7 Agustus 2012

Tafwidh, Apa Itu Tafwidh": Pembahasan dan Bantahan [2]






SETELAH KITA MEMBACA PEMBAHASAN DAN BANTAHAN PADA BAG [1],kita lanjutkan pada bab [2]:

Seperti kata saudara Zain: Bila dikatakan berulang-ulang bahwa sifatNya tidak sama dengan makhluk, maka tidak dapat diterima samasekali klaim orang yang mendakwa golongan salafi menjisimkan Allah.

Penulis katakan:

Maksud perkataan zain, nas-nas mutasyabihat itu, walaupun difahami dengan makna dhahirnya, tetapi kaifiyat makna tersebut saja yang tidak sama dengan Allah s.w.t., sedangkan menurut ahlus sunnah wal jamaah, kaifiyat itu sendiri tidak ada bagi Allah s.w.t. bukan sekedar mengingkari ada persamaan kaifiyat sifat antara Allah s.w.t. dengan makhluk.

Istiwa' itu memang memiliki kelaziman bertempat dan jisim, dari sudut makna dhahirnya (dengan makna bersemayam), jadi dengan menisbahkannya kepada Allah s.w.t., maka  secara tidak langsung itu merupakan suatu tajsim.

Nah, kalau kita kembali kepada sifat sakit (dan lapar) yang dinisbahkan kepada Allah s.w.t. dalam hadis sahih Muslim, adakah kita mau mengatakan: "Allah memiliki sifat sakit, tetapi sakitnya bukan seperti sakit makhluk" Hal ini tidak tepat. Bukan sekedar menafikan persamaan antara sifat sakit Allah s.w.t. dengan sifat sakit makhluk, tetapi menafikan sifat sakit itu sendiri dari Allah s.w.t. karena makna dhahirnya membawa kepada menisbahkan sifat kurang kepada Allah s.w.t.. Karena femahaman inilah, si hamba dalam hadis tersebut meminta makna lain (ta'wil) untuk perkataan sakit tersebut, dan menyerahkan maknanya (tafwidh) kepada Allah s.w.t. tanpa memahaminya dengan makna dhahirnya. Inilah yang diajarkan daripada aa yang diriwayatkan dalam hadis Sahih Muslim tersebut.

Mana dalil dari pihak mutasallif, bahwasanya, Allah s.w.t. mewajibkan kita memahami nas-nas mutasyabihat dengan makna zahirnya semata ?

Saudara Zain seterusnya berkata:

Bila golongan Asya'irah mengatakan bahwa menyifati Allah Taala dengan bersemayam di atas ArasyNya itu bermakna mengatakan Allah Taala menempati suatu tempat. Atau mengambil ruang. Kata mereka ini menyamakan Allah dengan makhluk.

Penulis yang hina berkata:

Wahai saudara Zain yang bijak, masalahnya bukan pada menyamakan Allah s.w.t. dengan makhluk saja, dalam hal itu. Ini berkaitan dengan makna dhahir bagi perkataan bersemayam itu sendiri!

Kalau saudara dan yang seangkatan dengan saudara yang dikenal sebagai salafi oleh saudara (dikenal sebagai mutasallif di sisi Al-Asya'irah dan Ahlus Sunnah wal Jamaah) berkata: "Istiwa'" itu perlu difahami dengan makna dhahirnya iaitu bersemayam.Nah Apa itu bersemayam? Bukankah maksud bersemayam itu sendiri menempatkan zat pada suatu tempat? Jadi, dengan memahaminya dari sudut bahasa atau dengan makna dhahirnya, memang telah memahaminya dengan femahaman tajsim, walaupun kejisman Allah s.w.t. itu bukan seperti jisimnya makhluk seperti yang coba diterangkan oleh pihak mutasallif.

Inilah bahasa. Saudara Zain perlu fahami bahasa yang di pakai saudara. Setiap perkataan ada makna, dan ada cara (jika ia berkaitan dengan perbuatan). Dengan menetapkan makna dhahir sesuatu, maka ciri-ciri makna tersebut pasti ada dalam makna itu sendiri, walaupun caranya berbeda antara masing masing individu.

Kalau seseorang berkata: "Saya duduk", jika duduk itu difahami dengan makna dhahirnya, maka semua ciri-ciri yang berkaitan dengan makna duduk pasti ikut disertakan dalam femahaman tersebut, seperti bertempat, berjisim dan sebagainya. Seseorang tidak berkata, saya memahami maksud duduk dengan makna dhahir, tetapi bukan bertempat sedangkan makna duduk dari sudut dhahir itu sendiri membawa faham bertempat, karena duduk pasti di sesuatu tempat. Lain makna, kalau kita katakan, makna duduk di situ bukan makna dhahirnya, jadi bisa kita nafikan bertempat, karana tidak menetapkan makna dhahirnya!

Inilah bahasa. Soal sama dengan makhluk atau tidak, itu soal kedua. Itu masalah tamsil. Allah dikatakan bersemayam dengan makna dhahirnya di atas Arasy tetapi tidak seperti semayam makhluk, menurut mereka, hanya sekedar menafikan persamaan cara bersemayam antara Allah s.w.t. dengan makhluk dan hakikatnya, tetapi tetap menisbahkan tempat bagi Allah s.w.t. karena bersemayam itu sendiri, dalam makna dhahirnya membawa maksud bertempat?

Lain lagi cerita kalau menyerahkan makna perkataan (mutasyabihat) tersebut kepada Allah s.w.t., karena makna dhahirnya membawa kesamaran. Itu barulah menafikan sesuatu yang tidak layak bagi Allah s.w.t. di samping menetapkan lafaz perkataan tersebut dengan menisbahkannya kepada Allah s.w.t., bukan makna dhahirnya!

Saudara Zain berkata:

Ini juga hujah yang tidak dapat diterima. Kerana sudah berkali-kali dikatakan bahwa Dia tidak sama dengan makhluk!

Penulis juga berkata:

Sudah berkali kali juga dikatakan bahwasnya, bukan sekedar masalah "Allah sama dengan makhluk saja, tetapi menyifati makna yang tidak sesuai dengan Allah s.w.t. itu juga sebab golongan mutasallif dan femahaman tajsim ditolak.

Bukan sekadar sama dari sudut kaifiyat saja yang perlu ditolak, tetapi sama dari sudut makna yang membawa kelaziman yang tidak layak bagi Allah s.w.t. juga perlu ditolak!

Mana dalil pihak mutasallif dalam mengingkari majaz (kiasan) sehingga terpaksa memahami nas-nas mutasyabihat dengan makna dhahirnya yang mengandung kelaziman yang tidak layak bagi Allah s.w.t..?

Di bagian yang terakhir tulisan saudara Zain, dia akan mengulas bahwasanya, logika akal itulah yang menjadi puncak perselisihan dan pertentangan atas femahaman tajsim atau femahaman menafikan tafwidh makna ini.

Saudara Zain seterusnya berkata:

Mengapa timbul persoalan?

Ya, mengapa timbul persoalan menyifati Allah Taala bersemayam di atas ArasyNya itu bermakna telah menjisimkan Allah. Atau menyatakan Allah menempati satu tempat dengan mengambil ruang. Atau menyamakanNya dengan Makhluk?

Perkara ini amat jelas bagi kita. Bila kita terlalu menggunakan pendekatan logika dalam mentauhidkan Allah Taala, inilah puncah masalahnya. Semuanya memakai pertimbangan logika, hingga dalam masalah bersemayam di atas Arasy juga mereka kembali kepada logika.

Penulis menjawab:
Dalam perkatan beliau: " Bila kita terlalu menggunakan pendekatan logika dalam mentauhidkan Allah Taala, inilah puncak masalahnya" di sini ada suatu kekeliruuan. Apa maksud beliau, "terlalu menggunakan pendekatan logika…".

Terlalu menggunakan pendekatan logika memang tercela, seperti yang dilakukan oleh golongan muktazilah, qodiriah dan jahmiyah, tetapi terlalu tidak menggunakan pendekatan logik (akal) sehingga mengabaikan pendekatan dan penggunaan akal juga suatu yang tercela, seperti yang dilakukan oleh golongan Jabbariah, Hasyawiyah (Mujassimah), Bathiniyah dan sebagainya.

Selagi penggunaan akal itu berlandaskan nas-nas Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka tidak mengapa dan itulah yang semestinya. Inilah manhaj golongan salafus soleh dan seterusnya dikembangkan oleh golongan Al-Asya'irah dan Al-Maturidiyah. Kalau hendak mengharapkan golongan yang asyik mengkritik ilmu logika, memang Muktazilah dan Jahmiyah tidak ada lawan dan tidak ada yang dapat patahkan hujah mereka. Golongan Al-Asya'irah dan Al-Maturidiyah yang dipelihara oleh Allah s.w.t. manhaj akal mereka inilah, yang bangkit melawan faham Muktazilah dan Jahmiyah ini. Pada saat itu, dimanakah golongan Mutasallif? belum ada mereka waktu itu.

Setelah munculnya Mutasallif yang masih terlalu muda di banding keberadaan golongan Al-Asya'irah dan Al-Maturidiyah yang menjadi manhaj aqidah majoritas umat Islam (sawadul a'zhom yang di jamin Nabi s.a.w. kebenarannya ), tiba-tiba muncul yang menuduh golongan Al-Asya'irah terlalu menggunakan pendekatan akal padahal merekalah yang terlalu mengabaikan penggunaan akal itu sendiri, dan mereka tidak menyadarinya.

Kalau hendak mengikuti Sheikh Ibn Taimiyah yang menjadi pelopor femahaman mereka, sebenarnya yang menggunakan pendekatan akal yang berlebihan sehingga menolak konsep tafwidh makna, karena beliau yakin bahawasanya makna dhahir dari nas-nas mutasyabihat tersebut yang dimaksudkan, sedangkan para salafus soleh berpegang dengan manhaj tafwidh makna.

Persoalan yang terpenting, tidak bolehkah akal berperan dalam memahami sifat-sifat Allah s.w.t.?

Hakikatnya, Allah s.w.t. menjadikan akal ini dengan penuh keistimewaan karena mampu mengenal sifat-sifat kesempurnaan Allah s.w.t. dan sifat-sifat yang tidak layak bagi Allah s.w.t., itulah sunnatullah.

Pendapat bahwa Pendekatan logika tidak bisa membawa kepada tauhid adalah suatu perkataan yang dusta karena Allah s.w.t. sendiri yang menggunakan pendekatan tersebut seraya berfirman: "Kalaulah pada keduanya (langit dan bumi) itu ada tuhan selain Allah, maka nescaya akan musnah alam ini…" Inilah pendekatan logika, yang mana akhirnya membawa kepada tauhid, yang dijelaskan sendiri oleh Allah s.w.t..

Bahkan, diceritakan juga tentang manhaj Nabi Ibrahim a.s., yang mengajar kaumnya ke arah ketauhidan dengan pendekatan logika, sambil membuat perbandingan bahwa, matahari, bulan dan bintang itu bergerak-gerak, sekejap ada dan sekejap hilang, sedangkan sifat Allah s.w.t. itu sepatutnya kekal selamanya. Ini termaktub sendiri di dalam Al-Qur'an, yang diajarkan melalui pendekatan Nabi Ibrahim a.s.. Inilah sandaran golongan ahlus sunnah wal jamaah dalam menggunakan pendekatan logika dalam membawa kepada ketauhidan Allah s.w.t..

Apa masalahnya menggunakan pendekatan akal dalam memahami sifat-sifat Allah s.w.t.. Ingat! Pendekatan akal digunakan hanya untuk memahami mana yang layak dan mana yang tidak layak bagi Allah s.w.t., sesuai dengan fitrah sunnatullah dalam diri manusia, bukan  untuk memahami hakikat zat dan sifat-sifat Allah s.w.t. tersebut.

Oleh karena itu, ketika penulis bermuzakarah dengan golongan Kristian dan Hindu, mereka sendiri memang tidak dapat meyakini dengan akal yang sihat tentang aqidah mereka, karena memang akal sendiri bisa memahami, yang mana sifat yang layak bagi Tuhan dan yang mana tidak layak bagi Tuhan. Banyak dari kalangan orang-orang Hindu yang penulis berbincang dengan mereka, memahami dengan akal mereka, bahawa sifat-sifat ketuhanan yang mereka yakini (seperti kefahaman mereka tentang Shiva, Brhahma dan Wishu), tidak sesuai bagi Tuhan sebenarnya, seperti berkawin, beranak-pinak, berbentuk dan sebagainya.

Jadi, bedakanlah terlebih dahulu, yang mana yang yang boleh difahami oleh akal dan yang mana yang tidak mampu dijangkau oleh akal, sebelum menghantam pendekatan akal atau menuduh pihak lain sebagai terlalu menggunakan akal.Orang yang tidak punya duit sama sekali, memang akan memandang orang yang punya duit 50 ribu sebagai terlalu banyak duit, padahal itu biasa saja. Kayu pengukur penggunaan akal bukan pada individu, tetapi pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, adakah apa yang difikirkannya bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah?

Kalau sampai menyatakan: "Alam ini qodim (tiada permulaan) dari sudut jenisnya" maka itu memang natijah daripada melampaui dalam menggunakan akal. Kalau sekedar berkata: "Allah itu tidak berjisim" dan tidak bertentangan sengan kaedah umum nas-nas Al-Qur'an, maka itu tidak sampai tahap berlebih-lebihan.

Bukti yang jelas, bahawa akal yang sihat mampu memahami apa yang layak bagi Allah s.w.t. dan apa yang tidak layak bagi kesempurnaan Allah s.w.t. secara umum, seperti yang dinukilkan dalam hadis Sahih Muslim itu sendiri.

Ketika Allah s.w.t. berfirman dalam hadis qudsi: "Wahai hambaku. Aku sakit. Kenapa Engkau tidak menengokku?"

Dalam hadis ini sendiri, hamba tersebut bertanya: “Wahai Tuhan. Bagaimana (Engkau sakit) sehingga aku perlu menengokMu sedangkan Engkau Tuhan sekalian alam?”

Mengapakah hamba tersebut bertanya kepada Allah s.w.t. demikian, melainkan karana dia mengetahui dengan aqidah yang sejahtera, dengan logika akal yang sejahtera, bahwa Allah s.w.t. yang bersifat dengan Maha Sempurna, tidak pernah sakit, dan sakit merupakan satu sifat yang mustahil bagi Allah s.w.t.. Jadi, adakah golongan mutasallif sanggup berhujah dengan hamba tersebut dengan berkata: "Eh, mengapa kamu mempersoalkan Allah sakit, sedangkan Dia yang menyifati diriNya begitu. Jangan terlalu menggunakan pendekatan logik a berkaitan dengan sifat Tuhan!"

Allah s.w.t. sendiri tidak menyalahkan pendekatan logika hamba tersebut tatkala mempersoalkan maksud sebenarnya dari perkataan sakit tersebut, karena makna dhahir bagi sakit tidak layak bagi Allah s.w.t.! Bahkan, Allah s.w.t. membenarkan pendekatan logik hamba tersebut dengan memberi makna lain (ta'wil) bagi perkataan sakit tersebut iaitu: "Engkau tahu ada hambaKu yang sakit. Kalau engkau menengok hambaKu itu, engkau akan dapati Aku bersama dengannya (hamba tersebut)" Ternyata, sakit itu tidak dimaksudkan dengan makna dhahirnya oleh Allah s.w.t., jadi beranikah golongan mutasallif mendakwa bahwasanya, kita perlu beriman dengan makna dhahir bagi setiap sifat-sifat dan ayat-ayat berkaitan dengan ketuhanan, termasuklah nas-nas mutasyabihat? Ini tidak tepat wahai mutasallif. Allah s.w.t. sendiri tidak mengatakan demikian, seperti dalam hadis ini, seperti dalam Al-Qur'an dan seperti dalam kaedah Bahasa Arab itu sendiri.

Seterusnya, saudara Zain berkata:

Mereka menggunakan pertimbangan logikA manusia dalam menyifati Allah. Bila dikatakan Allah Taala itu bersemayam di atas Arasy, maka pertimbangan logikA manusia mereka gunakan, Mereka akan memikirkan, kalau bersemayam bermakna duduk di singgahsana seperti raja-raja. Bila bersemayam bermakna mengambil ruang seperti duduknya manusia di atas kUrsi. Bila bersemayam berARTI begitu dan begini seperti manusia...

Penulis berkata lagi:

Itu bukan berkaitan dengan menggunakan pertimbangan logika dalam menyifati Allah s.w.t., ini berkaitan dengan neraca fitrah dan sunnatullah dalam akal manusia, yang mampu memahami antara sifat-sifat yang wajib bagi Allah s.w.t. dan sifat-sifat yang mustahil bagi Allah s.w.t.. Hal ini diceritakan sendiri di dalam Al-Qur'an, kalau anda masih mahu mengingkarinya.

Allah s.w.t. menggunakan pendekatan logika: berkumpulnya dua tuhan akan memusnahkan alam, yang mana natijahnya: "wajib bagi Allah s.w.t. itu bersifat Maha Esa (wahdaniyah).

Bahkan, pendekatan logika Nabi Ibrahim ketika melihat bulan, bintang dan matahari, seterusnya dapat disimpulkan dari pendekatan tersebut, bahwa mustahil bagi Allah s.w.t. itu, bersifat dengan sifat hadith (baru, yang berubah-ubah, sekejap ada sekejap tiada), dan wajib bagi Allah s.w.t. itu bersifat baqo' (kekal abadi).

Bahkan, dalam surah Yunus juga menceritakan tentang bagaimana orang-orang yang tidak beriman kepada Allah s.w.t.,apabila dalam keadaan yang susah, di atas kapal, dan tidak ada jalan keluar, maka dia akan meyakini keberadaan Allah s.w.t.. Lihat, dengan pendekatan akal yang sejahtera dan fitrah sejahtera yang mewarisi akal, maka dengan penaklukan akal tersebut, dapat di menatijahkan bahwasanya: "Tuhan itu wajib wujud".

Bahkan, dengan merenungkan alam ini, dengan ketelitian sistemnya, akal dapat memahami bahwasanya: "Mustahil Allah s.w.t. (tuhan) tidak wujud".

Jadi, pengaruh akal juga amat kuat dalam membedakan sifat-sifat wajib dan mustahil bagi Allah s.w.t., cuma, akal tidak mampu memahami hakikat sifat-sifat, nama-nama dan zat Allah s.w.t..

Jadi, golongan yang tidak mengetahui pengaruh akal dalam berinteraksi dengan sifat-sifat Allah s.w.t., maka pasti akan mencela pendekatan akal dan menganggap pendekatan akal yang sederhana sebagai suatu logika yang berlebihan.

Lihatlah kata-kata saudara Zain:

"Itu semua adalah logika-logika dan bayangan-bayangan yang rancu dan tidak boleh diterima."

Penulis berkata:

Wahai saudara Zain, fahamilah peranan akal itu sendiri, dan dalil-dalil pendekatan akal dalam berinteraksi dengan sifat-sifat kesempurnaan Allah s.w.t. ada di dalam Al-Qur'an. Adakah anda tidak mahu beriman dengan Al-Qur'an yang mengakui pendekatan akal dalam memahami kesempurnaan sifat-sifatNya dan memahami sifat-sifat yang tidak layak bagi Allah s.w.t. secara umum?

Allah s.w.t. sendiri menggunakan kaedah logika kepada golongan-golongan yang mengingkari kitabNya. Bahkan, Al-Qur’an ini juga dikatakan sebagai petunjuk bagi orang-orang yang mau berfikir. Bahkan, alam ini juga mampu membawa untuk mengenal sifat-sifat kesempurnaan Allah s.w.t.. Tetapi, akal juga terbatas. Namun, dalam keterbatasannya, ia mempunyai peranan yang tinggi dalam mencari kebenaran apatah lagi dengan memahami sifat-sifat sempurna bagi Allah s.w.t. dan sifat-sifat kekurangan yang tidak layak bagi Allah s.w.t. secara ringkas.

Nabi Ibrahim a.s. juga menggunakan pendekatan aqli yang mudah dalam berhadapan dengan kaumnya. Logika pertama berkaitan dengan peralihan dan pergerakan bulan, matahari dan bintang, yang sekejap ada sekejap tiada, dan akhirnya membuat kesimpulan bahwa, ke semua makhluk tersebut bukan Tuhan karena Tuhan tidak akan bergerak-gerak, sekejap muncul sekejap tenggelam, dan Dia Maha Qadim lagi Maha Kekal.

Dalam dakwah baginda a.s. juga, baginda a.s. pernah memecahkan seluruh berhala dan meninggalkan satu berhala besar untuk dijadikan alat bantuan pendekatan logika untuk membuat kaumnya berfikir. Akhirnya, apabila Nabi Ibrahim a.s. mengatakan bahwasanya, berhala yang besar itulah yang menghancurkan semua berhala-berhala kecil, kaumnya menafikannya karena berhala tidak bisa bergerak. Di situlah “bola tanggung” bagi Nabi Ibrahim a.s. untuk membuat “smash” pendekatan logika kepada mereka dengan berkata: “Adakah patung yang tidak mampu melakukan apa-apa ini layak menjadi Tuhan”. Jadi, dengan menggunakan hujah akal, cukup membuatkan orang-orang berfikir bahwasanya, mustahil tuhan tidak mampu melakukan sesuatu dan tuhan mampu dihancurkan (merujuk kepada berhala-berhala kecil yang hancur).

Jadi, bersikap ghulluw dalam menolak pendekatan aqli juga suatu sikap yang tertolak dalam agama Islam, karena pendekatan aqli, selagi bertepatan dengan kaedah nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak sampai kepada tahap memahami “zat dan hakikat sifat Allah s.w.t.”, maka itu tidak mengapa.

Golongan yang menuduh golongan Al-Asya’irah terlalu menggunakan pendekatan logika akal untuk memahami sifat-sifat ketuhanan tidak tepat karena pertama:

Akal menurut golongan Al-Asya’irah bukan digunakan untuk memahami hakikat sifat-sifat ketuhanan tetapi sekadar mengetahui sedikit kesempurnaan sifat-sifat Allah s.w.t., yang mana sifat-sifat yang wajib adanya, dan yang mana yang mustahil adanya bagi zat Allah s.w.t., karena akal itu secara sunnatullah telah di kuatkan dengan fitrah tersebut sekadar yang diizinkan oleh Allah s.w.t., karena bukan semua sifat mampu dikenali oleh akal tanpa dukungan wahyu, seperti sifat mendengar, melihat dan sebagainya, tanpa dukungan wahyu, nescaya akal semata tidak dapat mengenal adanya sifat-sifat kesempurnaan tersebut. Adapun sifat-sifat yang dapat ditangkap secara mudah oleh akal berkenaan dengan sifat-sifat ketuhanan ialah seperti sifat wujud, qidam (tiada permulaan), baqo’ (tiada penghujung bagi kewujudanNya) dan sebagainya.

Di samping itu juga, seperti halnya akal mampu memahami sedikit daripada sifat-sifat yang wajib bagi Allah s.w.t., akal juga mampu menangkap sifat-sifat yang mustahil bagi Allah s.w.t., seperti sifat-sifat yang berlawanan dengan sifat-sifat wajib tersebut (seperti tiada, hadith (baharu, fana’ dan sebagainya). Bahkan, akal juga mampu menafikan sifat-sifat yang baru yang tidak layak bagi Allah s.w.t., seperti zatNya bergerak-gerak, mengambil ruang dan tempat, berjisim, beranak dan sebagainya, yang tidak layak bagi Allah s.w.t., karena semua itu menyebabkan Allah s.w.t. setidaknya hulul (bergabung) dengan makhluk iaitu tempat.

Jadi, tidak dapat dinafikan bahwa, akal memiliki peranan dalam memahami ksempurnaan Allah s.w.t. secara ringkas, dan mampu memahami apa yang mustahil bagi Allah s.w.t.. Golongan yang mencegah orang menggunakan akal secara mutlak, sebenarnya takut kebenaran akan nampak.

Penulis pernah berbincang dengan banyak orang-orang Kristian, khususnya dalam masalah Trinitas yang menjadi dasar aqidah mereka. Apabila diperbincangkan, akhirnya, mereka mengakui bahwasanya, kalau menggunakan akal, memang mustahil trinitas itu suatu sifat bagi Tuhan tetapi para pendeta di gereja tidak membenarkan mereka menggunakan neraca akal tersebut dengan alasan: “akal tidak mampu menjangkau sifat Tuhan” (sama seperti hujah sebagian golongan mutasallif).

Penulis katakan kepada mereka: “Akal memang tidak dapat menjangkau sifat ketuhanan, tetapi akal mampu membedakan yang mana sifat yang layak bagi Allah s.w.t. dan yang mana tidak layak bagi Allah s.w.t., karena Allah s.w.t. menjadikan kekuatan akal bisa membedakan yang mana yang wajib dan yang mana yang mustahil bagi Tuhan, walaupun tidak memahami hakikat sifat-sifat tersebut.Trinitas itu bukan spontan tidak dapat memahami hakikatnya, tetapi tidak mampu diterima oleh akal (mustahil bagi tuhan). Jadi, jangan terpengaruh dengan para pendeta pendeta anda. Bedakan antara memahami hakikat sifat ketuhanan dengan memahami sifat wajib dan mustahil bagi Tuhan secara ringkas!”

Akhirnya, alhamdulilh, ada juga yang memeluk agama Islam setelah itu. Jadi, seseorang perlu adil dalam menghukumi “manhaj aqli” ini.jangan karena Asal pakai akal saja, terus di tuduh “terlalu menggunakan pendekatan akal”? Itu tidak tepat. yang di ikiti oleh golongan Al-Asya’irah adalah Allah s.w.t., para Nabi a.s. (seperti Nabi Ibrahim a.s.), dan Nabi Muhammad s.a.w. itu sendiri. Janganlah membuat keliru golongan awam dengan mengatakan puncak persoalan atau masalah adalah taikala golongan Al-Asya’irah terlalu menggunakan pendekatan akal, karena dalam masalah nas-nas mutasyabihat ini, sudah jelas, hatta dari sudut bahasa saja, tidak membela aliran yang “menolak tafwidh makna ini”.

Sebenarnya, ini bukanlah masalah berkaitan dengan pendekatan akal, tetapi penggunaan bahasa yang gagal difahami. Sheikh Ibn Taimiyah yang mempelopori aliran ini memang memiliki suatu agenda yang hanya difahami dengan pembahasan yang lebih tinggi, dengan melambangkan femahaman beliau yang sebenarnya, bukan semata berkaitan dengan ilmu bahasa karena Sheikh Ibn Taimiyah amat mahir dalam apa yang katakannya. Tetapi, penulis lihat, golongan yang terpengaruh dengan aliran atau femahaman yang dibuka oleh Sheikh Ibn Taimiyah ini, kebanyakannya tidak faham apa yang di maksud oleh Sheikh Ibn Taimiyah dan tidak memahami apa yang di perjuangkan dan apa yang mereka sendiri perjuangkan. Mereka keliru dengan bahasa-bahasa pembahasan masalah ini.

Sheikh Ibn Taimiyah berbahasa dengan menggunakan ilmu mantiq yang cukup tinggi, walaupun beliau sendiri mengkritik ilmu mantiq, sedangkan para pendukong beliau setelah itu, tidak mempunyai asas ilmu mantiq seperti Sheikh Ibn Taimiyah, karena mengikut fatwa Ibn Taimiyah yang menolak ilmu mantiq (padahal beliau sendiri berbahasa dengan menggunakan ilmu mantiq dalam buku-buku beliau, sehingga ta hanyut kepada masalah qidamnya alam) akhirnya mereka memperjuangkan femahaman Ibn Taimiyah, padahal tidak faham apa yang dibawa oleh Sheikh Ibn Taimiyah.

Penulis agak simpati, khususnya kepada para pendukong beliau yang baru ingin belajar dengan aliran mutasallif ini, tetapi tidak faham dengan menyeluruh, apa yang dibawa oleh Sheikh Ibn Taimiyah, dan akhirnya pembahasan mereka jadi berputar putar ga karuan, sehingga mereka sendiri tidak tahu, apa yang mereka perjuangkan sebenarnya.

Contohnya, mereka mahu menyuruh semua orang beriman dengan makna dhahir nas-nas mutasyabihat, yang membawa kelaziman jisim dan sebagainya, tetapi mereka tidak mau  lafad lafad itu difahami dengan makna kejisiman, padahal maknanaya dari sudut dhahir itu memang membawa makna kejisiman.

Contoh: Yadd itu mesti difahami dengan makna dhahirnya iaitu tangan. Tangan dalam makna dhahirnya berarti suatu anggota bagian bagi suatu zat. Bila di katakan tangan itu difahami dengan makna dhahirnya, maka perlu difahami dengan makna yang merupakan suatu anggota bagi zat Allah s.w.t.. Bila sudah berkata zat Allah s.w.t. ada anggota yang namanya tangan, maka itu maknanya sudah menjisimkan Allah s.w.t..tetapi setelah itu mereka tak mengakui. Mereka berkata: “Tidak, bukan itu maksud kami!” Allah s.w.t. itu bukan jisim, tapi tangan itu perlu difahami dengan makna dhahirnya (yang membawa maksud jisim)! apa ceritanya ni? Yang mana yang betul? Jisim atau tidak? Kalau faham makna dhahir artinya jisim. Kalau menafikan jisim, artinya, tangan itu memiliki maksud lain, bukan maksud dhahirnya yang perlu difahami. Akhirnya, mereka pun tidak tahu apa sebenarnya yang mereka percayai.

Sedangkan, Sheikh Ibn Taimiyah dengan berani mengatakan bahwasanya: “Tangan itu perlu dipercayai dengan maksud dhahirnya (yang membawa kepada jisim). Jadi, tangan itu sifat a’yaan (anggota atau bagian bagi zat) bagi Allah s.w.t….” Dalam buku beliau dalam menolak Imam Ar-Razi, beliau berkata: “Tidak ada bukti bahwa para salafus soleh menafikan jisim bagi Allah s.w.t.”. Maknanya, Sheikh Ibn Taimiyah tidak menafikan jisim karena menurutnya para salafus soleh tidak menafikannya, padahal banyak perkataan dari salafus soleh yang menafikannya, yang mungkin beliau tidak pernah menjumpainya.

Sheikh Ibn Taimiyah faham benar apa yang dimaksudkan dengan: “memahami nas-nas tersebut (mutasyabihat) dengan makna dhahirnya…” tetapi para pengikutnya berbolak balik antara ya atau tidak, karena tidak faham apa maksud: “memahami nas-nas mutasyabihat dengan makna dhahirnya”.

Apabila golongan ahlul haq dari ahlus sunnah membantah femahaman mutasallif, mereka akan berkata: “golongan ini suka menggunakan pendekatan akal dalam masalah ketuhanan”. Padahal, kalau golongan tersebut (Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyah) tidak menggunakan pendekatan akal yang diasaskan oleh kaedah nas-nas Islami, nescaya golongan Muktazilah, Jahmiyah, Hasyawiyah, Jabbariyah dan sebagainya, akan terus ada dan berkembang hingga hari ini. Namun, Allah s.w.t. menjadikan golongan Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyah sebagai pembersih penyelewengan femahaman-femahaman berkaitan dengan ketuhanan, akibat dua ghulluw yang berbeda iaitu,ghulluw dalam pendekatan akal, dan ghulluw dalam mengabaikan akal.

Nah, di antara dua golongan yang ghulluw dalam memahami nas-nas berkaitan dengan ketuhanan ini, Allah s.w.t. melahirkan golongan Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyah yang membawa manhaj pertengahan dalam membersihkan kekeliruan dua jenis ghulluw tersebut. Bahkan, Allah s.w.t. melanggengkan golongan Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyah sebagai mazhab manhaji asas dalam pembahasan masalah aqidah bagi majoritas umat Islam (sawadul a’zhom) yang dikenal dengan ahlus sunnah wal jamaah hingga hari ini.

Jadi, yang manakah yang dikatakan logika carut-marut? Adakah yang dibawa oleh golongan Al-Asya’irah yang merupakan sawadul a’zhom umat Islam ini??, sejak zaman-berzaman, yang berjasa besar dalam menghancurkan bid’ah golongan muktazilah, jabbariyah, hasyawiyah dan sebagainya. Kalau sawadul a’zhom pun di katakan carut-marut, artinya selama ini Allah s.w.t. membiarkan sawadul a’zhom dalam kecarut-marutan berkenaan soal aqidah, sedangkan Nabi s.a.w. menjamin kebenaran golongan sawadul a’zhom ini. Jadi, siapakah sebenarnya yang carut-marut? Wallahu a’lam…Na’uzubiLlah min zalik…

Saudara Zain juga berkata:

Apakah mereka tidak beriman dengan:

" (Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat." (Syuraa: 11)

Penulis katakan:

Ayat tersebut tidak ada kaitan apa pun dengan menafikan tafwidh makna, bahkan itu kembali kepada golongan yang mengingkari tafwidh makna itu sendiri, sehingga mewajibkan diri mereka sendiri untuk memahami nas-nas mutasyabihat dengan makna dhahirnya, sedangkan Allah s.w.t. tidak pernah menyuruh demikian (bahkan, ayat berkenaan dengan adanya ta’wil membantah secara tidak langsung, sikap kejumudan dalam berinteraksi dengan nas-nas tersebut). Inilah sifat ghulluw dalam berinteraksi dengan sifat-sifat Allah s.w.t..

Bahkan, dengan ayat tersebut, golongan ahlus sunnah wal jamaah dari kalangan Al-Asya'irah menolak sikap jumud golongan Hasyawiyah yang menolak konsep majaz ketika berinteraksi dengan nas-nas Al-Qur'an sehingga menetapkan makna dhahir yang tidak sesuai dengan kesempurnaan Allah s.w.t., sambil mereka mengingkari tafwidh makna, seolah-olah mereka yakin bahwa makna yang dhahir itulah yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t., sedangkan Allah s.w.t. pun tidak berfirman demikian, bahkan kaedah Bahasa Arab itu sendiri tidak menolak konsep majazi (kiasan) dan takwil.

Labih parah lagi, apabila mereka menolak konsep ta'wil, seolah-olah mereka mengingkari firman Allah s.w.t. yang mengatakan bahwasanya: ada takwil bagi nas-nas mutasyabihat, tetapi tidak mengetahui akan takwilnya kecuali Allah s.w.t. [Al imran :7] (dan ahli ilmu, menurut bacaan ulama' khalaf). Yang penting, nas-nas mutasyabihat ada ta'wilnya. Kalau dah ada ta'wil berarti, bukan makna dhahirnyalah yang dimaksudkan. Jadi, tafwidh maknanya kepada Allah s.w.t.-itu manhaj yang benar, bukan isbat makna dhahir!

Dengan gaya yang sama dengan ungkapan saudara Zain, penulis bertanya kepadanya kembali: Adakah saudara atau golongan mutasallif yang menginkari tafwidh makna, mengingkari ta'wil dan sebagainya tidak beriman dengan:

“Dialah yang menurunkan kepadamu (Muhammad) Al-Kitab (Al-Qur'an), di dalamnya ada ayat-ayat yang muhkamat (jelas maknanya) yang mana itu suatu ummul kitab, dan selainnya merupakan ayat-ayat mutasyabihat (samar maknanya) Adapun orang-orang yang ada dalam hati mereka kecenderungan ke arah kesesatan, maka mereka selalu menuruti apa yang samar-samar (mutasyabihat) dari Al-Qur’an untuk mencari fitnah (dengan memahaminya dari sudut yang samar tersebut) dan mencari-cari ta'wil (memutarkan maksudnya sesuai yang disukainya). Sesungguhnya tidak ada yang mengetahui ta'wilnya kecuali Allah, Dan orang-orang yang mendalam ilmunya... ” (Ali Imran: 7)

Kemudian, saudara Zain mengakhiri perkataan beliau dengan perkataan Imam Malik (yang mana, perkataan ini diriwayatkan dengan banyak jalan dan banyak tex yang berbeda. Adapun yang dinukilkan oleh saudara Zain ini ialah riwayat yang lemah, karena bentuk susunan ayat tersebut seolah-olah bisa membela mereka yang menolak tafwidh, padahal tidak demikian) dengan perkataan dia:

Bacalah kata-kata Imam Malik yang terkenal mengenai semayam (Istiwa'): 
"Istiwa (semayamnya Allah) adalah hal yang sudah jelas, sedangkan bagaimananya adalah tidak diketahui, iman terhadapnya adalah wajib, dan mempertanyakannya adalah bid'ah."

Penulis berkata:

Walaupun riwayat ini paling lemah menurut beberapa ulama' di banding dengan riwayat yang lainnya yang lebih kuat, namun dengan riwayat ini juga, bisa di balik arah pada golongan mutasallif dengan membetulkan femahaman nas itu sendiri.

Apabila Imam Malik berkata: "Istiwa (semayamnya Allah) adalah hal yang sudah jelas…". Ini maksudnya adalah lafad istiwa' itu sendiri, merupakan suatu perkataan yang sudah jelas lafaznya, tetapi makna dhahirnya membawa kesamaran.

Karena itulah, dalam riwayat yang lain yang lebih kuat, lafaz ini disebutkan begini: "Istiwa' itu bukanlah mahjul (tidak diketahui)…". Ingat, sebenarnya, orang yang bertanya kepada Imam Malik tentang Istiwa', adalah bertanya tentang makna lafaz istiwa' dalam ayat-ayat al quran, sedangkan maknanya istiwa' dari sudut Bahasa Arab mengandung banyak makna. Jadi, menurut Imam Malik, lafaz perkataan istiwa' itu sendiri diketahui ada banyak maknanya. Ia bergantung kepada qarinah (petunjuk yang mengiringi) setelah perkataan istiwa' tersebut.

Tetapi, Al-Kaif itu tidak diketahui sebagai suatu sifat bagi Allah s.w.t.. Jadi, yang dikatakan" Al-Kaif majhul" (Kaif itu tidak diketahui) dalam riwayat ini bisa difahami dengan ungkapan beliau dalam riwayat yang lain yang berbunyi: "Al-Kaif ghair ma'qul" (Kaifiyat bagi Allah s.w.t. itu suatu kemustahilan). Jadi, yang ditolak oleh Imam Malik ialah Aslul Kaif;asal kaifiyat yakni tdk ada kaifiyat sama sekali,bukan ilmi kaif.ini di fahami jika digabungkan kedua riwayat ini, bukan sekedar mengikuti riwayat kegemaran mereka saja, bukan Ilmul Kaif (bagaimana keadaannya) yang di nafikan. Penulis nukilkan sedikit tentang apakah aslul kaif dan ilmu kaif yang di nafikan, Imam Malik dan seluruh salafus soleh menafikan aslul kaif, bukan sekadar ilmul kaif seperti yang dilakukan oleh Sheikh Ibn Taimiyah dan para pendukongnya.

Penulis berkata:

Beda antara nafi aslul kaif dengan nafi ilmul kaif:

Menafikan aslul kaif berarti, mencegah orang daripada menggambarkan lafaz-lafaz mutasyabihat tersebut dengan maknanya dari sudut bahasa (atau dari makna dhahirnya), kerana sebagian orang,ketika mendengar saja tentang perkara-perkara mutasyabihat, mereka terus menggambarkan sifat-sifat tersebut dengan maknanya dari sudut bahasa, yang membawa kepada femahaman tajsim atau menjisimkan Allah s.w.t..

Kaif itu sendiri dari sudut bahasa ialah: meletakkan sesuatu yang dinisbahkan kepada sesuatu yang lain, atau menggambarkan sesuatu dinisbahkan kepada anggota yang lain. Maksudnya, kaif itu sendiri adalah apabila seseorang menggambarkan keadaan sesuatu, dengan susunan bentuknya dan sebagainya, seperti ketika orang membayangkan kaif Zaid, dia akan menggambarkan susunan bentuk tubuh Zaid dari muka sampai ke kaki. Jadi, inilah yang dilarang oleh salafus soleh, iaitu larangan daripada menggambarkan bahwa Tuhan itu berjisim. Ini namanya menafikan Asal Kaif itu sendiri.

Adapun Ibn Taimiyah menyangka bahwa, para salafus soleh menafikan ilmul kaif iaitu, pengetahuan mengenai hakikat keadaan sesuatu itu, padahal, golongan salaf menafikan adanya keadaan kaif itu sendiri, pada zat Allah s.w.t..

Oleh kerana itulah, Ibn Taimiyah menegaskan bahwa, golongan salafus soleh tidak akan berkata: “tanpa kaif” jika mereka tidak memahami makna perkataan mutasyabihat tersebut dengan maknanya dari sudut bahasa (makna dhahir). hal ini karena, Ibn Taimiyah faham bahwa, seseorang hanya menafikan ilmu kaif jika dia mengetahui makna lafaz tersebut, sedangkan sebenarnya golongan salafus soleh tidak menafikan ilmu kaif, tetapi menafikan aslul kaif (asal keadaan itu sendiri).

Contohnya, para salafus soleh tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t. dengan perkataan yadd Allah, lalu melarang orang lain menggambarkan kaif sifat yadd tersebut dengan maknanya dari sudut bahasa (iaitu anggota tangan). Ini adalah menafikan aslu kaif sifat tersebut.

Inilah maksud yang sebenarnua dari kata-kata Imam Malik jika ditinjau dgn menerusuri dua riwayat imam malik yang berbeda berkenaan dengan ucapan ini. Yang dimaksudkan bukan menafikan ilmu kaif tetapi aslul kaif. Bahkan, selain daripada ucapan Imam Malik ini, tidak terhitung jumlah perkataan ulama’-ulama’ salaf yang menolak konsep isbat makna lughowi (dari sudut bahasa) atau isbat makna dhahir bagi nas-nas mutasyabihat ini.

Silalah rujuk sendiri kitab Al-Asma’ wa As-Sifat karangan Sheikh Al-Hafiz Al-Baihaqi, di mana terdapat banyak ucapan-ucapan para salafus soleh yang mengamalkan tafwidh makna dalam berhadapan dengan nas-nas mutasyabihat ini. Kalau sedikit bawakan satu kata dari Imam Malik, yang juga disalah arti sebagai tafwidh kaifiyat (padahal tidak demikian jika ditinjau dari dua riwayat yang berbeda), untuk digunakan hujah dalam mematah sawadul a’zhom (majoritas umat Islam) sejak zaman salafus soleh yang menggunakan manhaj tafwidh makna, ataupun ta’wil ijmali, maka lebih baik lupakan saja niat tersebut. YaduLLah ma’al jamaah (Sesungguhnya bantuan Allah s.w.t. itu bersama dengan jemaah dan majorita umat Islam).

Seterusnya dia berkata sebagai penutup:

Bukankah lebih selamat pegangan aqidah yang tidak menyelewengkan makna nas nas yg telah Dia sifatkan atas diriNya. Atau lebih parah lagi bila kita menafikan sifat dengan tafwidh makna!

Penulis berkata:

Aqidah yang selamat ialah aqidah yang dipegang oleh ahlus sunnah wal jamaah, sejak dari zaman salafus soleh dan seterusnya diteruskan oleh golongan ahlus sunnah wal jamaah iaitu Al-Asya'irah dan Al-Maturidiyah hingga hari ini. Merekalah sawadul a'zhom(golongan majoritas umat Islam) yang dijamin keselamatan mereka oleh Rasulullah s.a.w..

Golongan yang menyimpang ada dua jenis, dalam berinteraksi dengan nas-nas Allah s.w.t. iaitu:

Pertama: Ghulluw dalam mengisbatkan sifat-sifat Allah s.w.t.. Mereka ini dikenal dengan golongan mujassimah, musyabbihah, hasyawiyah dan sebagainya, yang bersikap jumud dengan nas-nas Islami yang berkaitan dengan ketuhanan, sehingga menisbahkan kelaziman yang tidak layak bagi Allah s.w.t., dengan alasan mengisbatkan seluruh nas-nas yang dinisbahkan kepada Allah s.w.t., walaupun nas-nas tersebut adalah nas-nas mutasyabihat, dengan makna dhahir, sedangkan Allah s.w.t. tidak pernah menyuruh mereka berbuat demikian, bahkan menyuruh mereka berhati-hati khususnya dalam nas-nas mutasyabihat yang samar, yang mana ada makna lain bagi perkataan-perkataan tersebut, dan tidak perlu memahaminya dari makna dhahirnya semata.

Golongan Kedua: Ghulluw dalam menafikan sifat-sifat Allah s.w.t..: Golongan ini menafikan sifat-sifat secara mutlak bagi Allah s.w.t. sengan alasan tanzih padahal mereka juga telahpun terpeleset. Golongan tersebut adalah golongan mukazilah dan seangkatan dengan mereka.

Golongan Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyah yang merupakan golongan sawadul a’zhom inilah yang membawa manhaj pertengahan dalam menggabungkan kepentingan wahyu sebagai sumber mengenali sifat-sifat Allah s.w.t. dan pendekatan akal yang selamat dalam memahami maksud nas-nas wahyu itu sendiri.

Penutup pemBicaraan…

Sesungguhnya, penulis melihat, kebanyakan daripada pendukong-pendukung manhaj isbat makna dgahir (lughawi) ini tidak memahami dengan mendalam istilah-istilah yang mereka gunakan sendiri, khususnya dari kalangan orang-orang Melayu. Kebanyakan dari mereka banyak merujuk buku-buku terjemahan golongan Mutasallif yang kebanyakan dalam Bahasa Indonesia, di banding merujuk kitab kitab Bahasa Arab. jika pun mereka merujuk kitab kitab Bahasa Arab, mereka akan merujuk karangan-karangan mutasallif sekunder, yang menjadi penyambung aliran Sheikh Ibn Taimiyah, yang mana mereka (mutasallif sekunder) ini juga gagal memahami maksud sebenarnya dari Sheikh Ibn Taimiyah, karena Sheikh Ibn Taimiyah mahir dalam ilmu mantiq sedangkan para mutasallif sekunder tidak pernah mempelajarinya bahkan menolak ilmu tersebut, sedangkan Sheikh Ibn Taimiyah bukan sebatas pernah belajar, bahkan mahir menggunakannya, walaupun menolak ilmu tersebut.

Jadi, apabila seseorang merujuk langsung buku-buku karangan Sheikh Ibn Taimiyah, khususnya yang berkaitan dengan buku-buku beliau dalam menolak ulama-’ulama Al-Asya’irah seperti Imam Al-Ghazali dan Imam Ar-Razi, niscaya dia akan dapati Sheikh Ibn Taimiyah amat mendalam dalam ilmu mantiq, walaupun akhirnya rancu dalam ilmu tersebut.

Risalah ini bukan bertujuan untuk menjatuhkan pihak pun karena penulis yang hina ini adalah sehina-hina manusia, di hadapan para pembaca dan pihak yang dikritik dan diulas, namun, karena dasar amanah ilmu, maka penulis terpanggil untuk membantu para ahbab dan ikhwan untuk mengulas berkenaan dengan isu ini, dengan adil. Sesungguhnya, pembahasan berkenaan dengan masalah ini terlalu berat, khususnya jika dibahas dalam bahasa selain daripada Bahasa Arab, karena masalah ini lebih berkaitan dengan soal penggunaan bahasa, sebelum memakai dengan mendasari akal seseorang.

Apapun itu, silahkan rujuk artikel-artikel sebelumnya yang ditulis dalam dua bagian, secara lebih terperinci, berkenaan masalah tajsim ini. Semoga Allah s.w.t. memberi hidayah kepada seluruh umat manusia.

Semua yang baik itu daripada Allah s.w.t. dan yang buruk itu dari diri penulis yang hina. WabiLlahi At-Taufiq wal Hidayah…


Wallahu a’lam…
Raja Ahmad Mukhis bin Raja Jamaludin 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa Tulis Saran atau Komentar Anda