News Update :
Home » » IBN HIBBAN DAN HADIS-HADIS SIFAT

IBN HIBBAN DAN HADIS-HADIS SIFAT

Penulis : Bagus Rangin on 2 Februari 2012 | 23.11.00






IBN HIBBAN DAN HADIS-HADIS SIFAT

Setelah Al-Sohihain dan Sunan Al-Tirmidzi, kitab hadis kesukaan saya adalah kitab Sahih yang ditulis oleh Imam Abu Hatim Muhammad Ibn Hibban Al-Busti (w.354H).[1] Beliau menggunakan pendekatan lintas disiplin yang sangat saya kagumi setiap kali berusaha memahami kandungan hadis-hadis Nabi Saw. Setiap perintah ataupun larangan, bahkan khabar (berita) dan lain-lain, dimaknai dengan sangat teliti dan selaras dengan kaidah-kaidah yang diterima oleh para fuqaha. Saya sangat berharap para pengkaji hadis mengambil pendekatan ini setiap kali mencoba untuk memahami pesan Rasulullah Saw yang terekam dalam hadis agar terhindar dari sembarang kekeliruan.



Apabila terlibat dalam projek takhrij sekaligus analisis Sahih Ibn Hibban di bawah bimbingan Syeikh Riyad Al-Khiraqi di Damsyik, saya baru tersadar kekayaan ilmu yang terdapat di dalam kitab ini. Kita dapat menemukan di dalamnya berbagai aspek ilmu-ilmu keislaman seperti fiqh, usul, akidah, bahasa Arab, balaghah, dan tentu sahaja ilmu hadis dengan pelbagai cabangnya. Kitab ini ibarat samudera luas yang mengandung pelbagai mutiara yang belum tersentuh tangan-tangan manusia. Berbagai aspek kajian yang pernah dilakukan terhadap kitab ini masih terlalu sedikit berbanding ilmu-ilmu yang terdapat di dalamnya.


A. Hadis-Hadis Sifat

Dalam tulisan kali ini, saya mencuba untuk berbagii bacaan saya berkenaan dengan sikap Ibn Hibban terhadap hadis-hadis sifat. Hadis-hadis sifat yang saya maksudkan adalah pelbagai riwayat yang berasal dari Nabi Saw yang menyebut zat dan sifat-sifat Allah Swt. Dalam kajian Ilmu Kalam, riwayat-riwayat ini melahirkan dua pendekatan para ulama dalam menyikapinya, iaitu tafwid (popular di kalangan ulama generasi salaf) dan takwil (popular di kalangan khalaf). Belakangan ini hadis-hadis tersebut kembali hangat diperbincangkan dalam pelbagai kesempatan dengan pendekatan dan sentuhan yang berbeda-beda.

Saya mengamati bahwa sikap Imam Ibn Hibban dalam hal ini sangat berlainan dengan sikap gurunya, Imam Muhammad bin Ishaq Ibn Khuzaimah (w.311H). Sementara Ibn Khuzaimah cenderung “menetapkan (itsbat)” hadis-hadis itu sesuai dengan dzahirnya tanpa takwil,[2] Ibn Hibban sangat aktif menafsirkan setiap kata yang mengandungi kesan tasybih dalam hadis-hadis tersebut berpandukan kaidah bahasa Arab yang sangat relevan.

Ibn Hibban berpendapat bahawa kata-kata seperti ini mesti dipahami sesuai dengan konteks dan tradisi berbahasa yang hidup di masyarakat Arabia kala itu. Bahasa Arab terkenal sangat kaya dengan pelbagai gaya bahasa (uslub), salah satunya penggunaan tamtsil (perumpamaan) dan tasybih (penyerupaan), dalam praktik perbincangan mereka. Tamthil dan tasybih ini dikenal kemudian dalam perkembangan Ilmu Balaghah dengan sebutan: majaz. Setiap pembaca hadis harus sadar akan adanya aspek majaz ini apabila membaca hadis-hadis Nabi Saw, dan segera menghindari penafsiran hakikat bagi kata-kata majazi.

B. Majaz dalam Hadis

Ibn Hibban, bersama jumhur ulama, berpendapat bahawa hadis mengandung majaz sebagaimana Al-Qur’an dan teks-teks berbahasa Arab lainnya. Sebab majaz adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi berkomunikasi yang dilakukan bangsa Arab.[3] Ibn Hibban bahkan membuat tarjamah (tajuk hadis) seperti ini: “Menyebutkan hadis yang menunjukkan bahwa lafaz-lafaz ini yang berasal daripada kategori ini menggunakan lafaz-lafaz tamtsil dan tasybih sesuai dengan tradisi masyarakat (Arab) tanpa menghukumkan dengan dzahirnya.”

Beliau lalu meriwayatkan hadis qudsi yang berisi perbincangan antara Allah Swt dan seorang hamba pada hari kiamat. Allah berkata kepadanya: “Wahai anak Adam, aku sakit kenapa engkau tidak menjengukku? Manusia itu berkata: Wahai tuhan, bagaimana aku menjenguk-Mu padahal engkau adalah tuhan alam semesta? Allah berfirman: Tidakkah engkau tahu bahwa hambaku Si Polan tengah sakit, namun engkau tidak menjenguknya. Tidakkah engkau tahu, bahawa jika engkau menjenguknya, engkau akan menemukan Aku di sisinya.”[4]


Ibn Hibban menjadikan hadis ini sebagai hujah bahawa Allah dan Rasul-Nya menggunakan kalimat-kalimat majaz tanpa menginginkan makna hakikat kata tersebut (“Aku sakit, mengapa engkau tidak menjenguk-Ku?”). Kalau begitu, maka menjadi kewajiban manusia untuk menangkap dengan teliti pesan yang disampaikan tanpa terjerumus dalam kekeliruan.

Atas dasar itu, Ibn Hibban berusaha menafsirkan setiap hadis yang menyebutkan sifat-sifat Allah, yang dzahirnya nampak menyerupai sifat-sifat makhluk, dengan cara yang tidak berlawanan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab. Di bawah ini, saya akan menyebutkan beberapa contoh praktik dari metod penafsiran Ibn Hibban semoga memberikan gambaran yang lebih jelas tentang perkara ini.


1. “Diri (nafs)” Allah, “berjalan” dan “berlari”

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda: Allah Swt berfirman: “Aku sebagaimana persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Dan aku bersamanya selama ia menyebut-Ku. Barangsiapa yang menyebut-Ku di dalam dirinya, maka Aku akan menyebutnya di dalam diri-Ku (nafsi). Jika ia menyebut-Ku di dalam kumpulan manusia, maka Aku akan menyebutnya di dalam kumpulan yang lebih baik. Jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa. Dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari.”
Ibn Hibban berkata: “Allah Swt terlalu agung dan tinggi untuk dinisbahkan baginya sifat-sifat makhluk, sebab tidak ada yang menyerupai-Nya sedikitpun. Kata-kata ini digunakan sesuai dengan tradisi (taaruf) yang berlaku di kalangan masyarakat.
Barangsiapa yang menyebut Allah Swt di dalam dirinya dengan ucapan atau perbuatan yang mendekatkan diri kepada-Nya, Allah akan menyebutnya di dalam kerajaan Malakut-Nya dengan maghfirah sebagai tanda kemurahan-Nya. Dan sesiapa yang menyebut tuhannya di dalam sekumpulan hamba-hamba-Nya, Allah akan menyebutnya di sisi para malaikat muqarrabin dengan maghfirah dan menerima zikirnya.


 Barangsiapa yang mendekat kepada tuhannya dengan melakukan ketaatan sekedar satu hasta, maka maghfirah lebih dekat kepadanya sekedar satu depa.Barangsiapa yang mendatangi amalan-amalan ketaatan dengan cepat seperti berjalan, maka pelbagai rahmat, maghfirah dan kasih saying Allah akan mendatanginya dengan lebih cepat seperti berlari. Allah lebih tinggi dan lebih agung.”[5]



2. “Tangan” Allah

Dari Abu Hurairah, telah bersabda Abu Al-Qasim Saw: “Tidaklah seorang hamba bersedekah dari hasil yang halal -dan Allah hanya menerima dari yang halal dan hanya yang halal yang terangkat ke langit- melainkan sedekah itu seolah-olah diletakkan di tangan Allah yang Maha Pengasih ...” hingga akhir ke hadis.

Ibn Hibban berkata: “Kalimat (seolah-olah diletakkan di tangan Allah yang Maha Pengasih) menjelaskan bagimu bahawa hadis-hadis ini menggunakan lafaz tamtsil tanpa ada hakikatnya atau diketahui kaifiatnya. Sebab lawan bicara (mukhatab) tidak memahami (pesan) seperti ini melainkan dengan kata-kata yang disebutkan dengannya.”[6]

Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah bahwa Nabi Saw bersabda: “Tangan kanan Allah sangat penuh, tidak berkurang karena perbelanjaan. Selalu memberi di waktu siang dan malam. Tahukah kamu berapa banyak yang telah Allah belanjakan sejak menciptakan langit dan bumi? Sesungguhnya ia tidak mengurangi apa yang ada di sisi-Nya. Tangan yang lain menggenggam, mengangkat dan menurunkan. Dan Arasy-Nya di atas air.”

Ibn Hibban berkata: “Hadis-hadis yang disebutkan ini membuat orang yang tidak menguasai ilmu menyangka bahawa ahli hadis adalah musyabihah (menyerupakan Allah dengan makhluk). Kami berlindung kepada Allah daripada terlintas pikiran itu di benak satu orangpun ahli hadis.

Akan tetapi, hadis-hadis ini menggunakan tamthil (majaz) untuk sifat Allah sesuai dengan (tradisi berbahasa) yang dikenal oleh masyarakat tanpa menyebutkan kaifiat sifat-sifat Allah. Maha tinggi tuhan kami daripada diserupakan dengan makhluk atau disebutkan kaifiat sifat-sifat-Nya. Sebab tidak ada yang menyerupai-Nya sedikitpun.”[7]


3. “Kaki” Allah

Dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw bersabda: “Dilemparkan (ahli neraka) ke dalam Neraka, dan Neraka terus berkata: tambahkan lagi. Sehingga Allah Swt meletakkan kaki (qadam)-Nya di dalam Neraka, maka ia berkata: cukup, cukup.”

Berkata Ibn Hibban: “Hadis ini termasuk hadis-hadis yang menggunakan tamtsil mujawarah. Pada hari kiamat, dicampakkan ke dalam Neraka manusia-manusia dan tempat-tempat yang dilakukan maksiat di dalamnya. Neraka terus meminta untuk ditambahkan, sehingga Allah Swt meletakkan tempat (berpijak) orang-orang kafir dan tempat-tempat maksiat itu di dalam Neraka. Maka penuhlah Neraka, sehingga ia berkata: cukup-cukup.

Bangsa Arab menggunakan di dalam bahasanya lafaz kaki (qadam) untuk makna: tempat (berpijak). Allah Swt berfirman: mereka akan mendapatkan qadam yang baik di sisi tuhannya (Qs Yunus ayat 2), Yakni: tempat yang baik. Bukan maknanya bahwa Allah Swt meletakkan kaki-Nya di dalam Neraka. Maha tinggi Allah daripada pemahaman seperti ini dan yang seumpama dengan-Nya.”[8]


4. Allah “Tertawa”

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda: “Allah Swt tertawa karena dua orang laki-laki. Salah seorang daripada keduanya membunuh yang lain, namun keduanya masuk syurga.”

Ibn Hibban berkata: “Hadis ini termasuk dalam kategori yang saya sebutkan dalam kitab-kitab saya, bahwa bangsa Arab seringkali menyandarkan perbuatan kepada pihak yang memerintahkan (perbuatan itu), sebagaimana ianya disandarkan kepada pelaku (perbuatan itu). Begitu juga, sebuah gerakan makhluk seringkali disandarkan kepada Allah Swt, sebagaimana ia juga disandarkan kepada mereka.

Sabda Nabi Saw: Allah tertawa karena dua orang laki-laki, maknanya: Allah membuat para malaikat tertawa dan kagum melihat seorang laki-laki kafir yang membunuh muslim, lalu Allah memberinya hidayah sehingga ia masuk Islam setelah itu, maka keduanya masuk syurga. Allah membuat mereka kagum dan tertawa atas suatu kejadian yang telah ditentukannya. Maka dinisbahkan tertawa yang merupakan perbuatan malaikat kepada Allah Swt, sebab Allah yang memerintahkan dan menghendakinya.

Masih banyak sekali hadis-hadis yang menyerupai hadis ini sebagaimana yang akan saya sebutkan nanti dalam bagian sunnah yang kelima daripada kitab ini, jika Allah menentukan dan menghendakinya.”[9]


C. Ibn Hibban dan Tafwid

Perlu saya sebutkan di sini, bahawa selain aktif menafsirkan Ibn Hibban terkadang juga mengambil sikap tafwid, yakni hanya menerima dan mengimani tanpa penafsiran. Saya melihatnya sebagai sebuah sikap berhati-hati apabila tidak menemukan penafsiran yang cukup meyakinkan untuk kalimat yang hendak ditafsirkan. Sejauh bacaan saya, tidak satu orangpun yang mampu mentakwil semua kalimat dalam hadis sehingga meninggalkan tafwid sama sekali, sebagaimana tidak ada satu orangpun yang mampu berpegang kepada tafwid sepenuhnya sehingga meninggalkan takwil sama sekali.


Sikap tafwid Ibn Hibban saya temui apabila beliau meriwayatkan hadis nuzul, yakni Allah Swt turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir.


Beliau berkata: “Sifat-sifat Allah tidak dapat dijelaskan kaifiatnya dan tidak dapat dikias dengan sifat makhluk. Sebagaimana Allah berbicara tanpa alat -dengan gigi, lidah dan bibir seperti makhluk, maha tinggi Allah dari penyerupaan ini, dan tidak boleh dikias ucapan-Nya dengan ucapan kita karena ucapan makhluk menggunakan alat, sementara Allah berbicara sepertimana kehendak-Nya tanpa alat- maka begitu juga Allah turun tanpa alat, pergerakan dan perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain...”[10]


D. Metod Ahli Hadis

Sebenarnya, masih banyak hadis lain yang bisa saya sebutkan di sini, namun keterbatasan tempat membuat saya membatalkan niat  tersebut. Tulisan ini hanya hendak hanya merangsang  pembaca, terutama kalangan pengkaji ilmu hadis, untuk mengarahkan kajian mereka kepada buah pikiran yang saya sebutkan ini dengan metod ilmiah yang sempurna.


Namun begitu, saya berani menegaskan bahawa pendekatan Ibn Hibban ini tidak asing di kalangan ahli hadis mutaqaddimin dan mutaakhirin. Pendekatan metodologis seperti ini pernah dipraktikkan oleh ahli hadis sebelum beliau seperti Ibn Qutaybah Al-Dinawari (w.276H) dan lain-lain.[11] Metod ini juga digunakan oleh  banyak ahli hadis setelah beliau seperti Abu Sulaiman Al-Khattabi [w. 388 H], Ibn Furak Al-Isbahani [w. 406 H], Ibn Hazm Al-Zahiri [w. 456 H],[12] Al-Baihaqi [w. 458 H], Ibn Abdil Bar [w. 463 H], Abu Al-Wafa Ibn 'Aqil Al-Hanbali [w. 513 H], Ibn Al-Jauzi [w. 597 H], Al-Hafiz Ibn Daqieq Al-‘Ied [w. 702 H], Ibn Hajar Al-Asqalani [w.852H], hingga pakar-pakar hadis yang hidup pada hari ini.

Di sisi lain, kita memang menemukan sekelompok ahli hadis yang cenderung kepada pendekatan “menerima tanpa takwil” seperti Ibn Khuzaimah [w.311H], Al-Ajurri [w.360H], Ibn Mandah [w.470H], Al-Dzahabi [w.748H],  Ibn Kathir [w.774H] dan  byk ahli hadis lainnya.
Bagi saya, perkara ini jelas bersifat ijtihadiah. Apabila diperbincangkan secara ilmiah berpandukan kaidah-kaidah muktabar dalam ilmu-ilmu keislaman, ianya tidak akan mungkin membawa kepada perpecahan. Sebaliknya, malah terlihat bagi kita bahawa kedua kelompok ini sebenarnya bersatu dalam makna dan tujuan, meski berbeza dalam metod dan pendekatan. Wallahu a’lam. 

 
 [Ustadz Umar Muhammad Noor ]
---------------------------

1] Kitab yang masyhur dengan sebutan “Sahih Ibn Hibban” ini sebenarnya bertajuk “Al-Taqasim wal Anwa’ . Susunannya sangat lain daripada yang lain sehingga sukar untuk mencari hadis-hadis yang terdapat di dalamnya. Ini mendorong Ali Ibn Balban Al-Farisi (w.739H) merubah susunan kitab ini menjadi bab-bab fiqh agar mudah digunakan, lalu diberi nama “Al-Ihsan fi Tartib Sahih Ibn Hibban”. 

[2] Sebagaimana terlihat dalam kitabnya yang bertajuk “Kitab Al-Tauhid wa Ithbat Sifat Al-Rab”.

[3] Berkata Ibn Al-Sayyid al-Bathliyusi [w. 521 H], “Inilah pendapat yang benar, tidak boleh selainnya.” Lihat Abdullah bin Muhammad Ibn Al-Sayid Al-Batlyusi, “Al-Inshaf fi Al-Tanbih ‘ala Al-Ma’ani wa Al-Asbab allati awjabat Al-Ikhtilaf bayna Al-Muslimin fi Ara’ihim”, tahqiq Dr Muhamad Ridwan Al-Dayah, Damsyiq: Dar Al-Fikr, 1987, cet. ke-3, hal. 71.

[4] “Al-Ihsan fi Tartib Sahih Ibn Hibban”, tahqiq Kamal Yusuf Al-Hut, [Beirut: Dar Al-Fikr, 1987] 1/243.

[5] Ibid. 2/90.

[6] Ibid. 1/244.

[7] Ibid. 2/54.

[8] Ibid. 1/243.

[9] Ibid. 7/86.

[10] Ibid. 2/136.

[11] Saya telah mengkhususkan satu kajian terhadap metod Ibn Qutaybah dalam buku tersendiri yang bertajuk “Takwil Hadis”. Buku ini tengah dalam proses penerbitan oleh “Telaga Biru”. Semoga Allah mempermudah proses ini sehingga dapat menjadi sumbangan kecil dari saya bagi perkembangan kajian ilmu hadis di rantau ini.

[12] Metod Ibn Hazm dalam hadis-hadis sifat ini pernah dikaji oleh Syeikh Muhammad Abu Zuhrah dalam kitabnya yang bertajuk “Ibn Hazm: hayatuhu wa ‘asruhu, ara’uhu wafiqhuh”, tth. tp., ms 217 dan seterusnya. 

DiNuqilkan Oleh : Bagus Rangin ~ Kertajati-Majalengka

pucukpucuk Agan sedang membaca artikel tentang: IBN HIBBAN DAN HADIS-HADIS SIFAT. Silakan agan copy dan paste atau sebarluaskan artikel ini jika dinilai bermanfaat,Ane juga menyediakan buku terjemahan kitab yang membantah wahabi: 1. buku "bid'ah mahmudah dan bid'ah idhafiyah antara pendapat yang membolehkan dan yang melarang" terjemah dari kitab: albid'atul mahmudah wal bid'atul idhafiyah bainal mujiziina wal maniin" karya Syaikh abdul fattah Qudais Al Yafi"i, 2.Terjemah kitab ‘At Tabaruk Bi As Sholihin Baina Al Muzijiin wa Al Maani’in: Mencari Keberkahan Kaum Sholihin Antara Pendapat yang Membolehkan dan yang Melarang, hub admin: hp/WA 0857-5966-1085.syukron :

*** Dapatkan buku terjemah disini ***

Share this article :

Posting Komentar

Jangan lupa Tulis Saran atau Komentar Anda

 
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger