News Update :

Pembahasan INTI Berkenaan dengan Nas-nas Mutasyabihat

Penulis : Bagus Rangin on 14 Juni 2012 | 19.30.00






Pembahasan-pembahasan INTI Berkenaan dengan Nas-nas Mutasyabihat menurut Salaf (dan Khalaf) secara Ringkas

Pendahuluan: Skop Pembahasan pada Surah Ali Imran ayat Ketujuh

Allah s.w.t. berfirman yang maksudnya:

“Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah isi utama Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya. Padahal, tidak ada yang mengetahui ta'wil[makna lain] nya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal” [Surah Ali Imran: 7]

Perbincangan kita adalah berkenaan bahasan ayat Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat ketujuh ini di mana Allah s.w.t. membagikan ayat-ayat Al-Qur’an kepada dua jenis utama yaitu mutasyabihat dan muhkamat. Fokus kita dalam pembahasan ini adalah fokus tentang memahami pendirian salafus-soleh dan majoritas ulama’ Islam terhadap ayat-ayat mutasyabihat dengan makna yang  terkandung dalam surah Ali Imran ayat ketujuh ini.

Adapun mengenai ayat pertama Surah Hud dan surah Az-Zumar ayat ke-23, maka lafaz muhkam dan mutasyabih dalam kedua ayat tersebut berbeda makna dan penggunaannya  dengan ayat ke-7 surah Ali Imran ini. Oleh sebab itu , kita fokus kepada Surah Ali Imran ayat ke-7 ini, krna tafsir-tafsir Ali Imran ayat ke-7 menurut para ulama tafsir berbeda dengan pembahasan mereka dalam surah Az-Zumar (ayat 23) dan surah Hud (ayat pertama).

maksud Muhkamat dalam surah Ali Imran (ayat ketujuh) berbeda dengan maksud Muhkam dalam surah Hud (ayat pertama) krna Muhkam dalam Surah Ali Imran maksudnya: sesuatu ayat yang tidak samar maknanya,ini bertentangan dengan mutasyabih. Adapun Muhkam dalam surah Hud maknanya adalah suatu ayat itu pasti dan tetap dari Allah sw.t. yang tidak mengandung kebatilan. Itu bukan  lawan kata makna mutasyabih.

Begitu juga maksud Mutasyabih dalam surah Ali Imran berbeda maknanya dengan Mutasyabih dalam surah Az-Zumar krna Mutasyabih dalam surah Ali Imran maksudnya, lafad yang mengandung kesamaran sedangkan Mutasyabih dalam surah Az-Zumar maksudnya, saling menyamai antara satu lafaz dengan lafaz yang lain. Maka, mutasyabih dalam surah Az-Zumar bukan lawan kata muhkam, sedangkan Mutasyabih dalam surah Ali Imran adalah lawan  kata bagi Muhkam dalam surah yang sama.

Imam Al-Qurtubi misalnya, ketika membahas perkataan Muhkam dalam surah Hud ayat pertama, beliau berkata:

وأحسن ما قيل في معنى )) أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ (( قول قَتَادة؛ أي جعلت محكمة كلّها لا خَلَل فيها ولا باطل.

Maksudnya: “Sebaik-baik perkataan yang menjelaskan makna “di putuskan ayat-ayatnya” adalah perkataan Qatadah yaitu: “Dijadikan ayat-ayat Al-Qur’an muhkamah semuanya krna  (ayat-ayat Al-Qur’an) tidaK ADA celaan dan tiada kebatilan padanya…” [Al-Jami’e li Ahkam Al-Qur’an pada surah Hud ayat pertama]

Namun, ketika Imam Al-Qurtubi mentafsirkan perkataan Muhkamat dalam surah Ali Imran ayat ketujuh, beliau berkata:

فقال جابر بن عبد الله، وهو مقتضى قول الشعبي وسفيان الثوري وغيرهما: المحكمات من آي القرآن ما عرِف تأويله وفهم معناه وتفسيره. والمتشابه ما لم يكن لأحد إلى علمه سبيل مما ٱستأثر الله تعالى بعلمه دون خلقه.

Maksudnya: “Jabir bin Abdullah berkata, berdasarkan perkataan As-Syi’bi, Sufian At-Thauri dan sebagainya: “Muhkamat dalam Al-Qur’an adalah apa yang diketahui ta’wilnya dan yang difahami maknanya dan tafsirnya sedangkan Mutasyabih adalah yang tidak ada jalan bagi seseorangpun untuk mengetahuinya krna disembunyikan oleh Allah TENTANG ilmuNya tanpa adanya (pengetahuan) pada makhlukNya” [Al-Jami’e Li Ahkam Al-Qur’an pada surah Ali Imran ayat ketujuh]

Ini jelas menunjukkan pembahasan muhkam dan mutasyabih dalam dua ayat berbeda (antara surah Hud dan surah Az-Zumar) berbeda dengan pembahasan muhkam dan mutasyabih dalam satu ayat yang disertakan kedua perkataan tersebut (Ali Imran ayat ketujuh).

Begitu juga kalau kita lihat dalam tafsir Al-Jalalain menyebut tentang  perbedaan kedua  lafaz muhkam dan mutasyabih dalam surah Ali Imran dengan lafaz muhkam dan mutasyabih dalam surah Hud dan surah Az-Zumar. bunyinya:


{ هُوَ ٱلَّذِى أَنزَلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ مِنْهُ ءَايَٰتٌ مُّحْكَمَٰتٌ } واضحات الدلالة { هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَٰبِ } أصله المعتمد عليه في الأحكام { وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٌ } لاتفهم معانيها كأوائل السور

وجعله كله محكماً في قوله { أُحْكِمَتْ آياته [1:11] بمعنى أنه ليس فيه عيب ومتشابهاً في قوله)) كِتَابَاً مَّتَشَابِهاً [23:39] بمعنى أنه يشبه بعضه بعضاً في الحسن والصدق


Maksudnya: “((Dia yang menurunkan kepadamu Al-Kitab yang di antaranya ada ayat-ayat muhkamat…)) yaitu yang jelas petunjuk (maknanya), ((ia adalah ummul kitab…)) yaitu suatu  hal inti yang dipegang dalam panduan hukum-hukum, ((…dan yang lain adalah mutasyabihat…)) yaitu tidak diketahui maknanya seperti awal-awal Surah…

“Allah juga menyebutkan bahwa Al-Qur’an seluruhnya sebagai muhkam pada firmanNya: “putus/jelas ayat-ayatnya…” (Surah Hud ayat pertama) dengan makna bahwasanya tidak ada aib padanya (keseluruhan Al-Qur’an). Begitu juga Allah s.w.t. menyebut Al-Qur’an (keseluruhannya) sebagai mutasyabih pada firmanNya: ((suatu kitab yang mutasyabih…)) [Surah Az-Zumar: 23] dengan makna:saling menyamai antara sesetengah ayat dengan ayat yang lain dari sudut keindahan dan kebenarannya…” [Tafsir Jalalain: Ali Imran ayat ke-7]

Ini menunjukkan secara jelas, perbedaan antara muhkam dan mutasyabih dalam ayat ketujuh surah Ali Imran dengan maksud muhkam dan mutasyabih dalam surah Hud dan surah Az-Zumar. Oleh krna itulah, yang menjadi fokus pembahasan dalam risalah ini adalah cara berinteraksi para ulama’ salaf dan sebagian ulama’ khalaf terhadap nas-nas mutasyabihat berdasarkan surah Ali Imran ayat ketujuh. Pendirian ini dan fokus ini perlu dijelaskan supaya tidak membahas sesuatu yang tidak tepat pada konteksnya.

Maka, kita fokus kepada tafsir surah Ali Imran ayat ketujuh ini krna pada ayat ini  beredarnya kebanyakkan pembahasan-pembahasan berkenaan nas-nas mutasyabihat yang melibatkan lafaz-lafaz yang dinisbatkan kepada Allah s.w.t..

Pembahasan Pertama: Apa maksud Mutasyabihat (Berdasarkan surah Ali Imran ayat ketujuh)?

Banyak ulama’ meriwayatkan perkataan-perkataan ulama’ salaf dan khalaf tentang makna mutasyabihat tersebut. Itu tidak perlu dibahaskan secara terperinci di sini. krna, semua perkataan-perkataan tersebut adalah perbedaan tanawwu’ yg mana satu sama lain tidak saling bertentangan. Fokusnya adalah: mutasyabihat itu mempunyai kemungkinan makna-makna lain selain makna dhahir. Ini berdasarkan sebagian pendapat ulama’ di antaranya:

Imam At-Tabari, seorang ulama’ tafsir salaf berkata (310 H) dalam tafsir beliau:

وأما قوله: { مُتَشَـابِهَـاتٌ } فإن معناه: متشابهات فـي التلاوة، مختلفـات فـي الـمعنى

Adapun firman Allah s.w.t. ((Mutasyabihat)) maknanya:  sama dari sudut bacaan tetapi berbeda dari sudut makna” [Jamie’ Al-Bayan pada tafsir surah Ali Imran ayat ketujuh]

Imam As-Samarqandi (375 H) juga berkata:

ويقال: المحكم ما كان واضحاً لا يحتمل التأويل والمتشابه: الذي يكون اللفظ يشبه اللفظ والمعنى مختلف

Maksudnya: “Dikatakan: Al-Muhkam itu yang jelas maknanya dan tidak membawa pada ta’wil. Dan mutasyabih adalah yang lafaznya menyamai lafaz lain sedangkan maknanya berbeda. [tafsir Bahr Al-Ulum: Ali Imran ayat ketujuh]

Imam Al-Khazin (725 H) juga meriwayatkan makna tersebut:

)) متشابهات(( يعني أن لفظه يشبه لفظ غيره ومعناه يخالف معناه.

Maksudnya: “((Mutasyabihat)) yaitu lafaznya sama dengan lafaz lain tetapi maknanya berbeda dengan maknanya pada lafad lain tersebut” [Lubab At-Ta’wil: Ali Imran ayat ketujuh]

Lafaz yang hampir sama antara satu sama lain namun mempunyai makna yang berbeda adalah seperti lafaz yadd yang mana jika nisbatnya kepada manusia, adalah suatu anggotaa (tangan) namun jika dinisbahkan kepada Allah, maka maknanya berbeda, krna Allah s.w.t. tidak bersifat dengan anggota badan . kita akan buktikan kemudian.

Imam At-Tabrani (360 H) juga berkata:

وقال بعضُهم: الْمُحْكَمُ هو الذي لا يحتملُ من التأويلِ إلاّ وَجْهاً وَاحِداً، وَالْمُتَشَابهُ مَا احْتَمَلَ وُجُوهاً.

Maksudnya: “Sebagian ulama berkata: “Al-Muhkam itu adalah yang tidak membawa kepada ta’wil melainkan dengan satu sudut makna. Adapun mutasyabih adalah yang mengandungi banyak sudut (makna). [At-Tafsir Al-Kabir pada Ali Imran:7]

Imam Ibn Al-Jauzi berkata dalam kitab tafsirnya:

والرابع: أنه ما اشتبهت معانيه، قاله مجاهد.

“Pendapat (mutasyabihat) yang Keempat:  yang samar maknanya. Ini pendapat Imam Mujahid.”

Imam Al-Baghawi berkata dalam tafsirnya:

وقال محمد بن جعفر بن الزبير: المحكم ما لا يحتمل من التأويل غير وجه واحد، والمتشابه ما احتمل أوجهاً.


Muhammad bin Ja’far bin Az-Zubair berkata: “Muhkam adalah yang tidak mengandungi kemungkinan ta’wil melainkan hanya satu sudut makna. Mutasyabih adalah yang mengandungi banyak sudut kemungkinan (maknanya). [tafsir Al-Baghawi: surah Ali Imran ayat 7]

Pembahasan Kedua: Adakah nas-nas seperti yadd, istiwa’ dan sebagainya adalah nas-nas mutasyabihat?

Sebagian ulama’, bahkan majoritas ulama’ Ahlus-Sunnah menegaskan, nas-nas seperti yadd Allah, wajh Allah, istiwa, nuzul dan sebagainya adalah nas-nas mutasyabihat.

Di Antara bukti-buktinya adalah:

- Berdasarkan Kitab-kitab Tafsir

Imam Abu Hayyan berkata dalam tafsirnya pada surah Ali Imran ayat ketujuh:

وقيل: المتشابهات ما لا سبيل إلى معرفته، كصفة الوجه، واليدين، واليد، والاستواء.

Maksudnya: “Dikatakan: “Mutasyabihat ( adalah) yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya (makna dan hakikatnya) seperti sifat wajh (Allah), Al-Yadain (jika di nisbah kepada Allah), Al-Yadd (jika nisbah kpd Allah) dan istiwa’. [Al-Bahr Al-Muhith: Surah Ali Imran ayat ketujuh]

Ini menunjukkan pendapat Imam Abu Hayyan r.a., nas-nas seperti yadd dan istiwa adalah sebagian daripada nas-nas mutasyabihat yang mengandung pelbagai kemungkinan maknanya sebagaimana yang disebutkan sebelum ini.

Imam Abu Hayyan (754 H) berkata lagi:-

)) فيتبعون ما تشابه منه((

قال القرطبي: متبعو المتشابه إما طالبو تشكيك وتناقض وتكرير، وإما طالبو ظواهر المتشابه: كالمجمسة إذ أثبتوا أنه جسم، وصورة ذات وجه، وعين ويد وجنب ورجل وأصبع.


Maksudnya:

“((mereka yang mengikuti kesamaran daripadanya)):

“Imam Al-Qurthubi berkata: Mereka adalah yang mengikut mutasyabihat apakah menginginkan utk meragukan, atau mendakwa ada pertentangan dalam Al-Qur’an atau pengulangan. Ataupun, mereka yang meninginkan dhahir-dhahir mutasyabih seperti golongan mujassimah yang menetapkan bahawasanya Allah itu jisim, menetapkan rupa bentuk bagi zat itu adalah wajah, menetapkan mata, tangan, bahu, kaki dan jemari bagiNya…”

Jelas menurut  Imam Abu Hayyan, nas-nas seperti yadd dan sebagainya adalah nas-nas mutasyabihat dan menjelaskan bahwasanya, mujassimah menetapkan makna-makna dhahir bagi nas-nas mutasyabihat tersebut dengan menukilkan perkataan Imam Al-Qurthubi r.a..

Imam At-Tabrani (360 H) yang merupakan seorang ulama’ tafsir juga menetapkan nas-nas seperti yadd, istiwa dan sebagainya sebagai nas-nas mutasyabihat dengan menukilkan perkataan ulama’ salaf. Beliau berkata dalam tafsirnya:-

وقال محمدُ بن الفضلِ: (هُوَ سُورَةُ الإخْلاَصِ لأنَّهُ لَيْسَ فِيْهَا إلاَّ التَّوْحِيْدُ فَقَطْ، وَالْمُتَشَابهُ نَحْوُ قَوْلِهِ)) ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ )طه: 5( وَنَحْوُ قَوْلِهِ)) خَلَقْتُ بِيَدَيَّ(( [ص: 75]، وَنَحْوُ ذلِكَ مِمَّا يَحْتَاجُ إلَى تَأَويْلِهَا فِي الإبَانَةِ عَنْهَا((.

Muhammad bin Al-Fadhl berkata: ia (muhkam) adalah Surah Al-Ikhlas krna tiada di dalamnya melainkan tauhid semata-mata. Adapun mutasyabih seperti firman Allah: ((لرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ )) dan firman Allah (خَلَقْتُ بِيَدَيَّ)) dan sebagainya yang memerlukan kepada ta’wil untuk menjelaskannya.

Jelas menurut Imam Muhammad bin Al-Fadhl, ayat-ayat seperti istiwa’ dan yadd Allah adalah nas-nas mutasyabihat yang mempunyai kesamaran dari sudut maknanya.

Imam An-Nasafi (710 H) dalam tafsirnya juga berkata:-

وَأُخَّرُ } وآيات أخر { مُتَشَـٰبِهَـٰتٌ } مشتبهات محتملات. مثال ذلك )) ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ(( طه: 5] فالاستواء يكون بمعنى الجلوس وبمعنى القدرة والاستيلاء، ولا يجوز الأول على الله تعالى بدليل المحكم وهو قوله { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْء } الشورى: 11
Maksudnya: ((Dan yang lainnya)) ayat-ayat ((mutasyabihat)) itu membawa pelbagai kemungkinan (dari sudut maknanya). Contohnya: ((Ar-Rahman atas Al-Arsy beristawa)) (Surah Toha: 5)

Istiwa’ bisa bermakna duduk dan juga bermakna kekuasaan dan penguasaan. Tidak boleh dengan makna pertama (yaitu makna duduk) bagi Allah berdasarkan dalil ((tiada yang menyerupaiNya sesuatupun)) (Surah As-Syura: 11)” [Madarik At-Tanzil: surah Ali Imran: 7]



Menurut Imam An-Nasafi r.a. juga, nas-nas seperti istiwa’ dan sebagainya adalah nas-nas mutasyabihat yang kesamaran maknanya.

Ini jelas menunjukkan banyak ulama’ berpegang bahwasanya nas-nas seperti yadd, istiwa’ dan sebagainya adalah nas-nas mutasyabihat. Ini berbeda dengan pendirian Mujassimah yang menetapkan makna dhahir bagi nas-nas mutasyabihat krna menganggap itu sebagai muhkamat (difahami maknanya dengan makna dhahirnya).

- Berdasarkan kitab-kitab Syarah Hadith

Dan sangat jelas juga   majoritas ulama’ hadith seperti imam An-Nawawi, Imam Ibn Hajar Al-Asqollani, Imam As-Suyuti, Imam Al-Qurthubi, Imam Al-‘Aini Imam Al-Ubbi dan sebagainya berpegang kepada bahwasanya nas-nas seperti yadd, wajh, istiwa’ dan nuzul adalah nas-nas mutasyabihat. Tidak perlu memperincikan maknanya krna sudah jelas aqidah mereka yang tidak memahami nas-nas mutasyabihat ini dengan makna dhahir.

Contohnya:-

Imam Al-Hafiz Al-Karmani (786 H) berkata:

قوله ( في السماء ( ظاهره غير مراد ، إذ الله منزه عن الحلول في المكان

Maksudnya: "Perkataan Allah "fis sama'" maka makna dhahirnya bukanlah yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t. krna Allah s.w.t. tidak bertempat pada tempat manapun, [Fath Al-Bari: 13/412].

Ini merujuk kepada pendirian Imam Al-Karmani dan Imam Ibn Hajar Al-Asqollani yang menukilkannya dalam Fath Al-Bari. Ini menunjukkan pendirian ulama’-ulama’ hadith muktabar bahawasanya nas-nas tersebut adalah nas-nas mutasyabihat. Begitu juga pendirian Imam Muslim dan Imam Al-Qurtubi r.a..

- Berdasarkan kitab-kitab Aqidah

Adapun dalam kitab-kitab aqidah dan tauhid ulama’ Ahlus-sunnah wal jamaah, maka kita dapati banyak nas-nas menunjukkan bahwasanya ayat-ayat seperti yadd, istiwa’ dan sebagainya adalah nas-nas mutasyabihat.

Jika kita rujuk Al-Fiqh Al-Akbar dan syarahnya oleh Imam Mulla Ali Al-Qari, kita dapati Imam Abu Hanifah r.a. dan Imam Mulla berpegang bahwasanya nas-nas seperti yadd dan sebagainya adalah nas-nas mutasyabihat. Begitu juga dalam kitab-kitab seperti Al-Luma’ dan Maqalat Islamiyyin oleh Imam Al-Asy’ari ( ulama’ salaf), kitab Syarh bad’ie Al-Amali oleh Imam Abu Bakr Ar-Razi, kitab Risalah Nizhomiyyah oleh Imam Al-Haramain Al-Juwaini, Al-Asma’ wa As-Sifat oleh Imam Al-Baihaqi, Iljamul Awam oleh Imam Al-Ghazali r.a. dan sebagainya.

Dalam sejumlah sekian kitab-kitab tersebut dan kitab-kitab lain yang tidak ada kesempatan untuk menyebutnya , kesemuanya menukilkan pendapat-pendapat salaf dan khalaf yang menegaskan bahwasanya nas-nas seperti yadd, wajh, istiwa’ dan sebagainya adalah nas-nas mutasyabihat.

Sebagai contoh:-

Imam Al-Baihaqi r.a. meriwayatkan secara bersanad:

سئل الأوزاعي ومالك وسفيان الثوري والليث بن سعد عن هذه الأحاديث التي جاءت في التشبيه فقالوا أمروها كما جاءت بلا كيفية

Maksudnya: “Imam Al-Auzai’e, Imam Malik, Imam Sufiyan At-Thauri dan Imam Laith bin Sa’ad ketika ditanya tentang hadith-hadith yang diriwayatkan yang mengandungi tasybih (dari sudut makna dhahirnya), maka mereka berkata: “lalui bacaannya terhadapnya sebagaimana ia diriwayatkan tanpa kaifiyyat…” [Sunan Al-Baihaqi 3/3 dengan sanad yang kuat]

Ini jelas menunjukkan ulama’ salaf bahwasanya ada hadith-hadith yang mempunyai kesamaran atau makna dhahirnya membawa kepada tasybih sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dengan sanad yang kuat pada perkataan ini. Ini menunjukkan pendirian salafus-soleh bahawasanya nas-nas seperti yadd dan sebagainya adalah nas-nas mutasyabihat.

- Berdasarkan Kitab-kitab Ulum Al-Qur’an

Imam As-Suyuti meletakkan nas-nas seperti yadd, wajh, istiwa’ sebagai nas-nas mutasyabihat dalam kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an. Begitu juga Imam Az-Zarkasyi, meletakkan nas-nas seperti istiwa’, wajh, yad dan sebagainya sebagai nas-nas mutasyabihat dalam kitabAl-Burhan fi Ulum Al-Qur’an [373/376-382]. Boleh rujuk kitab-kitab tersebut.

Imam Az-Zarkasyi berkata:

النوع السابع والثلاثون: في حكم الآيات المتشابهات الواردة في الصفات

Maksudnya: “Jenis Ketigapuluh Tujuh: Hukum Ayat-ayat Muasyabihat pada bab sifat”.

Dalam bab ini, Imam Az-Zarkasyi meletakkan nas-nas seperti yadd, istiwa dan sebagainya sebagai nas-nas mutasyabihat. [ibid]

Begitu juga dalam Mufradat Al-Qur’an pada bab Syabaha di mana Imam Al-Raghib Al-Asfahani meletakkan istiwa’, yadd Allah dan sebagainya sebagai nas-nas mutasyabihat. Begitu juga dalam kitab Manahil Al-‘Irfan fi Ulum Al-Qur’an [2/185-188] karangan Imam Az-Zarqoni.

- Berdasarkan kitab-kitab Ulama’ Mutakhir

Imam Hasan Al-Banna juga turut berpegang bahawasanya nas-nas seperti istiwa’ dan sebagainya sebagai nas-nas mutasyabihat. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi setuju dengan Imam Hasan Al-Banna malah mengakui bahwa itu sebagai pendirian majoritas ulama’, salaf dan khalaf, yang mana Ibn Taimiyyah  di kecualikan dalam hal ini. [rujuk bagian awal fusulun fi Al-Aqidah]

Dr. Yusuf Al-Qaradhawi berkata:

“Realitasnya, bagi siapa yang membaca karangan para ulama' salafus soleh berkenaan ayat-ayat mutasyabihat tersebut, maka dia akan dapati bahwa, kebanyakkan dari mereka meninggalkan usaha untuk mendalami makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut, tidak bersusah-payah untuk mentafsirkannya dengan ungkapan apapun. (Ini manhaj tafwidh menurut salafus soleh).

"Perkara ini jelas bahkan, hampir tahap muttafaqun alaih (disepakati oleh ulama') sebelum kelahiran Sheikhul Islam Ibn Taimiyah dan madrasahnya (pemikiran dan manhajnya yang menyendiri)…” [Fusulun fil Aqidah 40-41]. Rujuk juga kata-kata aluan beliau dalam buku Al-Qaul At-Tamam karangan Ustaz Sheikh Saif Al-‘Ashri.

Jelas menurut Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, nas-nas seperti yadd, istiwa’ dan sebagainya adalah nas-nas mutasyabihat yang tidak difahami oleh ulama’ salaf dengan makna dhahirnya. Ini juga pendirian Imam Hasan Al-Banna. Begitu juga pendirian Sheikh Dr. Al-Buti dalam buku As-Salafiyyah.

Malah, Dr. Suhaib As-Saqqar dalam tesis PhD-nya bertajuk At-Tajsim fi Al-Fikr Al-Islami juga menukilkan sejumlah dalil dan bukti bahawasanya menurut salafus-soleh, nas-nas seperti yadd dan sebagainya adalah ayat mutasyabihat. silahkan rujuk tesis tersebut. Begitu juga buku-buku lain seperti Ibn Taimiyyah Laisa Salafiyyan oleh Sheikh Manshur Muhammad, Mauqif As-Salaf min Al-Mutasyabihatoleh Dr. Muhammad Abdul Fadhil dan sebagainya.

Pembahasan Ketiga: Nas-nas Mutasyabihat tidak difahami dengan makna dhahir?

Memang benar. Nas-nas mutasyabihat tidak difahami dengan maknanya dari sudut bahasa (makna dhahir) krna tidak sesuai berdasarkan petunjuk-petunjuknya. Khususnya, pada nas-nas mutasyabihat yang melibatkan lafaz-lafaz yang  samar maknanya tatkala dinisbahkan kepada Allah s.w.t. krna Allah s.w.t. Maha Suci daripada makna dhahir bagi lafaz-lafaz tersebut.

Di Antara nas-nas mutasyabihat tersebut adalah seperti yad Allah, istiwa’ Allah, nuzul, ‘ain dan sebagainya yang merupakan nas-nas mutasyabihat yang mana makna dhahirnya (maknanya dari sudut bahasa) membawa kesamaran dan tidak layak bagi keagungan Allah s.w.t..

Kita kemukakan sebagian buktinya dengan bantuan Allah s.w.t. berdasarkan perkataan salafus-soleh khususnya dan ulama’-ulama’ muktabar yang lain.

Imam Al-Baihaqi (ulama’ hadith yang agung) meriwayatkan:

“Imam Ahmad bin Hanbal mengingkari mereka yang menyifatkan Tuhan dengan kejisiman. Beliau (Imam Ahmad) berkata: Sesungguhnya, nama-nama Allah itu diambil daripada syariat dan bahasa. Adapun ahli bahasa meletakkan nama tersebut kepada maksud jisim-yakni dengan sesuatu yang ada ukuran ketinggian, ukuran lebar, tersusun dengan beberapa anggota, mempunyai bentuk dan sebagainya, sedangkan Maha Suci Allah s.w.t. daripada  apapun sifat kejisiman tersebut (Maha Suci Allah s.w.t. daripada makna-makna lafaz mutasyabihat tersebut dari sudut bahasa)” [Manaqib Imam Ahmad oleh Imam Al-Baihaqi]

Ini jelas bahawasanya menurut Imam Ahmad bin Hanbal r.a., lafaz-lafaz seperti yadd dan sebagainya dari sudut bahasanya mengandung makna kejisiman yang tidak layak bagi Allah s.w.t.. Maknanya, nas-nas tersebut tidak perlu difahami dengan maknanya dari sudut bahasa. Inilah pendirian salafus-soleh.

Imam Al-Qadhi Iyad meriwayatkan pendirian Imam Malik r.a. dengan berkata:

رحم الله الإمام مالكاً فلقد كره التحديث بمثل هذه الأحاديث الموهمة للتشبيه والمشكلة المعنى

Maksudnya: “Semoga Allah merahmati Imam Malik r.a.. Beliau sangat membenci berbicara tentang hadith-hadith yang membawa kesamaran tasybih dan kekeliruan maknanya…” [As-Syifa’ 2/542]

Jelaslah menurut Imam Al-Qadhi Iyad bahwasanya, ada hadith-hadith yang membawa waham tasybih dan maknanya sukar difahami. Apa sebabnya? Ini krna, berdasarkan makna lafaz-lafaz tersebut dari sudut bahasa, membawa makna kejisiman yang tidak layak bagi Allah s.w.t.. Kalau lafaz-lafaz tersebut perlu difahami dengan makna dhahir, maka tidak timbul kekeliruan dan tidak timbul juga prasangka bahwasanya itu adalah tasybih. Timbul prasangka begitu krna makna dhahir bagi nas-nas mutasyabihat tersebut tidak layak bagi Allah s.w.t..

Sheikh Mahmud Khitab As-Subki berkata:

“…Oleh krna itu, telah sepakat Salaf dan Khalaf akan ta’wil dengan ta’wil ijmali yaitu memalingkan lafaz daripada makna dhahirnya yang mustahil bagi Allah…” [Ittihaf Al-Ka’inat: 167]

Imam Al-Qurthubi berkata:

مذهب السلف ترك التعرض لتأويلها مع قطعهم باستحالة ظواهرها

Maksudnya: “Mazhab Salaf adalah, meninggalkan usaha ta’wilnya beserta ketegasan mereka bahawasanya dhahir (mutasyabihat) itu mustahil…” [Syarh Jauharah At-Tauhid: 167]

Imam Al-Hafiz Al-Karmani, seorang ulama’ hadith yang agung (786 H), menjelaskan tentang aqidah ini:

قوله ( في السماء ( ظاهره غير مراد ، إذ الله منزه عن الحلول في المكان

Maksudnya: "Perkataan Allah "fis sama'" maka makna dhahirnya bukanlah yang dimaksudkan oleh Allah s.w.t. krna Allah s.w.t. tidak bertempat pada tempat manapun, [Fath Al-Bari: 13/412]

Imam Ibn Hajar Al-Asqollani berkata tentang nas-nas mutasyabihat:

“...sedangkan dhahirnya bukan dimaksudkan (oleh Allah)...” [Fathul Bari 1/272]

Imam An-Nawawi juga berkata:

وهو مذهب جمهور السلف وبعض المتكلمين، أنه يؤمن بأنها حق على ما يليق بالله تعالى وأن ظاهرها المتعارف في حقنا غير مراد

Maksudnya: “ mazhab jumhur Salaf dan sebagian mutakallimin bahawsanya seseorang itu beriman dengan (nas mutasyabihat) bahwa itu benar daripada Allah s.w.t. dengan makna yang sesuai dengan Allah serta (makna) dhahir yang diketahui di sisi kita bukanlah yang dimaksudkan...” [Syarah Muslim 6/36]

Imam Badruddin Ibn Jama’ah berkata dalam menjelaskan lafaz istiwa:

... واتفق السلف وأهل التأويل على أن ما لا يليق من ذلك بجلال الرب تعالى غير مراد، كالقعود والاعتدال...

Maksudnya: “Telah sepakat salaf dan ahli ta’wil bahwasanya apa saja makna yang tidak sesuai bagi Allah (termasuklah makna dhahir) itu tidak dimaksudkan oleh Allah s.w.t. seperti (makna dhahir istiwa sebagai) duduk...” [Idhah Ad-Dalil fi Qat’ie Hujaj Ahl At-Ta’thil m/s 103]

Imam Fakhruddin Al-Razi (ulama’ aqidah) juga menjelaskan bahwasanya, nas-nas mutasyabihat tidak boleh dipegang dengan makna dhahirnya dalam kitab Asas At-Taqdis. Begitu juga jika kita merujuk Iljam Al-‘Awam oleh Imam Al-Ghazali r.a..

Imam Ibn Khaldun (ulama’ ahli sejarah Islam) berkata:

أما السلف فغلبوا أدلة التنزيه لكثرتها ووضوح دلالتها وعلموا استحالة التشبيه وقضوا بأن الآيات من كلام الله فآمنوا بها ولم يتعرضوا لمعناها ببحث…

Maksudnya: “Adapun salaf, maka dalil-dalil tanzih telah banyak dan jelas petunjuknya, maka mereka (salaf) mengetahui kemustahilan tasybih dan menetapkan bahwasanya ayat-ayat daripada kalam Allah maka mereka beriman dengannya namun tidak berusaha untuk membahaskan tentang makna-maknanya… [Muqoddimah Ibn Khaldun: 395]

Sheikh Sulaiman bin Umar Al-Jamal As-Syafi’e berkata dalam Hasyiyah Tafsir Al-Jalalain m/s 149:

“Manhaj Salaf menyerahkan ilmu tentang makna mutasyabihat kepada Allah s.w.t. setelah memalingkannya daripada dhahirnya…”

Imam Al-Utbi (ulama’ hadith) berkata:

ومذهب أهل الحق في جميع ذلك أن يصرف اللفظ عن ظاهره المحال

Maksudnya: “Mazhab Ahli Al-Haq pada setiap (nas-nas mutasyabihat) ialah, memalingkan lafaz daripada makna dhahirnya yang mustahil (bagi Allah)…” [Syarah Sahih Muslim 2/385]

Imam Mulla Ali Al-Qari berkata:

وبكلامه وبكلام الشيخ الرباني أبي إسحاق الشيرازي وإمام الحرمين والغزالي وغيرهم من أئمتنا وغيرهم يعلم أن المذهبين متفقان على صرف تلك الظواهر

Adapun perkataannya (Imam An-Nawawi) dan perkataan Imam Abu Ishaq As-Syirazi, Imam Al-Haramain, Imam Al-Ghazali dan sebagainya dari kalangan para imam kita dan sebagainya diketahui bahwasanya kedua mazhab (tafwidh dan ta’wil) bersepakat untuk memalingkan lafaz daripada (makna) dhahirnya…” [Mirqat Al-Mafatih 2/136]

Imam Az-Zarkasyi (ulama’ tafsir yang besar dalam Islam) berkata:

قلت: وإنما حملهم على التأويل وجوب حمل الكلام على خلاف المفهوم من حقيقته لقيام الأدلة على استحالة المتشابه والجسمية في حق البارئ تعالى

Maksudnya: “Saya katakan: Mereka menta’wil nas-nas mutasyabihat krna kalam (mutasyabihat) berlainan dengan mafhumnya (dari sudut bahasa) pada hakikatnya (dhahirnya) krna adanya dalil-dalil yang menunjukkan kemustahilan tasybih dan kejisiman daripada hak Allah s.w.t.. [Al-Burhan pada bab Mutasyabihat]

Oleh kerana itulah, Imam Ibn Al-Jauzi mengkritik mujassimah di zamannya dengan berkata:

قالوا: إن هذه الأحاديث من المتشابه الذي لا يعلمه إلا الله تعالى. ثم قالوا: نحملها على ظواهرها، فواعجباً ما لا يعلمه إلا الله أي ظاهر له؟ فهل ظاهر الاستواء إلا القعود؟ وظاهر النزول إلا الانتقال؟

Maksudnya: “Mereka (mujassimah) berkata: Sesungguhnya hadith-hadith mutasyabihat ini tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Kemudian mereka berkata: “Kita tetapkannya (maknanya) dengan (makna) dhahirnya”. Alangkah peliknya. Apa yang tidak diketahui kecuali Allah itu adalah (makna) dhahirnya? Bukankah makna dhahir istiwa itu tiada lain melainkan duduk? Bukankah tidak ada makna dhahir bagi nuzul melainkan berpindah-pindah (yang makna kesemua makna tersebut tidak layak bagi Allah)?” [Daf Syubah At-Tasybih m/s 34]

Menurut Imam Ibn Al-Jauzi sendiri, nas-nas seperti yadd dan sebagainya adalah nas-nas mutasyabihat.  makna zahir bagi nas-nas tersebut tidak layak bagi Allah s.w.t..

Oleh kerana itu juga, Imam Abu Hayyan ketika menjelaskan makna ayat yang artinya: yang mengikut mutasyabihat" dalam surah Ali Imran ayat tujuh adalah mereka yang berpegang dengan makna dhahir bagi nas-nas mutasyabihat.

))فيتبعون ما تشابه منه(( قال القرطبي: متبعو المتشابه إما طالبو تشكيك وتناقض وتكرير، وإما طالبو ظواهر المتشابه: كالمجمسة إذ أثبتوا أنه جسم، وصورة ذات وجه، وعين ويد وجنب ورجل وأصبع.

Maksudnya: “((mereka yang mengikuti kesamaran daripadanya)) Imam Al-Qurthubi berkata: Mereka adalah yang mengikut mutasyabihat apakah menginginkan utk meragukan, atau mendakwa pertentangan dalam Al-Qur’an atau pengulangan. Ataupun, mereka yang meninginkan dengan dhahir mutasyabih seperti golongan mujassimah yang menetapkan bahwasanya Allah itu jisim, menetapkan rupa bentuk bagi zat itu adalah wajah, menetapkan mata, tangan, bahu, kaki dan jemari bagiNya…” [Al-Bahr Al-Muhith pada ayat tersebut]

Beliau meriwayatkan perkataan Imam Al-Qurthubi ini tanda setuju dengan pendirian Imam Al-Qurthubi r.a. bahwasanya, mujassimah adalah mereka yang menetapkan makna dhahir bagi nas-nas mutasyabihat itu makna kejisiman.


Imam Al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya:-

السادسة: قوله تعالى: { فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَاءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ } قال شيخنا أبو العباس رحمة الله عليه: متبِعو المتشابه لا يخلو أن يتبعوه ويجمعوه طلباً للتشكيك في القرآن وإضلالِ العوامّ، كما فعلته الزنادقة والقرامِطة الطاعنون في القرآن؛ أو طلباً لاعتقاد ظواهر المتشابه، كما فعلته المجسِّمة الذِين جمعوا ما في الكتاب والسنة مما ظاهره الجِسمية حتى ٱعتقدوا أن البارىء تعالى جسم مجسم وصورة مصوّرة ذات وجه وعين ويد وجنب ورجل وأصبع، تعالى الله عن ذلكٰ…



Maksudnya: “Keenam: Firman Allah ((mereka mengikut apa yang samar daripadanya untuk mengkehendaki fitnah dan mengkehendaki ta’wilnya)). Guru kami Abu Al-Abbas berkata: “Mereka yang mengikuti mutasyabihat tidak lain apakah mengikuti mutasyabihat dan menghimpunkannya (menghimpunkan ayat-ayat mutasyabihat untuk menetapkan makna dhahir atau menetapkan kontradiksi antara ayat-ayat Al-Qur’an) untuk membuat keraguan dalam Al-Qur’an dan menyesatkan orang awam sebagaimana yang dilakukan oleh Zindiq, Qaramithoh yang menuduh Al-Qur’an, ataupun percaya/berpegang dengan dhahir-dhahir (makna dhahir) mutasyabih sebagaimana yang dilakukan oleh mujassimah yang menghimpun  yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mana makna dhahirnya mengandungi makna kejisiman, lalu mempercayai Allah itu suatu jisim yang berjisim, suatu rupa yang mempunyai rupa bentuk, yang mempunyai wajah, mata, tangan, sisi, kaki dan jemari yang mana maha suci Allah daripadanya (sifat-sifat tersebut)….”


Begitu juga Imam Al-Alusi dalam Ruh Al-Ma’ani menjelaskan ayat tersebut dengan berkata:

)) فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَـٰبَهَ مِنْهُ(( أي يتعلقون بذلك وحده بأن لا ينظروا إلى ما يطابقه من المحكم ويردوه إليه وهو إما بأخذ ظاهره الغير المراد له تعالى أو أخذ أحد بطونه الباطلة

Maksudnya: “((mereka mengikuti yang samar daripadanya)) yaitu mereka bergantung kepadanya (mutasyabihat) semata dan tidak melihat kepada yang selaras dengannya dalam ayat muhkam untuk dibandingkan (dikembalikan) kepadanya. yaitu apakah mengambil dhahir (mengikut makna dhahir mutasyabihat) yang tidak dimaksudkan oleh Allah atau mengambil suatu makna batin yang batil. [Ruh Al-Ma’ani dalam tafsir surah Ali Imran: 7]

Jelas di sini pendirian Imam Al-Alusi yang menjelaskan bahawasanya makna dhahir bagi mutasyabihat tidak dimaksudkan oleh Allah s.w.t.. Mereka yang menetapkan maknanya dari sudut bahasa adalah mereka yang mengikut yang samar dalam Al-Qur’an yang dicela oleh Allah s.w.t.. Ini jelas berdasarkan tafsiran empat ulama’ besar iaitu Imam Al-Qurtubi, gurunya Abu Al-Abbas, Imam Abu Hayyan dan Imam Al-Alusi r.a..

Malah, secara jelas Imam Al-Qurthubi menisbahkan pegangan ini kepada salafus-soleh dengan berkata:

وقد عرف أنّ مذهب السلف ترك التعرّض لتأويلها مع قطعهم بٱستحالة ظواهرها، فيقولون أمِرّوها كما جاءت.

Maksudnya: Telah diketahui bahawasanya mazhab salaf adalah meninggalkan usaha untuk mencari ta’wil (makna) bagi nas-nas mutasyabihat dengan keteguhan pegangan mereka tentang kemustahilan makna-makna dhahir tersebut (bagi Allah). Mereka berkata: “biarkan (lalui) ia sebagaimana didatangkan…” [Al-Jamie Li Ahkam Al-Qur’an surah Ali Imran: 7]

Imam Az-Zarqani juga berkata:

“Salaf dan Khalaf sepakat bahwasanya makna dhahir bagi nas-nas mutasyabihat tidak dimaksudkan oleh Allah s.w.t. secara pasti…” [Manahil Al-‘Irfan fi Ulum Al-Qur’an: 2/186]

Maka, sekadar keterbatasan ini, kita dapat simpulkan bahwasanya Imam Ahmad r.a., Imam Malik r.a. (berdasarkan riwayat Qadhi Iyad), Imam Abu Hanifah (dalam fiqh Al-Akbar), Imam Al-Baihaqi r.a., Imam Al-Qurthubi r.a., Imam Abu Al-Abbas, Imam Abu Al-Hayyan, Imam Ibn Al-Jauzi, Imam Al-Karmani, Imam Ibn Hajar Al-Asqollani (yang menukilkan perkataan Imam Al-Karmani) dan sebagainya, menjelaskan bahwasanya, nas-nas mutasyabihat tidak difahami dengan maknanya dari sudut bahasa (makna dhahir). Malah, pendirian ini adalah pendirian salafus-soleh menurut Imam Al-Qurthubi dan sebagainya.

Ulama’-ulama’ mutakhir ikut membuktikan pendirian salafus-soleh ini seperti Imam Al-Kauthari dalam Maqalat Al-Kauthari dan ta’liqatnya, Imam At-Tabbani dalam Bara’ah Al-Asy’ariyyin, Imam Hasan Al-Banna dalam risalah aqidahnya, Sheikh Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buti dalam buku As-Salafiyyahnya, Sheikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam Fusulun Fi Al-Aqidahnya, Sheikh Dr. Shuhaib As-Saqqar dalam tesis At-Tajsim fi Al-Fikr Al-Islami, Dr. Muhamamd Abdul Fadhil dalam buku Mauqif As-Salaf, Sheikh Manshur Muhammad dalam Ibn Taimiyyah Laisa Salafiyyan, Sheikh Sa’id Fudah dalam Naqd Risalah At-Tadamuriyyah dan sebagainya.

Al-Faqir ila Rabbihi Al-Qawiy Al-Qadir
Raja Ahmad Mukhlis bin Raja Jamaludin Al-Razi

Bersambung ke pembahasan yang ke empat..............

DiNuqilkan Oleh : Bagus Rangin ~ Kertajati-Majalengka

pucukpucuk Agan sedang membaca artikel tentang: Pembahasan INTI Berkenaan dengan Nas-nas Mutasyabihat. Silakan agan copy dan paste atau sebarluaskan artikel ini jika dinilai bermanfaat,Ane juga menyediakan buku terjemahan kitab yang membantah wahabi: 1. buku "bid'ah mahmudah dan bid'ah idhafiyah antara pendapat yang membolehkan dan yang melarang" terjemah dari kitab: albid'atul mahmudah wal bid'atul idhafiyah bainal mujiziina wal maniin" karya Syaikh abdul fattah Qudais Al Yafi"i, 2.Terjemah kitab ‘At Tabaruk Bi As Sholihin Baina Al Muzijiin wa Al Maani’in: Mencari Keberkahan Kaum Sholihin Antara Pendapat yang Membolehkan dan yang Melarang, hub admin: hp/WA 0857-5966-1085.syukron :

*** Dapatkan buku terjemah disini ***

Share this article :

+ komentar + 1 komentar

18 April 2014 pukul 17.29

Salam,

Sedikit pembetulan, sila lihat penjelasan ayat2 muhkam dan mutasyabih dlm http://kajian-quran.blogspot.com/

wajib kita beriman bahwa seluruh ayat2 Al-Quran samada muhkam atau mutasyabih adalah ayat-ayat yg jelas lagi terang. menjadi kufur sekiranya kita mengatakan bahwa ayat2 mutasyabihat itu ayat2 yg kurang jelas atau samar2 sbb Allah menyatakan ayat2 mutasyabihat adalah ayat2 petunjuk "hudan".
Mana mungkin petunjuk atau hudan itu boleh kabur atau samar-samar sbb hudan itulah yg akan menjadikan umat Islam umat terbaik "khaira ummatin".

Posting Komentar

Jangan lupa Tulis Saran atau Komentar Anda

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger