tanpa memahaminya dengan makna perkataan tersebut dari sudut bahasa, sedangkan Ibn Taimiyah menetapkan makna perkataan tersebut dari sudut bahasanya.

Tafwidh jenis inilah yang disalah sangka oleh sebagian pengikut Ibn Taimiyah dengan mengklaim bahwa, golongan salafus soleh bermanhaj isbat, bukan tafwidh, sedangkan pada hakikatnya, golongan salafus soleh bermanhaj tafwidh, walaupun ada sebagian dari kalangan mereka seolah-olah menggunakan istilah “isbat”. Isbat menurut mereka sekedar mengakui sifat Allah s.w.t. yang mutasyabihat tersebut dari sudut lafaznya saja, tanpa memahami lafaz yang di lalui tersebut. Sedangkan, Ibn Taimiyah mengklaim bahwa golongan salafus soleh memahami maknanya dari sudut bahasa.
ADAPUN ULAMA ketika bersikap mentakwil,maka alasannya sudah di sebutkan di atas...

Terakhir, ana mau meyakinkan semuanya, para ulama dari dua kelompok atau yang melakukan dua metode [isbat dan takwil] hanya dalam keadaan berbeda dalam pendekatan dan metode,juga beda dalam keadaan orang yang di ajak bicaranya, bukan berbeda dalam tujuan dan maksud. Itu yang ana katakan di akhir. Dan ana telah jelaskan alasannya di atas.

Benarlah ucapan yang sangat indah ditulis oleh Al-Hafiz Al-Zahabi dalam Siar A’lam Al-Nubala, di tarjamah Abul Hasan Ali bin Muhammad Al-Asya’ari:

رأيت للاشعري كلمة أعجبتني وهي ثابتة رواها البيهقي، سمعت أبا حازم العبدوي، سمعت زاهر بن أحمد السرخسي يقول: لما قرب حضور أجل أبي الحسن الاشعري في داري ببغداد، دعاني فأتيته، فقال: أشهد على أني لا أكفر أحدا من أهل القبلة، لان الكل يشيرون إلى معبود واحد، وإنما هذا كله اختلاف العبارات.
قلت: وبنحو هذا أدين، وكذا كان شيخنا ابن تيمية في أواخر أيامه يقول: أنا لا أكفر أحدا من الامة، ويقول: قال النبي صلى الله عليه وسلم: لا يحافظ على الوضوء إلا مؤمن ، فمن لازم الصلوات بوضوء فهو مسلم .


Aku melihat al-Asy’ari memiliki ucapan yang aku kagumi. Dan (ucapan itu) sahih, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi: Aku mendengar Abu Hazim al-Abdawi berkata, aku mendengar Azhar bin Muhammad berkata: “Apabila tiba ajal Abul Hasan Al-Asy’ari di rumahku di Baghdad, beliau memanggilku. Beliau berkata: Saksikanlah bahawa aku tidak mengkafirkan seorangpun ahli kiblat, sebab semua mengisyaratkan kepada sesembahan yang satu, dan terjadinya ini semua hanyalah perbedaan dalam ucapan saja.” (perhatikanlah kalimat: sebab semua ... dst). 
Aku berkata (yakni Al-Dzahabi): “Seperti inilah peganganku, begitu juga pegangan guru kami Ibn Taymiah di akhir-akhir hayatnya. Beliau berkata: aku tidak mengkafirkan satu orangpun daripada umat. Nabi Saw bersabda: barangsiapa yang menjaga wuduk, maka ia mukmin. Maka barangsiapa yang menjaga solat-solatnya dengan wuduk, maka ia muslim.”



Semoga Allah menunjuki kita kepada pemahaman yang lebih mendalam bagi manhaj salaf dan metod ahli hadis mutaqaddimin, dan mempraktikkan adab-adab mereka dalam ucapan dan perbuatan. Amin ya rabbal alamin......

DiNuqilkan Oleh : Bagus Rangin ~ Kertajati-Majalengka

pucukpucuk Agan sedang membaca artikel tentang: Mengkompromikan antara manhaj isbat dan takwil. Silakan agan copy dan paste atau sebarluaskan artikel ini jika dinilai bermanfaat,Ane juga menyediakan buku terjemahan kitab yang membantah wahabi: 1. buku "bid'ah mahmudah dan bid'ah idhafiyah antara pendapat yang membolehkan dan yang melarang" terjemah dari kitab: albid'atul mahmudah wal bid'atul idhafiyah bainal mujiziina wal maniin" karya Syaikh abdul fattah Qudais Al Yafi"i, 2.Terjemah kitab ‘At Tabaruk Bi As Sholihin Baina Al Muzijiin wa Al Maani’in: Mencari Keberkahan Kaum Sholihin Antara Pendapat yang Membolehkan dan yang Melarang, hub admin: hp/WA 0857-5966-1085.syukron :

*** Dapatkan buku terjemah disini ***

Share this article :

+ komentar + 25 komentar

5 Oktober 2012 pukul 11.06

mohon pencerahannya...
orang Salafi/Wahabi sering mengkritik kita dlm memahami Tauhid Asma wa Shifat.

ane pribadi mengikuti sifat 20 dan tafwidh ala Salaf...itsbat lafdzhi, tafwidh ma'naa , bilaa kaifa. bukan itsbat ala salafi yg itsbat lafdhzhi, itsbat ma'naa tafwidh kaifa (kaifa ada tapi ditafwidhkan).

namun orang Salafi/Wahabi sering berkata metode itu salah atau kurang tepat.

Terutama mereka dlm mengcounter madzhab kita....sering menjelaskan dgn metodologi tertentu, seperti yg dideskripsikan di link berikut:

http://suhecrj.blogspot.com/2011/05/bissmillah-berikut-penjelasan-akhir.html ,

dan juga di:
http://alarysi.wordpress.com/apa-kata-mereka/
http://alarysi.wordpress.com/2010/12/13/kaidah-pertama/
http://alarysi.wordpress.com/2010/12/13/kaidah-kedua/
http://alarysi.wordpress.com/2010/12/13/kaidah-ketiga/
http://alarysi.wordpress.com/2010/12/12/penganta-
keempat/

penjelasan tsb sering dianggap ilmiah/syar'i oleh banyak orang awam, dan akhirnya diikuti. dan menganggap tafwidh ala Salaf (bukan Salafi) atau Takwil itu bermasalah, kurang/tidak syar'i.

ini andalan mereka utk menolak Sifat 20 dan metodologi Asy'ariyah. Terlebih dlm Sifat Kalam, yaitu Al-Quran adalah Kalam Allah dlm bentuk huruf dan suara.

mohon pencerahannya.
ane tdk mahir ilmu aqidah seperti ini.
dan ane lihat antum mahir ilmu ini.
sekali lagi mohon pencerahannya.

Jazaakalloohu Khoiron Katsiiron.
Wassalam - Nugon

5 Oktober 2012 pukul 17.25

BACA DI SINI
http://singkirkankepalsuan.blogspot.com/2012/08/tafwidh-apa-itu-tafwidh-pembahasan-dan_6.html

DAN INI:
http://singkirkankepalsuan.blogspot.com/2012/08/tafwidh-apa-itu-tafwidh-pembahasan-dan_7.html

5 Oktober 2012 pukul 17.27

DAN INI:
PENOLAKAN ATAS KAEDAH- KAIDAH SIFAT VERSI SALAF IBNU TAEMIYAH=>
http://singkirkankepalsuan.blogspot.com/2012/06/penolakan-atas-kaedah-kaidah-sifat.html

5 Oktober 2012 pukul 17.31

JIGA DI
http://singkirkankepalsuan.blogspot.com/2012/05/sebagian-kelicikan-taimiyyun-untuk.html

8 Oktober 2012 pukul 16.54

Terima kasih.
saya coba baca ulang lagi.
nanti bila ada yg kurang jelas, saya tanya lagi.
sekali lagi terima kasih.
Jazaakalloohu Khoiron Katsiiron.
Wassalam - Nugon

8 Oktober 2012 pukul 17.03

Terima kasih atas informasinya.
saya coba baca ulang lagi, siapa tahu bisa memahami titik temu dan titik bedanya, serta bisa mengkoreksi pemahaman yg kurang tepat dari artikel salafi.

nanti kalau ada yg tdk jelas,
saya akan tanya lagi.
mohon maaf bila nanti merepotkan.
saya hanya ingin pencerahan, supaya bisa menghilangkan syubhat dan kemusykilan dari penjelasan yg ada syubhat tajsim dari salafi tsb.

sekali lagi terima kasih.
Jazaakalloohu Khoiron Katsiiron.
mohon maaf bila kurang berkenan.
Wassalam - Nugon

8 Oktober 2012 pukul 19.30

ane masih bingung dgn statement di http://alarysi.wordpress.com/2010/12/12/pengantar-keempat/ , karena ane ummiy dan jahil Bhs Arab.

benarkah klaim mereka utk kalimat:
"Alloh Ta’ala berfirman : “Dan Alloh benar-benar telah bicara kepada Musa”. (QS. An Nisa : 164). Kata kerja “Kallama” dalam ayat ini dikuatkan dengan masdar “takliiman”, ini sebagi dalil bahwa Alloh Ta’ala Alloh berbicara kepada Musa secara hakikat. Abu Ja’far An Nuhas (w.338) berkata : (وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا) Masdar mu’akad, ahli nahwu sepakat jika kata kerja (fi’il) dikuatkan dengan masdar ia bukanlah majaz. Demikian pula tatkala membahas (takliiman), dan wajib menjadikan kalam secara hakikat dari kalam yang dipahami”. (I’rob al Qur’an, Abi Nuhas 1/507)."

8 Oktober 2012 pukul 19.32

dan penjelasan di http://suhecrj.blogspot.com/2011/05/bissmillah-berikut-penjelasan-akhir.html sbb:

d. Wajib beriman dengan nama-nama Alloh Ta’ala : Beriman Dengannya, dengan kandungannya (sifat) dan atsarnya yang muta’addi[8].
Penjelasan Kaidah :
Kita telah mengetahui bahwa nama-nama Alloh Ta’ala mengandung sifat-sifat yang sempurna dari segala sisi. Akan tetapi, sifat-sifat tersebut ada dua jenis jika ditinjau dari muta’addi dan tidaknya.
Ibnu Utsaimin rohimahulloh (Qowa’idul Mutsla beserta syarahnya [Al-Mujalla], h. 87) berkata : “Kaidah ke tiga : Nama-nama Alloh Ta’ala jika menunjukan kepada sifat yang muta’addi, maka mengandung tiga perkara :
Penetapan nama tersebut bagi Alloh ‘Azza wa Jalla.
Penetapan sifat yang terkandung di dalam nama tersebut bagi Alloh ‘Azza wa Jalla.
Dan penetapan hukum dan konsekwensinya.
Beliau rohimahulloh (h. 88) berkata : … diantara contohnya adalah : “As-Sami (Yang Maha Mendengar)” : Ia mengandung :
Menetapkan As-Sami sebagai nama bagi Alloh Ta’ala.
Menetapkan as-Sam’u sebagi sifat bagi-Nya
Dan menetapkan hukum dan konsekwensinya bahwa ia mendengar suara yang pelan dan bisik-bisik. Sebagaimana firman Alloh Ta’ala :“Sesungguhnya Allah Telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat [1461]“. (QS. Al-Mujadilah : 1).
Jika (nama tersebut) menununjukan kepada sifat yang tidak muta’addi[9] maka mengandung dua perkara :
Penetapan nama tersebut bagi Alloh ‘Azza wa Jalla.
Penetapan sifat yang terkandung di dalam nama-nama itu bagi Alloh ‘Azza wa Jalla.
Contohnya seperti “Al-Hayyu (Yang Maha Hidup)” mengandung:
Penetapan Al-Hayyu sebagi nama bagi Alloh
Dan penetapan sifat Al-Hayat (kehidupan) bagi Alloh ‘Azza wa Jalla. Selesai.

[8] Fi’il Muta’addi : Ia adalah fi’il (kata kerja) yang membutuhkan subjek (fa’il)\pelaku yang melakukan pekerjaan itu dan juga membutuhkan objek (maf’ul bih)\penderita yang dikenakan kepadanya pekerjaan tersebut. Di dalam istilah bahasa Indonesia disebut dengan kata kerja transitif, sedangkan kata kerja yang tidak membutuhkan objek penderita dinamakan kata kerja intransitif (Fi’il Lazim).
[9] Yakni lazim\transitif.

8 Oktober 2012 pukul 19.37

ane bingung...ini salah ane ummiy, tdk ngerti Bhs Arab =(

menurut kaidah tafwidh dan dalil Laysa Kamitslihi Syai-un serta Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad....mestinya tdk selalu keterangan fi'il (kata mereka adalah sifat fi'liyah) dimaknai sesuai dgn dzhohir lafadznya.

namun mereka menyatakan bhw Al-Quran itu adalah dlm Bhs Arab yg nyata, jadi harus pakai kaidah Bhs Arab, kalau fi'il muta'addi, dan fi'i yg dikuatkan dgn mashdar, harus dimaknai secara hakikat dlm artian dzhohir lafadznya.

di sisi lain, Allah menyatakan ada takwil.

Bagaimana mengcounter mereka, dan mengkompromikan hal tsb?

karena dari yg ane baca di http://singkirkankepalsuan.blogspot.com/2012/05/sebagian-kelicikan-taimiyyun-untuk.html , http://singkirkankepalsuan.blogspot.com/2012/06/penolakan-atas-kaedah-kaidah-sifat.html , http://singkirkankepalsuan.blogspot.com/2012/08/tafwidh-apa-itu-tafwidh-pembahasan-dan_6.html .... semuanya blm menyentuh/membahas langsung masalah nahwu ini.

mohon pencerahannya.
mohon maaf bila kurang berkenan.
Jazaakalloohu Khoiron Katsiiron.
Walloohu a'lam bis-showab.
Wassalam - Nugon

8 Oktober 2012 pukul 19.55

tambahan lagi...apa benar hadits ini jadi dalil Allah berbicara dgn kaif, dgn suara dan huruf:

<<>>

afwan ane ndak dpt teks Arabnya.

(dikutip dari http://alarysi.wordpress.com/2010/12/12/pengantar-keempat/ )

lalu apa makna atau definisi dari kata sifat di Bhs Arab?
apa benar sifat bisa dzatiyah dan fi'liyah, apalagi bila dikaitkan dgn Allah, sebgm kutipan dari http://suhecrj.blogspot.com/2011/05/bissmillah-berikut-penjelasan-akhir.html berikut:

<<<2) Sifat salbiyah; yakni manfiyah.
Makna Sifat Salbiyah; Yakni Manfiyah bagi Alloh Ta’ala : Sifat yang Alloh Ta’ala nafikan dari diriNya dalam kitabNya, atau yang telah dinafikan oleh lisan Rosul-Nya sholallohu ‘alaihi wa sallam[13].
b. Pembagian sifat ditinjau dari keterkaitannya dengan Dzat dan perbuatan-Nya.
1) Sifat dzatiyah. Ia adalah suatu sifat yang Alloh Ta’ala senantiasa disifati dengan sifat tersebut, seperti al ilmu, al qudroh, al hayat, as sam’u, al yadain dan selainnya.
2) Sifat fi’liyah. Ia adalah sifat yang berkaitan dengan masyi-ah, jika Dia menghendaki maka mengerjakannya dan jika tidak menghendaki maka tidak mengerjakannya. Seperti sifat al maji, an nuzul, al godhob, al farhu, ad dohik dan yang selainnya, sifat-sifat seperti di atas disebut pula dengan sifat ikhtiyariyah.
Perbuatan Alloh Ta’ala terbagi dua :
Laazimah, seperti istiwa, an nuzul, al ityan dan yang semisalnya.
Muta’adiyah, seperti al kholqu, al I’tho dan semisalnya.
Sifat fi’liyah ditinjau dari keberadannya pada Dzat disebut sifat dzatiyah, sedangkan ditinjau dari keterkaitannya dengan sesuatu yang timbul darinya; perkataan dan perbuatan maka disebut sifat af’al. sebagi contohnya sifat kalam, ia ditinjau dari poko pangkal sifat tersebut termasuk sifat dzatiyah, sedangkan bila ditinjau dari satuan kalam itu sendiri maka termasuk sifat f’il. Dari sini kita akan memahami istilah qodimu an nau hadisul ahad.>>>

8 Oktober 2012 pukul 20.09

tambahan terakhir (maaf bila kurang berkenan...karena ane ingin mendapat pencerahan, dan ingin mengcounter pemahaman yg ada syubhat tajsim, namun ilmu dan pemahaman masih cetek, jadi butuh pencerahan):::

mereka selalu berargumen sbb di http://suhecrj.blogspot.com/2011/05/bissmillah-berikut-penjelasan-akhir.html , yakni:

<<>>

katanya mengacu kpd logika sifat mengikuti yg disifati, dan dalil Laysa Kamitslihi Syai-un serta Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad.

apa benar dalil logika tsb? apa ada dalil di nahwu shorof yg membenarkan?

ane terus terang merasakan ada syubhat tajsim pd penjelasan tsb. kayak benar...tapi kok dlm hati ada rasa seolah menyamakan dgn makhluk.

sehingga ane berpegang kpd tafwidh ma'na dan tanzih - mensucikan dari kaifa, karena itu pegangan salaf yg benar.

di artikel yg Ustadz sampaikan, menurut ane, blm tuntas membahas masalah ini. masih ada celah utk Salafi berkelit.
mohon pencerahannya.
mohon maaf bila kurang berkenan.

Walloohu a'lam bis-showab.
Wassalam - Nugon

8 Oktober 2012 pukul 20.12

BENAR ALLAH BERBICARA secara hakikat toh allah punya sifat kalam..namun berbicaranya allah bukan dengan huruf dan suara,dan apabila kita di buka hijab kita dapat mendengar kalamnya dan walau bukan dgn huruf tetap kita akan faham dgn femahaman darinya....untuk tambah wawasan baca di:
http://singkirkankepalsuan.blogspot.com/2012/01/kalam-allah-bukan-dengan-huruf-dan.html

8 Oktober 2012 pukul 20.15

we

8 Oktober 2012 pukul 20.15

maaf, kelupaan teks hadits yg jadi dalil Salafi menyatakan Allah berbicara dgn suara dan huruf:

>>>Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sebagaimana Alloh Ta’ala berfirman : “Ya Adam”, dan Adam menjawab : “Aku memenuhi panggilanMu, maka Bahagia namaMu”, Alloh menyeru dengan suara, ‘Sesungguhnya Alloh menyuruhmu untuk mengeluarkan dari anak keturunanmu satu utusan ke Neraka”. (HR. Bukhori [9/377], Muslim [1/201]).
Dalam hadits ini ada penetapan perkataan bagi Alloh, dan panggilan kepada Adam. Dan bahwasanya ia merupakan panggilan secara hakekat dengan suara.<<<

8 Oktober 2012 pukul 20.18

benar fiil mutaadi ada fiil lazim [tidak mutaadi...yang mutaadi memiliki obyek,misal mendengar maka ada yg di dengar...dst,cuma terkadang dalam fikiran kita terbayang bahwa allah mendengar kaya kita memiliki alat telinga dst..ini muncul karena kita cuma mengetahui dari apa yg telah di indra yakni mendengar dengan telinga dst apadahal allah tidak bisa di gambarkan

8 Oktober 2012 pukul 20.23

betul bahasa arab nyata bagi orang yang faham sastra arab..dalam bahasa arab juga ada majaz,maka terkadang satu lafad beda makna ketika ada pada rangkaian kalimat berbeda..misal kata tangan dalam contoh kata: tangan saya,dan dalam cintoh: ringan tangan,itu beda makna...
yang jelas kaidah siapa yg mengharuskan memahami semua nas secara dohir??? padahal allah menjelaskan ada muhkam dan mutasyabih lihat al imron 7

8 Oktober 2012 pukul 20.34

tentang suara allah baca bantahannya di:
http://singkirkankepalsuan.blogspot.com/2012/04/diskusi-sifat-kalam-dan-tentang-hadis.html

adapun tentang pembagian sfat filiyah,itu pembagian dari ijtihad mereka saja...toh gada salaf yg menyatakan itu terbagi pada sifat masyiah dan ihtiyariyah..apapun pembagian mereka,yg jelas sifat sifat ityan,maji, nuzul itu adalah mutasyabih yg mesti tafwid...baca:
http://singkirkankepalsuan.blogspot.com/2012/04/diskusi-tentang-tafwid-tafwid-makna.html

8 Oktober 2012 pukul 20.45

tentang imam syafii tidak belajar ilmu kalam,penjelasannya baca :
http://singkirkankepalsuan.blogspot.com/2012/04/ternyata-imam-syafii-itu-fakar-ilmu.html

kmemang awalnya imam syafii tidak membahas dgn ilmu kalam karena guru pbeliau adalah Imam Malik yang tinggal di Madinah, di mana tidak berhadapan dengan krisis femahaman yang sangat rumit di banding di tempat-tempat yang lainnya. Maka, Imam Malik bersikap menjauhi pembahasan-pembahasan mendalam dan terperinci dalam masalah aqidah. adapun Imam As-Syafi'e yang berguru pada Imam Malik juga mempunyai pendekatan yang sama dengan Imam Malik. Namun, setelah beliau mempelajari manhaj Ar-Ra'yi dari kedua murid Imam Abu Hanifah, maka, Imam As-Syafi'e juga terlibat dalam berdebat dengan beberapa golongan yang sesat dalam masalah aqidah dengan pembahasan yang agak mendalam. Namun, beliau tidak menyusun suatu pembahasan lengkap dalam bidang aqidah tetapi lebih dalam bidang fiqh.

8 Oktober 2012 pukul 20.47

tentang fiqh akbar imam syafii baca:
http://singkirkankepalsuan.blogspot.com/2012/04/aqidah-imam-syafii-ra.html

8 Oktober 2012 pukul 21.08

tentang hadis itu udah di bantah dalam tautan :http://singkirkankepalsuan.blogspot.com/2012/04/diskusi-sifat-kalam-dan-tentang-hadis.html

8 Oktober 2012 pukul 21.18

ada tasybih ada tamsil,kalau tasybih menyerupakan tapi beda bentuk,kalau tamsil menyerupakan persis dalam bentuknya..dalam ayat laesa lamislihi syaiun itu ada adat tasybih yaitu kaf lafad ka ,dan juga ada lafad misli...maka tasybih dan misil itu di nafikan dari allah dengan adanya laesa ...maka ungkapan tangan tidak seperti tangan itu salah itu masih tasybih

8 Oktober 2012 pukul 21.22

wa alaikum salam ya sama 2 makasih juga...n makasih atas kunjungannya.........

8 Oktober 2012 pukul 21.31

DAN MAAF JUGA BLOG ANA MASIH BANYAK KEKURANGAN..toh emang ana masih faqir ilmu...mungkin orang yg kebih alim dari ana yg insyaalah bisa menyempurnakannya di bolog2 mereka yg lebih alim

10 Oktober 2012 pukul 19.58

ane ringkas jawaban Ustadz dan juga dari rujukan referensi yg diberikan (dikoreksi kalau salah):

# dlm kaidah bhs Arab, dimaknai secara Hakikat belum tentu identik atau sama dgn memaknai menurut Dzhohir kalimat.

Bisa saja dimaknai secara Hakikat menurut konteks kalimat, menurut yg entitas yg disifati/diterangkan....menurut keinginan/kehendak dan kepatutan dari entitas yg disifati/diterangkan.

konsep ini diterapkan dlm sifat fi'liyah terutama yg memakai fi'il muta'addi, dan fi'il yg diikuti mashdar.

# Al-Quran dan Hadits disampaikan dlm Bhs Arab, sehingga harus memakai kaidah Bhs Arab dlm memahaminya, dan ditafsirkan dgn sesama ayat Al-Quran dan Hadits yg Muhkamat.

#dlm kaidah Bhs Arab, mengakomodir Takwil.

# dan Takwil bukan Ta'thil.
tdk ada kaidah Bhs Arab yg menyamakan Takwil dgn Ta'thil.

# Tafwidh dilakukan hanya pd sifat Khobariyah yg bisa mengarah kpd pemahaman tasybih - menyamakan dgn makhluk dlm bentuk/kaifiyat yg beda, atau pun tamtsil - menyamakan persis dgn makhluk...yg ujungnya bisa tajsim.

# Tafwidh Ma'na , Tanzih dari Kaifa (bila Kaifa)...itu pegangan mayoritas Salaf utk sifat Khobariyah yg bisa mengarah kpd pemahaman tasybih dan tamtsil. Cth kasus: Istawa, Yadd, Wajh, dsb.

# Tafwidh dlm artian "meraba" makna, diitsbatkan ma'nanya, namun tetap Tanzih dari Kaifa (Bila Kaifa) dilakukan pd sifat ma'nawi. Cth kasus: Sifat Melihat, Mendengar, Marah, Murka, dsb. Karena Sifat Ma'nawi dlm Bhs Arab, tdk membawa konsekuensi kpd keharusan ada jisim, tdk harus membawa konsekuensi pd Kaifa (modality).

# Hakikat Sifat Ma'nawy tsb hanya Allah yg tahu, manusia hanya meraba atau mendapatkan "pemahaman dangkal" dari keterangan Sifat Ma'nawy tsb. Dan sekali lagi dipahami Bila Kaifa, dan tanpa jism.

# adanya Sifat Khobariyah, terutama terkait Sifat Fi'liyah, seperti orang beriman bisa melihat Allah di hari kiamat kelak, Allah berdialog dgn makhluk, dsb...bisa terjadi sesuai dgn kehendak dan kuasa Allah, namun diimani terjadi Bila Kaifa (tanpa modality).


kesimpulan tsb merujuk dari penelaahan QS Ali Imron ayat 7 tentang ayat mutasyabihat dan takwil, lalu Laysa Kamitslihi Syai-un, Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad, Fa'alul Lima Yurid, La Tudrikuhul Abshor, Innamaa Amruhuu Idzaa Arooda Syai-an an-yaquula Lahuu Kun Fayakuun....hadits shohih, kaidah Bhs Arab, dan dalil aqli.


Demikian dari ane.
mohon evaluasi dari kesimpulan ane tsb.
Jazaakumulloohu Khoiron Katsiiron.
Wassalam - Nugon

10 Oktober 2012 pukul 23.05

ya benar......... dan sebagaimana ana sebutkan di note bahwa sebenarnya Bahasa Arab jauh lebih luas daripada ini, dan ulama salaf kita menyadari fakta ini. Salaf memang tidak menyebutnya sebagai majaz atau takwil,sehingga banyak kalangan menyebutnya secara hakikat, toh ilmu balaghah belum berkembang pada masa mereka seperti mana ilmu-ilmu keislaman yang lain. Namun sebagai orang Arab, mereka merasakan adanya perbedaan makna akibat perbedaan siyaq ini.

Ana melihat ahli hadis yang melakukan takwil hadis-hadis sifat tidak keluar sedikitpun daripada manhaj salaf. Apabila mereka mentakwil, mereka melakukannya sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab sebagaimana pemahaman bangsa Arab sendiri. Mereka hanya menggunakan istilah-istilah yang tidak digunakan salaf karena perkembangan ilmu yg cukup pesat di masa mereka. Ahli hadis yang enggan mentakwilpun benar, sebab mereka mendiamkan apa yg didiamkan salaf.........

Posting Komentar

Jangan lupa Tulis Saran atau Komentar Anda

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger