News Update :
Home » » Antara manhaj Salaf, Asy'ariyah dan Salafy [2]

Antara manhaj Salaf, Asy'ariyah dan Salafy [2]

Penulis : Bagus Rangin on 23 Juni 2012 | 21.32.00






Al-Asya’irah dan Salafus Soleh: Dua Manhaj yang Sejalan

Demikian sesudah, pembahasan bahwa golongan salafus soleh secara jumhur bermanhaj tafwidh dan ada juga sebagian dari mereka yang bermanhaj ta’wil. Apapun manhaj mereka, apakah tafwidh ma upun ta’wil, ke duanya pada hakikatnya tidak terlepas daripada ta’wil (memalingkan makna daripada makna asal), apakah secara ringkas (ijmali) maupun secara terperinci (tafsili).

Persoalannya, adakah golongan Al-Asya’irah yang dituduh oleh golongan mutasallifah sebagai yang bertentangan dengan salafus soleh, itu mendatangkan satu manhaj baru selain daripada dua manhaj salafus soleh yang diperbincangkan sebelumnya???.

Tidak sama sekali......!!

Pada Hakikatnya, golongan Al-Asya’irah juga tidak terlepas daripada dua manhaj tersebut,  spsksh ta’wil (yang menjadi manhaj majoritas Al-Asya’irah dalam pembahasan mereka) maupun tafwidh (yang menjadi manhaj sebagian daripada mereka).

Sebenarnya, tidak muncuul pemisahan antara golongan salafus soleh dgn bermanhaj tafwidh sedangkan golongan Al-Asya’irah bermanhaj ta’wil karana dalam kedua golongan itu, ada kedua manhaj tersebut.

Golongan salafus soleh juga tidak terlepas daripada manhaj ta’wil (secara terperinci) dan begitu juga golongan Al-Asya’irah tidak terlepas juga daripada manhaj tafwidh. Ini karena, kedua-duanya bejalan pada asas yang satu yaitu:

“Dalam ayat-ayat mutasyabihat, makna dhahirnya bukanlah yang dimaksudkan dalam ayat tersebut”.

Inilah inti ta’wil itu sendiri, yang mana kedua golongan sepakat mengenai inti dan asas tersebut, walaupun ada yang memberi ta’wilannya sesuai dengan tabiat kiasan Bahasa Arab, dan ada pula yang menyerahkan maknanya kepada Allah s.w.t..

Di sinilah pertentangan antara kedua golongan (Salafus Soleh dan Al-Asya’irah) dengan golongan Mutasallif, yang terasing lagi  sendirian.

Pada hakikatnya, golongan Al-Asya’irah dan golongan As-Salafus Soleh berada dalam faham yang sama, Cuma kadang-kala, sebagian dari mereka menggunakan pendekatan yang lain di banding dengan sebagian yang lain. Itu saja.

Menolak klaim bahwa: “Salafus Soleh Menolak Konsep Ta’wil”

Jangan aneh jika ada dari kalangan mutasallif yang berusaha memenangkan diri mereka, dengan memberi nukilan-nukilan daripada para ulama salafus soleh yang kononnya menolak ta’wil, seterusnya dijadikan hujah untuk menolak golongan Al-Asya’irah.

Pertama, kita sudah jelaskan tadi, bahwa banyak juga dari kalangan ulama’ besar salafus soleh yang menta’wil ayat-ayat mutasyabihat, maka tidak lah golongan salafus soleh keseluruhannya menolak ta’wil secara mutlak.

Kedua, hendaklah difahami bahwa, bukan semua jenis ta’wil ditolak oleh para ulama’ salafus soleh ketika mereka menolak ta’wil.

Ini karena, ta’wil itu ada dua jenis.

Ta’wil Qorib: Berarti, ta’wil yang maknanya sesuai dengan tabiat konsep kiasan dalam Bahasa Arab itu sendiri seperti memberi ta’wil bahwa: yadd (tangan) maksud: kekuasaan. Dalam kaedah Bahasa Arab, ini boleh diterima.

Ta’wil B’id (yang jauh): Berrti, ta’wil yang maknanya tidak sesuai dengan konsep dan kiasan dalam ilmu Bahasa Arab itu sendiri, seperti menta’wilkan yadd dengan maksud: pensil dan sebagainya, yang memang tida ada kaitan langsung dengan kiasan yadd tersebut.

Kebanyakkan para ulama’ salafus soleh menolak ta’wil ba’id (yang jauh) krna itu bercanggah dengan kaedah Bahasa Arab dan konsep kiasan dalam Bahasa Arab itu sendiri. Adapun ta’wil Qorib, maka selagimana ia bersesuaian dalam konteks ayat yang dibincangkan, dan bersesuaian dengan kaedah kiasan dalam Bahasa Arab, maka tidak mengapa.

Ketiga, hendaklah difahami bahwasanya, larangan ta’wil dari ulama’ salaf ITU ditujukan kepada orang-orang awam dan jahil, sebagai langkah menyelamatkan mereka daripada pintu kesesatan.  kArena, orang-orang jahil dan awam tidak layak untuk menta’wilkan ayat-ayat mutasyabihat tersebut, sebab kecetekan ilmu mereka, dan dikhuatirkan akan menjerumuskan mereka ke dalam penyelewengan.

Lihatlah, Imam Malik sendiri menceegah daripada ta’wil dalam satu riwayat, namun dalam riyawat yang lain, beliau sendiri menta’wil nas-nas mutasyabihat seperti menta’wilkan nuzul Allah s.w.t. (turunnya Allah s.w.t.) dengan maksud: turunnya rahmat Allah s.w.t..

Begitu juga dengan Imam Ahmad r.a. yang mencegah ta’wil, tetapi dalam waktu yang sama, beliau sendiri menta’wil banyak  nas-nas mutasyabihat seperti dalam contoh yang diberikan sebelumnya.

Jadi, ta’wil ini bidang khusus bagi mereka yang ahli, bukan kewenangan untuk siapa saja  boleh menta’wil ayat-ayat mutasyabihat tersebut. Jadi, jelaslah bahwa, larangan para ulama’ salaf terhadap ta’wil bukan larangan mutlak, bahkan itu tertuju kepada larangan ta’wil dengan ta’wil ba’id(yang jauh dari makna asal dan kaedah kiasan dalam Bahasa Arab) dan larangan tersebut ditujukan kepada golongan awam dan orang yang tidak layak untuk menta’wilkannya.

Adapun sikap majoritas ulama’ salafus soleh yang tidak menta’wil ayat-ayat mutasyabihat, hanyalah krna sifat wara’ mereka dalam bidang agama, dan krna femahaman mereka dari ayat: “tidaklah mengetahui akan ta’wilnya (mutasyabihat) kecuali Allah…” Mereka berhentikan bacaan di ayat “kecuali Allah” sedangkan majoritas Al-Asya’irah memberhentikan bacaan ayat tersebut pada “kecuali Allah dan para ahli yang mendalami ilmu…”.

Sikap majoritas ulama’ salafus soleh yang tidak menta’wil ayat-ayat mutasyabihat juga adalah krna, di zaman mereka, keperluan untuk ta’wil tersebut tidaklah terlalu  di butuhkan. Adapun di zaman khalaf, di mana banyak orang bukan Arab memeluk Islam, keperluan untuk menghilangkan kesamaran mereka adalah lebih tinggi, khususnya dalam nas-nas mutasyabihat tersebut, sehingga memaksa mereka memberi ta’wilan kepada nas-nas mutasyabihat tersebut, yang sesuai dengan petunjuk dalam ayat tersebut dan yang sesuai dengan kaedah kiasan dalam Bahasa Arab.

Keempat, kita perlu  fahami bahawa, ta’wil-ta’wil yang diberikan oleh para ulama’ Al-Asya’irah khususnya, masih bersifat zhonni (tidak paten), krna itu merupakan hasil ijtihad mereka daripada femahaman dan alat ijtihad mereka dalam masalah tersebut. Jadi, tidak wajib seseorang memahami nas-nas mutasyabihat dengan ta’wilan-ta’wil mereka, bahkan, bagi ahli ilmu, lebih baik mereka mengambil manhaj tafwidh, dengan menyerahkan secara bulat makna tersebut kepada Allah s.w.t. semata. Ini lebih selamat.

Begitu pula, adalah lebih salah lagi, jika seseorang itu, memahami nas-nas mutasyabihat dengan maknanya yang dhahir atau dari sudut bahasa, krna ia merupakan pintu fahama tasybih dan tajsim.

Kalaupun seseorang tidak mau menerima ta’wil, itu tidak masalah jika dia menyerahkan  makna tersebut kepada Allah s.w.t., asalkan dia tidak memahami nas-nas mutasyabihat tersebut dengan maknanya dhahir atau dari sudut bahasa, dan tidak mengkafirkan, menolak dan mengeluarkan mereka yang menta’wilkan nas-nas tersebut daripada agama Islam. Itu satu jenayah dan kejahilan yang nyata.

Jadi, kesimpulannya, jika ada ungkapan daripada salafus soleh yang menolak ta’wil, itu kembali kepada pembahasan yang dibicrakan sebelum ini. Mereka tidak menolak konsep ta’wil tersebut secara mutlak, krna mereka (majoriti salafus soleh) sendiri bermanhaj tafwidh, yang mana tafwidh juga salah satu bentuk ta’wil.

Berbeda dengan Ibn Taimiyah yang menolak ta’wil secara mutlak takkala berinteraksi dengan nas-nas mutasyabihat. Inilah satu bahaya yang besar dan satu ruang fitnah yang cukup bahaya untuk tidak ditutup. Sheikh Ibn Taimiyah, dalam menyalahkan ahlul haq dari golongan Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyah, justru dialah yang sepatutnya perlu kembali kepada salafus soleh, bukan mereka-reka satu versi salaf yang baru.

Kita dapati secara jelas, setelah kembali merujuk pandangan salafus soleh dan para Al-Asya’irah, bahwa sebenatnyanya mereka berada dalam satu manhaj yang selaras, bahkan saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Cuma yang tinggal hanyalah, golongan syaz (terasing) yang mana, mereka menisbahkan diri mereka kepada salafus soleh, padahal penisbahan mereka terhenti  pada Sheikh Ibn Taimiyah dan versi salafnya .

Sekarang, yang tinggal hanyalah ta’asub atau tidak. Seseorang yang ingin terus ta’asub dengan apa yang mereka fahami selama ini, walaupun setelah terbit kebenaran dari pihak yang lain, dan tetap mati-matian untuk hidup dan mati dalam faham yang telah lama mereka pegang.

Sheikh Ibn Taimiyah sendiri menegaskan bahwa, seseorang perlu mengikuti kebenaran, walaupun terpaksa bertentangan dengan gurunya. Demikianlah yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah, takkala beliau menyanggah majoritas ulama’ di zaman beliau, termasuk guru-guru beliau sendiri, seperti Imam An-Nawawi, dengan merasakan kebenaran bertentangan dari femahaman guru-guru beliau .

Namun, berdasarkan kajian ulang yang dilakukan dengan kerap kali, maka penulis juga terpaksa memilih kebenaran yang nampak (di sisi penulis yang faqir) bertentangan dengan Ibn Taimiyah dan versi salafnya, sebaliknya kebenaran itu bersama dengan majoritas umat Islam dari dulu sehingga kini, yaitu bersama-sama dengan golongan salafus soleh dan Al-Asya’irah serta Al-Maturidiyah yang menjadi penerus aqidah selamat salafus soleh. Golongan mutasallif yang memahami apa itu ta’wil, isbat, salafus soleh, Al-Asya’irah dan sebagainya hanya dari kaca mata Sheikh Ibn Taimiyah (taqlid), kami ajak agar sekurang-kurangnya membaca pada lebih banyak lagi ulama’-ulama’ Islam dan karangan-karangan mereka, karena Sheikh Ibn Taimiyah juga seorang ulama’, seperti ulama’-ulama’ yang lain yang pernah di salahkan oleh beliau, yang tidak ma’sum dan tidak terlepas dari kehilapan.

Kesimpulan Bab Pertama

Apa yang telah dibahas sebelumnya, tidak lain dan tidak bukan ialah untuk menjelaskan persamaan femahaman antara golongan salafus soleh dan golongan Al-Asya’irah yang di klaim oleh golongan Mutasallifah dengan saling bertentangan antara keduanya (Al-Asya’irah dengan Salafus soleh).

Segala klaim mereka, terhadap Al-Asya’irah dan manhaj ta’wil tidak tepat bahkan sangkaan mereka bahwa merekalah yang mengikut salafus soleh, bukan Al-Asya’irah tidak tepat.

Hakikatnya, golongan Al-Asya’irah bergerak selaras dengan manhaj aqidah Salafus soleh, dalam dua pendekatan yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain(tafwidh dan ta'wil), khususnya dalam masalah nas-nas mutasyabihat tersebut.

Bukanlah niat di sini untuk menyalahkan siapa pun atau merendahkan martabat siapa pun, krna menurut penulis, semua umat Islam adalah mulia dengan Islam mereka, bahkan semulia-mulia manusia adalah yang paling bertakwa. Tetapi, dalam pembahasan ilmiah, demi maslahat umum umat Islam,  dari kekeliruan dan kesamaran yang bisa mengundang kepada fitnah yang lebih besar, wajar ditutup dan diperjelaskan serta di betulkan, agar masyarakat awam tidak terjerumus dalam fitnah apatah lagi berkaitan dengan aqidah.

Pembahasan ilmiah ini tidak sedikitpun mengurangi keagungan dan pengakuan ilmu ulama’ yang di salahkan (oleh sebagian besar ulama’ Islam yang lain), terutama berkaitan dengan Sheikh Ibn Taimiyah. Benarlah kata Dr. Al-Qaradhawi, Dr. Al-Buti dan guru kami Dr. Umar Abdullah Kamil, bahwa kritikan terhadap Ibn Taimiyah khususnya dalam masalah ini, bukanlah bertujuan untuk merendahkan martabat beliau yang meman tinggi, dan menafikan pelbagai jasa beliau dari sudut lainnya, namun sekedar penjelasan terhadap kesalahan-kesalahan beliau dalam memahami sesuatu, agar kesalah fahaman tersebut tidak dijadikan pintu bagi ahli bid’ah untuk melakukan bid’ah dalam aqidah, terutamanya dengan mengembangkan faham tajsim dan tasybih.

Di samping itu juga, tujuan menjelaskan kesamaran klaim perbedaan antara Al-Asya’irah dengan Salafus Soleh, adalah krna ingin membersihkan golongan yang tidak bersalah, daripada tuduhan yang dilemparkan atas mereka, tanpa asas ilmu yang kukuh.

Dalam bab selanjutnya, akan dibahas pula (dengan izin Allah s.w.t.), berkaitan hakikat golongan ketiga iaitu mutasallifah tersebut, yang terasing daripada kesatuan sawadul Azhom (majoriti umat Islam) khususnya dalam masalah aqidah. Tujuannya membetulkan apa yang salah, bukanlah krna ingin menghina pihak yang dirasakan bersalah, tetapi krna ingin meninggikan martabat mereka, dengan memberi teguran kepada mereka, agar mereka mampu menjadi lebih baik dan lebih sempurna daripada hal mereka sekarang yang memang sudah mulia.

Segala salah hilap dalam pembahasan sebelum, dan kalau ada, dalam pembahasan yang akan datang, pohon keampunan dipinta. Maafkanlah kesalahan dan kejahilan penulis yang faqir ini. Semoga Allah s.w.t. mengampuni alfaqir penulis dan seluruh umat Islam. Seruan kami, hindarilah ta’asub dan bersikap terbukalah.

oleh
Al-Faqir Al-Haqir ila Rabbihi Al-Qawiy Al-Jalil Al-Munazzah 'ani Tasybih wa Tajsim
Raja Ahmad Mukhlis bin Raja Jamaludin

Rujukan-rujukan:

-Al-Qur'an Al-Karim

-Kutub Sitttah (Kitab hadis yang Enam: Sahih Al-Bukhari, Muslim, Sunan Abi Daud, Tirmizi, An-Nasa'i dan Ibn Majah)

-Musnad Imam Ahmad

-Ar-Risalah (karangan Imam As-Syafi'e)

-Al-Ibanah fi Usulid Dianah (dinisbahkan kepada Imam Al-Asy'ari)

-Al-Fiqh Al-Akbar (oleh Imam Abu Hanifah)

-Tafsir At-Tabari (oleh Imam At-Tabari)

-Tafsir Ibn Kathir (oleh Imam Ibn Kathir)

-Tafsir Al-Kabir (oleh Imam Ar-Razi)

-Tafsir Al-Qurtubi (oleh Imam Al-Qurtubi)

-Tafsir As-Sobuni dan Aqidah As-Salaf (karangan Sheikh Ali As-Sobuni)

-Al-Iqtisod fi Al-I'tiqod (karangan Imam Al-Ghazali)

-Iljamul Awam fi Ilmi Kalam (karangan Imam Al-Ghazali)

-Al-Asma' wa As-Sifat (oleh Imam Al-Baihaqi)

-Majalis Ibn Jauzi (oleh Imam Ibn Jauzi)

-Fatawa Ibn Taimiyah (oleh Sheikh Ibn Taimiyah)

-Risalah At-Tadmuriyyah (sebahagian riwayat: Tadammuriyyah) (karangan Sheikh Ibn Taimiyah

-Kitab At-Tauhid (oleh Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab)

-syarah-syarah bagi matan Aqidah At-Tohawiyah karangan beberapa ulama' salafi seperti Bin Baz, Sheikh Uthaimin dan sebagainya.

-Syarah Mukhtasar Aqidah At-Tohawiyah oleh guru kami Sheikh Dr. Umar Abdullah Kamil

-Naq Qowa'id At-Tasybih (karangan Sheikh Dr. Umar Abdullah Kamil)

-Fusulun Fil Aqidah (karangan Sheikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi)

-As-Salafiyyah (karangan Sheikh Dr. Muhammad Sa'id Ramadhan Al-Buti)

-Naqd Risalah At-Tadmuriyyah (karangan Sheikh Sa'id Fudah)

-Wahhabisme dari Neraca Syarak (karangan Sheikh Fuad Al-Rembaui)

dan sebagainya...

DiNuqilkan Oleh : Bagus Rangin ~ Kertajati-Majalengka

pucukpucuk Agan sedang membaca artikel tentang: Antara manhaj Salaf, Asy'ariyah dan Salafy [2]. Silakan agan copy dan paste atau sebarluaskan artikel ini jika dinilai bermanfaat,Ane juga menyediakan buku terjemahan kitab yang membantah wahabi: 1. buku "bid'ah mahmudah dan bid'ah idhafiyah antara pendapat yang membolehkan dan yang melarang" terjemah dari kitab: albid'atul mahmudah wal bid'atul idhafiyah bainal mujiziina wal maniin" karya Syaikh abdul fattah Qudais Al Yafi"i, 2.Terjemah kitab ‘At Tabaruk Bi As Sholihin Baina Al Muzijiin wa Al Maani’in: Mencari Keberkahan Kaum Sholihin Antara Pendapat yang Membolehkan dan yang Melarang, hub admin: hp/WA 0857-5966-1085.syukron :

*** Dapatkan buku terjemah disini ***

Share this article :

Posting Komentar

Jangan lupa Tulis Saran atau Komentar Anda

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger