News Update :
Home » » Mengkompromikan antara ayat istawa dan ayat laesa kamistlihi

Mengkompromikan antara ayat istawa dan ayat laesa kamistlihi

Penulis : Bagus Rangin on 30 Juni 2012 | 10.20.00





Pemahaman seseorang tentang lafad lafad dalam al Quran harus dengan makna dhohir/jelas, kecuali jika ada bukti yang menunjukan sebaliknya dari teks-teks lain, atau ijma,maka di sana yang di pakai adalah majaz/kiyasan

Karena itu, perbedaan antara ayat "Dia tidak menyerupai apa pun," dan ayat "istawa" adalah bahwa ayat yang pertama menyangkal kemiripan apa pun kepada Allah. Yang  ke dua, di sisi lain kita menetapkan "istawa". Agar konsisten dengan lafadya, maka kita perlu menetapkan istawa tanpa menetapkan kemiripan dengan sesuatu yang fisik, karena makhluk adalah fisik, yaitu terbatas dan kuantitatif, dan oleh karena itu,mahluk membutuhkan Allah untuk menciptakannya. Itulah sebabnya mengapa salaf berkata "istawa bi-laa kayf," "istawa tanpa bagaimana" .


Ini sudah cukup, tetapi jika Anda ingin rincian ......maka kita simak penjelasan berikut:
Memahami ayat "Dia tidak menyerupai apapun"


Ketika kita ingin memahami "Dia tidak menyerupai apa pun," kita perlu mengerti apa makna dan indera yang eksklusif yang ada pada ciptaan. Kita juga perlu mengidentifikasi makna dan indera yang ada dalam sifat ciptaan , sehingga kita tidak berujung dengan percaya bahwa Allah berbeda dengan ciptaan-Nya dalam arti yang sama seperti makhluk  berbeda antara satu sama lainnya. Setelah semua itu, segala sesuatu yang diciptakan berbeda antara satu sama lainnya dalam beberapa bentuk,halus atau kasar walaupun beda dalam waktu atau lokasinya. Jika kita memperhatikan ini, kita faham bahwa  "segala sesuatu ciptaan berbeda dari yang lainnya," dan itu tetap ada kesamaan.  


Sebelum kita lanjutkan,  supaya menjadi jelas maka ayat: "Dia tidak menyerupai apa pun," adalah meniadakan sesuatu kesamaan dari Allah, ini berbeda dgn penetapan, seperti "istawa dgn makna dhohir yakni semayam" ini berkaitan dengan dzat allah ,dan kita dilarang memikirkan makna tentang dzat Allah.dan Kita tidak dilarang merenungkan dan berfikir tentang ciptaan,maka tidak salah ketika mengidentifikasi sesuatu makna dan indera yang  ada pada ciptaan Allah,untuk menafikan adanya hal itu dari allah karna ini jelas tidak berfikir tentang dat Allah. Makna dan bentuk yang ada pada ciptaan itu menjadi bukti bahwa semua itu perlu memiliki seorang pencipta. merenungkan dan berfikir tentang hal ini dianjurkan dalam Quran, seperti dalam:


إن في خلق السماوات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب

Artinya: "Sesungguhnya dalam penciptaan Langit dan Bumi, dan perbedaan malam dan siang ada tanda-tanda bagi mereka yang memiliki pikiran perseptif." (Aal `Imran, 190)


أفلا ينظرون إلى ٱلإبل كيف خلقت

Artinya: "apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan?"


Berdasarkan hal ini, ketika kita melihat ciptaan, kita melihat bahwa makhluk memiliki jumlah dan batas, yaitu mereka memiliki ukuran fisik. Kami juga melihat bahwa mereka datang ada dengan berbagai bentuk, jenis dan kemiripan dalam sisi jumlah dan batas. walau pun Mereka tidak selalu mirip satu sama lain dalam segala aspek, karena mereka memiliki batas waktu , lokasi, atribut, dll yang berbeda , tapi mereka semua sama memiliki sifat yang terbatas dan kuantitatif. Jadi kursi, misalnya, sangat berbeda dengan manusia, tetapi mirip dalam beberapa aspek, seperti dalam memiliki berat dan volume,juga ukuran


Dari hasil pengamatan ini, kita tahu bahwa Allah bukanlah sesuatu yang terbatas, bukan sesuatu yang dapat diukur atau kuantitatif, karena Allah tidak hanya berbeda dari ciptaan  seperti berbedanya antara mahluk satu sama lainnya. Dia benar-benar berbeda dari ciptaan, bukan sesuatu yang terukur, terbatas atau kuantitatif. begitu juga sifat Allah .

Perhatikan bahwa bahkan ketika kita menggunakan kata yang sama ketika merujuk kepada atribut yang diciptakan/mahluk seperti ksts yang kita gunakan untuk atribut Allah, seperti pengetahuan, maka kita tahu bahwa maknanya benar-benar berbeda dalam arti bahwa  Pengetahuan Allah bukanlah sesuatu yang terbatas, dan tidak di lokasi, seperti di otak, tidak seperti kita,juga ilmunya Tidak bertambah atau berkurang, tidak seperti kita. Pengetahuan kita adalah kuantitatif  dan terbatas dll.


Kita juga dapat mengatakan seperti ini; dunia di sekitar kita penuh dengan entitas yang memiliki ukuran, meskipun mereka berbeda dalam atributnya seperti bentuk, kepadatan dan ukurannya, dll semacam yang semacam ini, bagaimanapun hal-hal dengan ukuran, adalah sama adfa di antara semua ciptaan. Karena Allah bukan jenis yang sama seperti ciptaan, maka Dia bukanlah sesuatu dengan ukuran, dan tidak di tempat. Selanjutnya, kita juga dapat mengatakan bahwa karena tempat adalah ciptaan, dan tempat juga adalah sesuatu selain Allah, maka Dia tidak di dalamnya, karena Dia ada sebelum adanya tempat itu.


Untuk penjelasan lebih lanjut dari arti "Dia tidak menyerupai apa pun," kita mengambil bukti dari perkataan Abu Hanifah ketika menunjukkan absurditas femahaman seorang ateis: "Anda tidak akan bisa membayangkan satu kapal berjalan tanpa seseorang yang menjalakan dan mengurusannya, Namun Anda malah berpikir bahwa seluruh dunia dan isinya  ini, yang berjalan secara beraturan dan tepat, itu tidak ada pengatur dan pemiliknya ", Ambillah  juga bukti akan keberadaan Allah  .Setiap daun bentuknya hampir sama. Serangga, lebah madu, sapi, kambing, dan rusa hidup dari adanya pepohonan dan. . Setelah makan serangga ini menghasilkan sutra; lebah menghasilkan madu; rusa menghasilkan misk ( jenis wewangian), sapi dan kambing memberikan susu" juga memiliki" Selisih bahasa,suara,  yang berbeda,ini adalah bukti bahwa Allah (Subhanahu wa ta `ala) ada!"

Bukti seperti ini disebut argumen berdasarkan desain, urutan yang ada pada ciptaan, dan semua itu juga ditemukan al Quran. Quran tidak memiliki bukti logis yang cacat, jadi kita bisa berasumsi bahwa argument ini sah. Jika Anda perhatikan dengan teliti-bukti seperti itu  dan juga bukti lain yg seperti itu, maka Anda dapat mendeteksi arti ayat; bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya. Hal ini karena ketika kita menentukan atribut ciptaan yang menjadikan jelas bahwa semua itu perlu pencipta, maka Anda dapat mengetahui bagaimana atribut Sang Pencipta pasti tidak memiliki sifat2 seperti itu. Anda dapat mengetahui hal ini, karena Allah tidak  membutuhkan Pencipta.


 semua bukti itu memberikan contoh  dan petunjuk bagaimana suatu bentuk ciptaan/kreasi itu perlu spesifikasi fisik untuk menjadi ada. seperti di mana lokasinya ? Berapa volumenya? Apa kuantitasnya? bagaimana ukuran? Apa bentuknya ? Bagaimana lebarnya? Apa warnanya?Apa rasanya? Apa batas-batasnya? Dimana ? Seberapa cepat ? Dll, Semua atribut seperti itu perlu spesifikasi. Jadi dalam hujah logis Abu Hanifah tadi , misalnya, ia menyatakan bahwa kapal memiliki (spesifikasi] ? Apa, berapa,bagai mana)?? sehingga kapal terus  berjalan bolak-balik (arah, bagaimana kecepatan dan ke mana  ?), dll

Jelas atribut seperti itu perlu pencipta, karena mereka menerima spesifikasi. Ini berarti bahwa semua itu memiliki awal permulaan, karena menjadi ada dan ditentukan keadaanya itu membutuhkan titik waktu. maka kemudian jelas , Allah bukanlah sesuatu yang berlaku spesifikasi fisik , sehingga Dia bukan jisim/bentuk/fisik, dan karena itu Allah tidak menempat, karena jisim/fisik adalah sesuatu yang menempat. Ulama besar dari Salaf yakni At-Tahaawi menyatakan:

{Allah maha suci dari memiliki batas, sudut, anggota badan atau instrumen,juga Keenam arah atas, bawah, depan, belakang, kiri dan kanan {tidak mencakupNya, tidak seperti semua makhluknya}.

Hal yang sama dinyatakan oleh manusia yang paling fasih dalam riwayat Muslim dan Al-Baihaqi:


اللهم أنت الأول فليس قبلك شيء وأنت الآخر فليس بعدك شيء وأنت الظاهر فليس فوقك شيء وأنت الباطن فليس دونك شيء

"Ya Allah, Engkau adalah al awwal, sehingga tidak ada sesuatu sebelum engkau, dan engkau adalah al akhir sehingga tidak ada sesuatu setelah engkau. engkau adalah Al-dhaahir dan tidak ada sesuatu di atas engkau. Dan engkau adalah Al-Baatin, dan tidak ada sesuatu di bawah engkau "
Jika tidak ada sesuatu yang di atas-Nya dan tidak ada yang di bawah-Nya, maka ia bukan  jisim/fisik  atau berarah, dan Dia tidak memiliki spesifikasi fisik..

Perbedaan lain dari ayat  "Dia tidak menyerupai apa pun," dan "istawa" adalah bahwa yang pertama adalah jelas maknanya[muhkam] , sedangkan yang kedua tidak jelas [mutasyabihat], "istawa" memiliki kemungkinan banyak makna dalam bahasa Arab. Untuk mengkompromikan antara kedua ayat ini mudah, yaitu dengan memahami ayat "Dia tidak menyerupai apa pun," itu benar-dengan makna secara harfiah, dan memaknai lafad "istawa" dengan salah satu makna dalam bahasa Arab yang tidak bertentangan dengan "Dia tidak menyerupai apa-apa "yakni makna yang tidak memiliki arti berada di tempat atau arah, karena dengan tempat tau arah itu berarti Dia memiliki batas fisik, dan itu akan membatalkan ayat " Dia tidak menyerupai apapun ", dan membuatnya bertentangan

Namun apa alasan bahwa tempat atau arah tidak dapat dikecualikan dari arti literal "Dia tidak menyerupai apapun" itu secara eksplisit telah disebutkan sebelumnya, yaitu bahwa Nabi berkata:


اللهم أنت الأول فليس قبلك شيء وأنت الآخر فليس بعدك شيء وأنت الظاهر فليس فوقك شيء وأنت الباطن فليس دونك شيء

 "Ya Allah, Engkau adalah al awwal, sehingga tidak ada sesuatu sebelum engkau, dan engkau adalah al akhir sehingga tidak ada sesuatu setelah engkau. engkau adalah Al-dhaahir dan tidak ada sesuatu di atas engkau. Dan engkau adalah Al-Baatin, dan tidak ada sesuatu di bawah engkau "

Jika tidak ada yang di atas-Nya dan tidak ada yang di bawah-Nya, maka Dia tidak di tempat atau arah, jadi jika seseorang percaya istawa memiliki arti harfiah Allah berada di tempat atau arah, maka ayat yang jelas [muhkam] "Dia tidak menyerupai apapun "itu hampir tidak memiliki arti, karena semua ciptaan seperti yang kita tahu adalah  menempat dan berarah oleh sebab itu alam itu terbatas dan kuantitatif. juga bertentangan dengan  tex jelas ""  " engkau adalah Al-dhaahir dan tidak ada sesuatu di atas engkau. Dan engkau adalah Al-Baatin, dan tidak ada sesuatu di bawah engkau " "

Perhatikan bahwa hadits ini adalah pujian Allah, dan bahwa nama-Nya dan sifatNya itu memiliki kesempurnaan dan kebesaran. Berada di tempat atau arah bukan merupakan sifat kesempurnaan; secara fisik di tempat yang tinggi bukanlah kebesaran, karena jika begitu, maka Tibet lebih utama dari Makkah. Selain itu, berada dalam arah fisik mengharuskan memiliki batas. lalu Nabi menegaskan dalam ĥadiitħ ini bahwa ketinggian Allah yang disebutkan dalam teks-teks lain bukan ketinggian  secara arah.

Akhirnya, dengan mengklaim bahwa "istawa" berarti di atas  secara fisik ,itu sama dengan  menetapkan batas untuk pencipta dan dengan klaim yang demikian ,maka memungkinkan adanya hal-hal yang terbatas ada dengan tanpa pencipta. Dengan melakukan hal ini,maka akan bertentangan dengan bukti-bukti keberadaan Allah, karena orang tidak akan lagi bisa mengatakan bahwa yang terbatas tidak bisa ada tanpa pencipta.  dan ini menghina Allah dengan menghubungkan kepada-Nya batas.


Bagaimana menangani arti "istawa"


Solusi terbaik adalah hanya dengan mengatakan; kita menetapkan sifat "istawa" dan "tanpa bagaimana dan bukan menetap atau bersentuhan" untuk mematuhi ayat "Dia tidak menyerupai apapun". Dengan cara ini,maka ada satu yang tersisa,yakni apa makna istawa yang tepat dari berbagai makna yang mungkin dari kaidah bahasa Arab,yakni "istawa" yang tidak dalam arti fisik, dan tidak bertentangan teks-teks lain yang sangat jelas [muhkam]   Dengan kata lain,  kita menghindari membatasi arti harfiah istawa karena ayat "Dia tidak menyerupai apapun" dan hadist ""Ya Allah, Engkau adalah al awwal, sehingga tidak ada sesuatu sebelum engkau, dan engkau adalah al akhir sehingga tidak ada sesuatu setelah engkau. engkau adalah Al-dhaahir dan tidak ada sesuatu di atas engkau. Dan engkau adalah Al-Baatin, dan tidak ada sesuatu di bawah engkau "  dan menghindarkan batas kepada Allah juga akan bertentangan dengan banyak ayat, antara lain:


الله لا إله إلا هو له الأسماء الحسنى

:"Tidak ada Tuhan selain Dia, Dia memiliki nama-nama yang baik." (Taahaa, 8)


Sebenarnya bagaimana pun kita tidak harus menetapkan salah satu spesifik makna non-fisik untuk "istawa", karena tidak adanya kejelasan yang qot'i dalam bahasa Arab mana yang dimaksudkan, dan mungkin ada makna yang tidak sampai pada kita. dengsn alasan ini, sebagian besar salaf meninggalkan memberi makna istawa secara rinci ,sehingga mereka berkata "istawa tanpa bagaimana", . Ini dilakukan salaf karena takut berbicara tentang Allah tanpa bukti, dan berujung dengan menetapkan makna yang tidak dimaksudkan oleh Allah.

Perhatikan bahwa ketika Salaf berkata "istawa bi-laa kayf," maksud mereka bukanlah: "tanpa mengetahui bagaimana fisik Allah,. Secara harfiah, bi-laa kayf artinya: "bi-(dengan) laa (tidak ada) kayf (keadaan.) " Karena mereka tahu bahasa Arab dengan baik, dan mereka mengtahui Allah,  mereka menetapkan bahwa Allah bukanlah sesuatu yang fisik atau temporal. Ini tidak seperti kebanyakan orang pada masa sekarang . Dan  menafikan kaif  bermakna sebagaimana yang tadi di sebutkan, ini lebih di jelaskan oleh ulama besar salaf At-Tahaawiy menyatakan:
{Allah maha suci dari memiliki batas, sudut, anggota badan atau instrumen,juga Keenam arah atas, bawah, depan, belakang, kiri dan kanan {tidak mencakupNya, tidak seperti semua makhluknya}. 
Perhatikan bahwa ia mengatakan bahwa enam arah berlaku untuk semua makhluk, termasuk manusia.bukan untuk Allah


Maka menolak istawa bermakna atribut fisik,ini tidak berarti mengingkari sifat istawa.Jika Anda ingin lebih lanjut tentang ini, Al-Imâm al-Hâfizh Ibn al-Jawzi al-Hanbali dengan sangat tegas mengatakan :

“Bila ada yang berkata bahwa menafikan arah dari Allah sama saja dengan menafikan keberadaan-Nya, kita jawab kesesatan ini: ”Jika kalian berpendapat bahwa segala yang ada itu harus menerima sifat menempel dan terpisah maka pendapat kalian ini benar, namun demikian bahwa Allah mustahil dari sifat menempel dan terpisah juga benar dan dapat diterima. Jika mereka berkata: ”Kalian memaksa kami untuk menetapkan sesuatu yang tidak dapat dipahami!”, kita jawab: ”Jika kalian bermaksud dengan sesuatu yang dapat dipahami itu adalah adalah sesuatu yang dapat dikhayalakan dan digambarkan oleh akal, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah tidak boleh dibayangkan seperti itu karena Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Sesungguhnya, segala apapun yang dikhayalkan dan digambarkan oleh akal pastilah merupakan benda yang memiliki warna dan memiliki ukuran, karena khayalan dan gambaran akal itu hanya terbatas pada segala sesuatu yang diindra oleh mata. Khayalan dan gambaran akal ini tidak dapat membayangkan apapun kecuali segala apa yang pernah diindra oleh mata karena gambaran adalah buah dari penglihatan dan indra”. Kemudian jika mereka berkata bahwa pemahaman tersebut tidak dapat diterima oleh akal, maka kita jawab: ”Telah kita jelaskan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah dapat diterima oleh akal. Dan sesungguhnya akal sehat itu tidak memiliki alasan untuk menolak terhadap sesuatu yang logis. Ketahuilah, ketika anda tidak dapat meraih apapun dalam pikiran anda kecuali sesuatu yang pasti merupakan benda atau sifat-sifat benda maka dengan demikian secara logis nyatalah akan kesucian Allah dari dari menyerupai makhluk-Nya. Dan jika anda mensucikan Allah dari segala apa yang ada dalam pikiran dan bayangan anda maka seharusnya demikian pula anda harus mensucikan adanya Allah dari tempat dan arah, juga mensucikan-Nya dari perubahan atau berpindah-pindah”

Namun, perlu diketahui bahwa ketika kemudian sebagian ulama melihat adanya kegiatan  lawan yang menyimpang yang ada pada masanya mencoba untuk menggunakan diamnya para ulama salaf tentang istawa ,untuk menyebarkan kebohongan bahwa Allah adalah fisik, maka beberapa dari ulama memutuskan untuk menyebutkan makna istawa yang spesifik yang non-fisik, seperti menguasai atau dengan makna tinggi drajatNya. karena Hal ini pun terjadi   pada sebagian salaf.hal tadi di lakukan untuk menenangkan dan menyelamatkan pikiran para  awam (yang jauh dari pola pikir dan kemampuan linguistik para sahabat Nabi) sehingga mereka [orang awam] tidak akan terus berpikir tentang masalah ini. Mereka[ulama khalaf] melakukan ini , meskipun kebanyakan dari mereka mengakui bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan tertentu yang qot'i tentang makna tertentu dari lafad istawa, dan memang pendekatan paling aman adalah dengan diam ketika seseorang tidak memiliki pengetahuan tertentu tentang masalah seperti ini, tetapi dengan memberi makna yang sfesifik non fisik pada istiwa ini dianggap masalah kecil dibandingkan bahaya terjerumusnya orang pada kepercayaan Allah jisim yakni sesuatu yang menempat atau arah.


Perhatikan juga bahwa apakah arti non fisik dari teks-teks kitab suci yang memiliki makna fisik itu bisa jelas diketahui atau tidak??, sehingga terkadang ada ketidak sepakatan dalam sikap takwil ketika tidak ada kemungkinan di fahami secara salah,sehingga ada yang takwil pada sebagian dan tafwid pada sebagian nas nas lainnya Jadi misalnya, banyak ulama salaf juga menjelaskan, "Ia[Allah] bersama kalian di manapun kalian berada," dengan " arti maiyah ilmu; kebersamaan pengetahuan,"yakni Allah mengetahui tentang keadaan mahluknya, dan apa yang di lakukannya, dimanapun mereka berada. Jelas ayat ini juga tidak dimaksudkan secara harfiah.

Teks-teks Quran dan hadis penuh dengan ekspresi kiasan seperti itu, dan itu dikenal secara luas. hal itu tidak menyebabkan kebingungan di kalangan para sahabat, karena mereka faham kaidah bahasa arab yang fasih dan juga faham kebiasan waktu itu, dan mereka tahu bahwa Allah tidak terbatas, karena Ia tidak memiliki Pencipta. Mereka[para sahabat] tahu Pencipta mereka dengan kata lain makna fisik bahkan tidak pernah memasuki pikiran mereka, sama seperti ketika Anda mendengar ungkapan: hatimu menyentuhku ," Anda akan langsung faham bahwa itu tidak berarti secara harfiah , karena Anda tahu tidak ada hati loncat keluar dari dada seseorang .

DiNuqilkan Oleh : Bagus Rangin ~ Kertajati-Majalengka

pucukpucuk Agan sedang membaca artikel tentang: Mengkompromikan antara ayat istawa dan ayat laesa kamistlihi. Silakan agan copy dan paste atau sebarluaskan artikel ini jika dinilai bermanfaat,Ane juga menyediakan buku terjemahan kitab yang membantah wahabi: 1. buku "bid'ah mahmudah dan bid'ah idhafiyah antara pendapat yang membolehkan dan yang melarang" terjemah dari kitab: albid'atul mahmudah wal bid'atul idhafiyah bainal mujiziina wal maniin" karya Syaikh abdul fattah Qudais Al Yafi"i, 2.Terjemah kitab ‘At Tabaruk Bi As Sholihin Baina Al Muzijiin wa Al Maani’in: Mencari Keberkahan Kaum Sholihin Antara Pendapat yang Membolehkan dan yang Melarang, hub admin: hp/WA 0857-5966-1085.syukron :

*** Dapatkan buku terjemah disini ***

Share this article :

Posting Komentar

Jangan lupa Tulis Saran atau Komentar Anda

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger