8 Oktober 2013

Fenomena Kalamophobia dan pentingnya ilmu kalam





Apa yg ingin dipertahankan oleh mereka dalam memerangi ilmu kalam warisan para ulama’ Islam silam muktabar dan dipegang oleh majoritias ulama’ Islam ini yaitu metodologi Asy’ari dan Maturidi dalam bidang aqidah? seseorang tidak akan menjadi beraqidah salaf dengan memerangi metodologi aqidah asyariah maturidiyah, bahkan keduanya sudah terbukti sebagai penerus aqidah umat Islam salaf dari zaman ke zaman, dengan pendekatan yang sesuai situasi dan tuntutan masanya.

Bagaimana kita boleh menggunakan ijtihad para ulama’ salaf terdahulu lalu mengabaikan ijtihad para ulama’ kholaf yg datang selepas salaf yg hanya berbeda ijtihad dan pendekatan ,ulama’ kholaf lebih memahami tuntutan dan situasi umat yang dihadapi pada masanya? Seseorang tidak sewajarnya menghumpulkan perkataan-perkataan sebagian ulama’ salaf yang mengkritik ilmu kalam, dengan tujuan hanya untuk menolak ilmu kalam versi Asy’ari dan Maturidi yang diterima oleh majoritas ulama’ selepas zaman salaf tersebut hingga sekarang. Sedangkan, ilmu kalam yang dikritik oleh salaf tersebut , tidak ada kaitannya dengan ilmu kalam versi Asy’ari dan Maturidi.karrena kedua metode tersebut belum ada zaman salaf...

Hal yang perlu disepakati bersama, agar tidak lagi meluas perpecahan dalam umat Islam atas nama ahli sunnah ialah bahwa perbedaan antar manhaj imam ahmad,salaf dan asyariyah sebenarnya adalah tentang pendekatan, bukan tentang intisari aqidah. Tidak ada perbedaan antara ajaran mazhab al-Ash’ari dalam aqidah yang akhirnya dikenal dengan ‘ilmu sifat 20’ dengan aqidah salaf soleh. Bahkan, mazhab al-Ash’ari dan al-Maturidi lah penerus aqidah salaf dalam pendekatan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan umat Islam pada masanya masing2, sebagaimana mazhab al-Hanafi, al-Maliki, al-Syafi’e dan al-Hanbali adalah penerus dari fiqh salaf soleh dalam pendekatan yang sesuai dengan kondisi umat Islam di masa mereka.

Maka, tidak usah terpedaya dengan agenda yg berusaha membenturkan mazhab al-Asy’ariyah atau ilmu kalam dengan aqidah salaf, karena sejak sebelum munculnya golongan yang membawa agenda pembenturan ini, hanya mazhab al-Asy’arii dan al-Maturidi (di samping sebagian Hanabilah) saja yang dikenal sebagai aqidah ahli sunnah wal jamaah penerus aqidah salaf yang sahih. Pendekatan dan kaedah dalam suatu bidang ilmu agama berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat yg berkembang di masanya masing2 dan ia akan terus berkembang. Hambatan dan tentangan terhadap metodologi dan pendekatan ilmiah yang berkembang lalu berusaha untuk mengembalikannya kepada pendekatan lama adalah suatu usaha yang hanya dilakukan oleh mereka yang jahil tentang sejarah perkembangan ilmu. bagaikan orang yang tidak mau membaca al-Qur’an dari mashaf modern lalu ingin menggembalikan tulisan al-Qur’an seperti dahulu, tanpa titik harkat huruf-huruf tertentu dan sebagainya. Atau, seseorang yang berusaha menghapus ilmu Usul Fiqh dengan alasan syariah zaman para sahabat r.a. tidak menggunakan ilmu Usul Fiqh, maka kita juga tidak perlu menggunakannya juga. 

istilah-istilah tertentu yang pada asalnya tidak bermasalah, ketika berkembangnya bintik bintik faham sesat di masa salaf, maka istilah-istilah tertentu mula dijauhi oleh para ulama’ dari pembahasan yg melibatkan golongan awam. Sebagai contoh, seperti sikap Imam Malik bin Anas r.a. (93-179 H/711-795 M) ketika ditanya tentang istiwa’ dalam al-Qur’an, yang mana pada asalnya istilah tersebut tidak ada masalah di masa salaf, tetapi pada saat berkembangnya faham Tajsim dan golongan Mujassimah, dan istilah itu termasuk di antara istilah yang menjadi puncak kesesatan mereka disebabkan salah faham terhadap istilah tersebut, maka Imam Malik r.a. menjawab bahwasanya, bertanya mengenainya adalah bid’ah.

Padahal pertanyaan mengenai Istiwa asalnya tidaklah bid’ah, tetapi dalam suasana fitnah seperti itu, pertanyaan mengenainya selalu muncul disebabkan adanya dorongan ke arah membahas masalah-masalah ilmiah dalam bidang aqidah yang tidak sesuai bagi orang yang bertanya hal itu. karena dalam banyaknya permasalahan , kenapa persoalan itu yang ditanyakan oleh sebagian awam, di saat kalimah itu menjadi faktor atas kegelincirannya golongan Mujassimah. Jika kita lihat sikap imam malik dan kondisi saat itu juga faktor si penanya, maka sikap beliau lebih merupakan pendekatan para ulama’ zaman tersebut, sesuai dengan keperluan masyarakat waktu itu. Perlu di ingat pula , bahwa tempat tinggal Imam Malik r.a waktu itu, iaitu kota Madinah, suasana aqidah masyarakat Islam di sana masih harmoni, tidak ketara kekeliruan seperti di tempat-tempat dan daerah lainnya seperti di Baghdad, Basrah, Kufah, Naisabur dan sebagainya.sehingga cukuplah sikap beliau itu sebagai jawaban atas kondisi masarakat madinah..

Tetapi Jika kita lihat suasana di wilayah lain, kita dapati, Imam Al-Hasan Al-Bashri (w: 110 H) di antara tokoh awal yang terlibat dalam mengembangkan ilmu aqidah Islam dan mempertahankannya daripada faham yang sesat,beliau terlibat menggunakan pembahasan2 aqli. Begitu juga, sebagian golongan ulama di bagdad seperti Imam Abu Hanifah r.a. (w: 150 H) beliau berhujah dgn membuat kesimpulan asas dalam bidang aqidah dengan menggunakan naqli dan aqli secara seimbang sebagaimana boleh didapati dalam kitab Al-Fiqh Al-Akbar. Kemudian diteruskan oleh murid dari murid beliau yaitulah Imam At-Thohawi r.a. (227/8-321 H) dalam Risalah Aqidah (Aqidah Tohawiyyah) beliau yang masyhur. begitu juga Imam Abu Al-Harith Al-Muhasibi (165-243 H) juga berperan dalam menyemarakkan perkembangan ilmu aqli dengan menulis sebuah risalah ringkas berjudul Mahiyyah Al-Aql.

jadi pada masa salaf pun karena berbeda kondisi masyarakat di setiap wilayah mereka,maka sikap dan metode mereka dalam menegakkan aqidah itu berbeda secara pendekatan tetapi inti aqidah mereka sama.

Imam Abu al-Hasan al-Ash’ari r.a. (260-324 H/874-936 M), seorang ulama’ keturunan seorang sahabat yang mulia, Saidina Abu Musa al-As’yari r.a., lahir di kota Basrah dan membesar di Baghdad, dua kota keilmuan dan pemikiran. Beliau hidup dalam suasana DAN kindisi umat yang berbeda di banding para ulama’ salaf sebelumnya, dan dalam susana masyarakat yang juga berbeda berbanding generasi sebelumnya,

Imam Asyari besar sebagai seorang yang bermazhab Mu’tazilah dari sudut aqidah, di bawah didikan dan asuhan Abu Ali al-Jubba’ie (m: 303 H/916 M). Akhirnya, beliau meninggalkan mazhab tersebut dan mengikuti aqidah ahli sunnah wal jamaah yang mana pada saat itu dikembangkan oleh Imam Abdullah bin Sa’id ibn Kullab (m: 240 H) dan Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H/780-855 M). Pada awalnya, beliau mengarang kitab Al-Ibanah, yang mana pendekatan tulisan beliau itu cendrung seperti metodologi yang digunakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal r.a., terutama ketika menolak faham Mu’tazilah.

Namun, dalam perkembangan berikutnya, beliau mengarang kitab al-Luma’ yang menggunakan pendekatan gabungan antara penggunaan nas wahyu dan kaedah akal yang sejahtera. >>>>> Ini merupakan suatu pendekatan yang wajar dan sempurna, untuk menghadapi dua bentuk penyelewengan, iaitu golongan literalis (zhohiriyyah) dan golongan Mu’tazilah yang berlebih-lebihan dalam menggunakan akal. Pendekatan ini dalam bidang aqidah dikenal sebagai pendekatan ilmu Kalam, yang diakui pentingnya oleh Imam al-Ash’ari dalam penulisan beliau berjudul Risalah fi Istihsan al-Khaud fi ‘Ilm al-Kalam.

Jadi Al ibanah bukanlah karya akhir beliau.Oleh sebab femikiran gemilangnya, Imam al-Ash’ari dinilai sebagai seorang ulama’ Mujaddid pada zaman beliau,krna sumbangan beliau yang memberi kunci penyelesaian terhadap kemelut masyarakat Islam, yaitu kekeliruan dari sudut aqidah. Sebagaimana, Imam al-Syafi’e sebelumnya, yang bukan sekedar mengembangkan ilmu fiqh seperti para imam Mujtahid sebelumnya, tetapi beliau juga menyusun kitab al-Risalah yang membahas asas-asas dan kaedah penggalian hukum dan memahami nas-nas hukum lalu merintis ilmu logika dalam Usul Fiqh.

Jika kita membuka kitab-kitab sejarah Islam, kita akan dapati,bahwa para ulama’ Islam yang mengembangkan mazhab al-Asy’ari dalam bidang aqidah tidak terhitung jumlahnya di sepanjang zaman. Jika kita membuang kitab-kitab karangan para ulama’ Asya’irah ini daripada perpustakaan2 yg ada, kita akan dapati hampir dua pertiga daripada rak-rak perpustakaan tersebut kosong tanpa isinya,apalagi jika di tambah dgn kitab2 aqidah maturidiyah. Mereka yang lahir dalam bidang ilmu secara tidak sah, yaitu tidak melalui tradisi pembelajaran ilmu agama yang muktabar, akan bersikap sewenang-wenang menolak tradisi warisan ulama’ silam, tanpa menyadari hakikat kekerdilan dirinya jika di bandingkan dgn lautan keilmuan ulama’ silam.

Sejak ilmu kalam versi al-Asyy’ari muncul, ia dikembangkan oleh para ulama’ Asya’irah yang agung pada setiap zaman. dari mulai murid-murid Imam al-Asyy’ari sendiri seperti Imam Ibn Furak (330-406 H), Imam al-Bahili dan sebagainya, kemudian Imam al-Baihaqi al-Naisaburi (384-458H/994-1066 M) dengan kitab al-Asma’ wa al-Sifatnya dan sebagainya, kemudian Imamul Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini (419-478 H-1028-1085 M) ketua Madrasah Nizhamiyyah di Naisabur, kemudian diwarisi dan dikembangkan pula oleh seorang tokoh, satu-satunya tokoh yang disepakati dengan gelar Hujatul Islam, iaitu Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali r.a. (450-505 H), seorang Mujaddid kurun kelima Hijrah, dan seterusnya diteruskan pula oleh al-Mujaddid Imam Fakhruddin al-Razi (543-606 H). Bahkan, Imam Ibn ‘Asakir telah mengarang sebuah kitab yang menyusun nama-nama besar para ulama’ Asha’irah pada setiap qurun dalam kitab beliau, Tabyiin Kazb al-Muftari.

Kita dapati, mereka yang meneruskan manhaj Imam al-Assy’ari ini bukan ilmuwan sembarangan, bahkan mereka adalah pemuka para ulama’ pada zamannya. Kitab-kitab yang meneruskan manhaj al-Assy’ari bahkan menjadi rujukan utama dalam bidang aqidah aliran ahli sunnah wal jamaah.

Setelah zaman berkembang, manusia semakin cerdas, tetapi kecenderungan kecerdasan mereka tidak lagi di gunakan untuk keutamaan yang digariskan oleh agama. Budaya mengejar ilmu keduniaan dalam masyarakat modern ini ikut mempengaruhi masyarakat Islam sehingga mereka bersikap acuh terhadap ilmu-ilmu agama yang hukumnya fardhu ‘ain (wajib dipelajari oleh setiap individu muslim), dan pada waktu , mereka terkadang mengutamakan penguasaan ilmu-ilmu yang bersifat fardhu kifayah.

Bahkan, sejak dua atau tiga kurun terakhir ini, banyak serangan atas ilmu kalam al-Asyy’ari dan menjadi popular ,malah menjadi suatu agenda satu golongan baru yg setengah matang. Mereka adalah generasi ahir yang merasakan bahwa, mereka lebih memahami salaf di banding para ulama’ sebelum mereka yg ada selepas salaf dan bertemu dgn salaf, lalu mereka menyambungkan sanad ilmu mereka langsung kepada salaf secara melompat melewati ulama yg ada di antara abad sebelum mereka dan ulama selepas salaf, seolah-olah para ulama’ yg ada di antara selepas salaf dengan sebelum munculnya mereka, adalah golongan yang sesat. Bahkan, usaha mengaitkan ilmu kalam al-Asy'ari dengan faham Jahmiyyah juga sangat ketara pada mereka.

Ilmu kalam dikenali sebagai sebuah ilmu yang berbeda di banding ilmu aqidah versi lain krna adanya unsur penggunaan kaedah akal dan pendekatan logikal yang dianggap meletihkan. Ia jika dibandingkan dengan ilmu aqidah versi lain seperti versi Tauhid Tiga dan sebagainya, maka versi lain seperti Tauhid Tiga lebih mudah.

Namun, mereka yang melihat sudut yang sempit ini tidak bisa melihat sudut yang lebih besar yaitu kedudukan akal sebagai asas keimanan. Seseorang yang tidak beragama Islam, tidak akan menerima ajaran aqidah Islam dengan mudah. Bahkan,banyak orang memeluk Islam sejak zaman Rasulullah SAW hingga hari ini, krna menggunakan akal dan berfikir secara logik. Bahkan, mukjizat Rasulullah SAW juga diperlihatkan kepada mereka yang mau menggunakan akal dan logik untuk menilai kebenaran seruan Rasulullah SAW. Begitu juga, Islam menggalakkan umatnya berpegang dengan aqidah Islam secara yakin, iaitu dengan dalil dan bukti terhadap kebenaran aqidah tersebut, bukan sekadar bertaqlid buta.

Hanya krna ilmu kalam mempunyai pengaruh kaedah-kaedah yang terkandung dalam ilmu mantik, yang mana ilmu mantik tersebut dikembangkan oleh seorang ahli falsafah Yunani bernama Aristotle yang bukan orang Islam, lalu itu dijadikan alasan untuk menolak ilmu kalam ini secara mutlak, maka ini tidak wajar.

Sedangkan, dalam ilmu warisan Islam (mirath) sendiri, ada unsur penggunaan ilmu matematik yang juga dikembangkan oleh ahli falsafah Yunani dan Hindu. Maka, adakah dengan demikian, ilmu mirath harus ditolak atau mesti menggunakan ilmu matematik versi yang lain? Jika 1+1 dalam versi matematik Yunani jawapannya 2, adakah dalam versi matematik Islam, itu mesti dengan jawaban yang berbeda. Jika jawabannya masih 2 (dua) juga, adakah ilmu Mirath telah dicemari oleh pemikiran Yunani?

maka memang ilmu kalam awalnya masih muhtalit bi dolalah fulasifah;tercampur dgn kesesatan filsafat bamun sejak imam asyari muncul dan dengan kondisi umat yg berbeda dgn zaman salaf,maka ilmu kalam telah dimurnikan oleh beliau dan juga oleh para ulama’ Islam yang lain.

Di sarikan dari tulisan ustaz raja ahmad mukhlis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan lupa Tulis Saran atau Komentar Anda