Berhati-hatilah Dalam Menghukum
Penulis menyeru agar pihak-pihak yang diberi tanggungjawab untuk memberi femahaman yang benar tentang Islam kepada masyarakat, supaya berhati-hati dalam mengeluarkan kenyataan apatah lagi menerbitkan buku-buku rujukan dalam masalah agama, karena ini sebenarnya merupakan amanah dari Allah s.w.t.. Ilmu itu amanah. Allah s.w.t. akan bertanya tentangnya. Kalau tidak faham atau tidak teliti dengan mendalam tentang sesuatu masalah, maka bertanyalah kepada mereka yang ahli sebelum menghukumi.
Allah s.w.t. berfirman:
Dan janganlah kamu mengikuti (membahas) apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawaban atasnya. (Surah Al-Isra': 36)
Imam Al-Baidhowi r.a. ketika mentafsirkan ayat ini berkata:
"Jangan kamu mengikuti (membahas, apatah lagi menyalahkan) sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, semata-mata karena taqlid kepada seseorang atau mengikut prasangka kamu sendiri tanpa memeriksa terlebih dahulu"
Wahai para pengkaji ilmu Islam, inilah saran Allah s.w.t. terhadap orang yang tidak mengetahui tentang sesuatu perkara dengan femahaman yang sebenarnya, agar menjauhi daripada sikap terlalu ghairah dalam menyalahkan dan mengkritik, khususnya dalam masalah yang dia sendiri tidak memahaminya.
Lebih Malang lagi bagi seseorang yang konon memperjuangkan kebenaran, dan menolak kebatilan, tetapi dalam waktu yang sama menolak kebenaran karena menyangka itu suatu kebatilan. Hati-hatilah wahai pengkaji ilmu. Allah s.w.t. tidak mempersoalkan kamu jika kamu baik sangka terhadap sesama muslim, tapi Dia mempersoalkan kamu terhadap buruk sangka kamu terhadap sesama muslim.
Rasulullah s.a.w. bersabda: "Janganlah kamu berprasangka (buruk). Sesungguhnya prasangka itu seburuk-buruk perkataan…" (Hadith riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Bagaimana seseorang sanggup melemparkan fitnah dan menuduh sesat para sufi dengan perkara-perkara atau istilah-istilah yang mereka sendiri tidak memahaminya sebagaimana femahaman para sufi itu sendiri? Maka, fitnah dan tuduhan tersebut hanyalah berdasarkan buruk sangka mereka terhadap para sufi yang benar itu sendiri.
Penulis bukan bertujuan mengkritik pihak mana pun, tetapi sekedar prihatin dengan masyarakat awam Islam itu sendiri, malah lebih penting lagi, adalah masalah yang melibatkan masalah amanah ilmu itu sendiri.
Fenomena Mengkritik Kaum Sufi yang Benar: Natijah Kejahilan Seseorang Tentang Mereka (Kaum Sufi)
Orang-orang yang mengkritik para sufi secara umum, dari kalangan awam maupun dari kalangan ulama', sebenarnya mereka tidak mengkritik mereka melainkan hanya karena kejahilan mereka terhadap maksud-maksud yang disampaikan oleh para sufi yang benar tersebut. Mereka menuduh kaum sufi dengan pelbagai tuduhan karena mereka tidak pernah berinteraksi dengan para sufi dan meminta penjelasan daripada para sufi, terhadap perkataan mereka (para sufi tersebut).
Namun, terlalu banyak dalam kalangan ulama' yang mana, pada awalnya mengkritik para sufi, namun setelah bersahabat dengan para sufi yang benar, maka mereka kembali mengakui kebenaran yang disampaikan oleh golongan sufi.
Imam Ahmad bin Hanbal r.a., sebelum bersahabat dengan golongan sufi, melarang anaknya dari bersahabat dengan mereka. Namun, setelah beliau bersahabat dengan Abu Hamzah Al-Baghdadi r.a., seorang sufi, dan mengenal mereka, beliau berkata kepada anaknya: “Wahai anakku. Hendaklah kamu duduk bersama-sama dengan kaum tersebut (sufi). Sesungguhnya ilmu mereka, muroqobah mereka, ketakutan mereka kepada Allah s.w.t., zuhud mereka dan semangat mereka, lebih banyak dari kita.” (Tanwir Al-Qulub M/S: 405).
Begitu juga dengan Sultanul-Ulama' Imam Izzuddin bin Abdul Salam r.a., sebelum bertemu dengan Sheikh Abil Hasan As-Syazuli r.a., beliau termasuk di antara orang yang lantang mengkritik kaum sufi dengan berkata: "Adakah jalan lain selain daripada Al-Qur'an dan As-Sunnah?"
Namun, setelah peristiwa yang berlaku di Mansurah, Mesir, di mana Sheikh Izzuddin bin Abdul Salam r.a., Sheikh Makinuddin Al-Asmar r.a. dan Sheikh Taqiyuddin ibn Daqiq Al-'Id r.a. bertemu dengan Sheikh Abul Hasan As-Syazuli r.a., maka mereka (termasuklah Imam Izzuddin bin Abdul Salam) mengakui kebenaran kaum sufi. Peristiwa ini diceritakan sendiri oleh Sheikh Makinuddin Al-Asmar yang kemudiannya menjadi pendokong manhaj tarbiah Imam As-Syazuli r.a..
Kisahnya, di mana sewaktu mereka berkumpul di Mansurah, lalu mereka membaca buku Ar-Risalah Al-Qusyairiyah. Setiap daripada mereka mensyarahkan buku tersebut dalam majlis tersebut. Lalu, tiba-tiba, Imam Abul Hasan As-Syazuli r.a. lewat melalui kemah mereka, lalu mereka memanggil Imam Abul Hasan As-Syazuli r.a. agar mensyarahkan kitab tersebut kepada mereka.
Imam Abul Hasan As-Syazuli r.a. lalu berkata:
"Kalian semua adalah pembesar-pembesar dari kalangan ulama'. Kalian semua adalah penghulu-penghulu ilmu zaman ini. Bukankah kamu semua sudah mensyarahkannya? Maka, apakah lagi yang layak untuk orang seperti saya ini mensyarahkannya kepada kalian semua setelah syarah ka semua?"
Namun, mereka membujuk Imam As-Syazuli r.a. untuk mensyarahkannya, lalu Imam As-Syazuli r.a. mensyarahkannya dengan syarah sufi yang mendalam. Akhirnya, Imam Izzuddin Abdus Salam berlari keluar kemah lalu menyeru: "Wahai sekalian manusia. Marilah bersama-sama kami. Marilah mendengar ulasan-ulasan yang memberi penawar bagi hati." (rujuk Muqoddimah buku Anwar An-Nabi 47 oleh Sheikh Ahmad Farid Al-Mazidi)
Begitu juga hal yang berlaku dengan Imam Ibn 'Atho'illah As-Sakandari r.a., yang merupakan ulama' Al-Azhar di zaman beliau, yang pada awalnya menolak kaum sufi. Namun, setelah bertemu dengan Sheikh Abul Abas Al-Mursi r.a. (murid Imam Abul Hasan As-Syazuli r.a.), beliau akhirnya menjadi orang yang paling banyak berkhidmat dalam menyebarkan ilmu kaum sufi yang benar. (rujuk buku Lato'if Al-Minan oleh Imam As-Sakandari r.a.)
Banyak para ulama' melalui hal demikian, yang mana pada awalnya mengingkari para sufi secara umum, akhirnya memperjuangkan kaum sufi yang benar, karena bertemu dengan kebenaran yang disampaikan oleh kaum sufi yang benar tersebut.
Oleh sebab itu, jika seseorang tidak memahami istilah-istilah yang digunakan oleh para sufi yang benar, maka janganlah cepat melatah dan terlalu ghairah menyalahkan dan menghukum sesat sesuatu perkara. karena itu membawa kepada buruk sangka.
Sekurang-kurangnya, kembalilah kepada kaedah yang dijelaskan oleh Imam An-Nawawi r.a. dalam berhadapan dengan perkara-perkara yang melibatkan kaum sufi dan para wali Allah s.w.t.. Imam An-Nawawi r.a. berkata tentang masalah yang sering di salahkan oleh setengah pihak terhadap para sufi: "Jika kamu berhadapan dengan perkataan-perkataan mereka (yang samar maknanya), maka ta'wilkanlah ia dengan tujuh puluh ta'wilan (untuk baik sangka kepada mereka)" (Syarh Al-Muhazzab)
Imam Al-Mujtahid Tajuddin As-Subki r.a. berkata dalam buku Ma'id An-Ni'am:
"Ada dari kalangan fuqoha' yang walaupun bersikap menjaga dhahir syariat, mengamalkan perintah dan meninggalkan laranganNya, namun malangnya, mereka bersikap merendahkan fuqoro' (kaum sufi) dan ahli tasawwuf dengan menafikan kebaikan pada mereka. Mereka mencela mereka (kaum sufi) karena mendengar banyak perkara yang disebutkan tentang mereka (kaum sufi), padahal khabar dari pendengaran berbeda dalam setiap kalangan manusia. Orang yang merendahkan mereka sebenarnya tidak mengetahui tentang mereka. Wajib bagi kita untuk menyerahkan keadaan mereka kepada mereka sendiri. Kita tidak boleh menyalahkan mereka semata-mata dengan dhahir perkataan mereka. Jika boleh mentakwil perkataan mereka, maka lakukanlah. Takwilkanlah dengan takwilan yang baik, terutamanya perkataan mereka yang diakui kepercayaan mereka…Sesungguhnya, saya (Imam As-Subki r.a.) tidak menjumpai seorang faqih pun yang mengingkari kaum sufi dan mencela mereka, melainkan Allah s.w.t. membinasakannya…Merekalah ahli Allah s.w.t…"
Inilah perkataan Imam As-Subki r.a., (seperti yang dinaqalkan oleh Imam As-Suyuti dalam ta'yiiad al-haqiqah al-aliyah)seorang ulama' fiqh mazhab As-Syafi'e, yang mana beliau bukanlah dari kalangan ahli sufi, tetapi tetap mengakui kebenaran dan kemuliaan kaum sufi, karena adil dalam menilai kaum sufi secara menyeluruh.
femahaman Yang Benar Tentang Wahdatul-Wujud Menurut Kaum Sufi
Di sini, penulis cuba menyentuh secara khusus berkenaan dengan masalah Wahdatul-wujud ini, secara adil dengan merujuk buku-buku ulama' yang mendalam ilmu mereka, dalam membetulkan salah faham tentang masalah ini.
Pembahasan berkenaan "Wahdatul-wujud" ini ada dua golongan yang memahaminya secara berbeda iaitu:
Pertama: femahaman yang Salah Tentang Wahdatul-Wujud:
Golongan yang memahami "Wahdatul-wujud" dengan maksud: Allah dan makhluk adalah satu. Iaitu, makhluk bersatu dengan Allah. Mereka memahami Wahdatul-wujud sebagai faham hulul (Allah bergabung dalam makhluk) dan ittihad (Allah dan makhluk adalah satu pada zat).
Hasil daripada femahaman yang salah berkenaan Wahdatul wujud ini, melahirkan dua golongan:
Golongan yang menolak Wahdatul-wujud ini lalu menghukumi sesat orang-orang yang berpegang dengan Wahdatul-wujud ini. Golongan ini benar dari satu sudut, tetapi salah dari satu sudut yang lain. Mereka benar dari satu sudut karena menolak Wahdatul-wujud dengan makna hulul dan ittihad ini karena hulul dan ittihad adalah kesesatan yang nyata.
Namun, mereka salah dari sudut menyesatkan seluruh golongan yang berpegang dengan Wahdatul-wujud ini karena majoritas para sufi dan ahli tasawwuf yang benar, yang bercakap tentang Wahdatul-wujud ini, tidak memahami Wahdatul-wujud ini dengan femahaman yang salah, iaitu dengan maksud hulul dan ittihad.
Kedua: golongan yang berpegang dengan Wahdatul-wujud yang bermakna hulul dan ittihad ini, lalu mereka ini memperjuangkan ketuhanan diri mereka sendiri dengan mengaku tuhan dan sebagainya. Mereka adalah golongan yang sesat lagi menyesatkan. Mereka lebih mendakwa diri mereka sebagai golongan hakikat. Namun, golongan sufi dan ahli tasawwuf yang benar, yang berasaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah, berlepas tangan daripada golongan ini.
Kedua: femahaman yang Benar Tentang Wahdatul-Wujud
Iaitu: Seluruh makhluk yang wujud, pada asalnya tidak wujud (adam). Mereka (seluruh makhluk tersebut) akhirnya bisa wujud apabila Allah s.w.t. mewujudkan mereka. Maka, seluruh makhluk pada hakikatnya wujud dengan sebab wujudnya Allah s.w.t., karena kalau tanpa kewujudan Allah s.w.t., tanpa izin dan bantuan Allah s.w.t., niscaya tidak ada satu makhluk pun yang wujud atau pun berlangsung wujudnnya.
Inilah maksud sebenarnya dari Wahdatul-wujud yang dihayati oleh orang-orang arif dari kalangan para sufi. Mereka menghayati dan merasai, kewujudan mereka, bahkan seluruh kewujudan makhluk Allah s.w.t., adalah daripada Allah s.w.t., yang telah menciptakan mereka daripada tiada. Jadi, mereka tidak merasakan wujud mereka sendiri (mustaqil), tetapi kewujudan mereka ada denganNya (dengan bantuan dan izinNya).
Dengan femahaman ini, tiada seorang pun yang beraqidah yang murni, mampu menafikannya. Kalau ada orang yang menafikan Wahdatul-wujud dengan makna ini, maka dialah pada hakikatnya seorang yang sesat, karena tiada yang wujud secara mustaqil (sendiri), kecuali Allah s.w.t. karena hanya Allah s.w.t. saja yang bersifat dengan qiyamuhu binafsihi (berdiri dengan diriNya sendiri) sedangkan seluruh makhluk berdiri dengan Allah s.w.t. (dengan bantuan dan izin Allah s.w.t.).
Orang-orang yang mengingkari bahkan menyesatkan golongan arif billah (seperti Sheikh Ibn 'Arabi, Sheikh Al-Jili dan sebagainya) dan para sufi yang mengetengahkan Wahdatul-wujud ini, hanya mengingkari mereka kerana jahil dengan maksud Wahdatul-wujud inda para sufi itu sendiri, lalu salah faham dengan memahami Wahdatul-wujud sebagai hulul dan ittihad. Maka, mereka sebenarnya mengingkari khalayan mereka sendiri tentang kaum sufi itu sendiri, padahal kaum sufi yang benar berlepas tangan daripada pengingkaran mereka dan khayalan orang-orang yang mengingkari itu sendiri.
Hakikatnya, Wahdatul-wujud ialah, apabila seseorang sudah menghayati rasa kewujudan dirinya dan seluruh perbuatan dirinya serta yang berlaku dalam alam ini adalah daripada Allah s.w.t.. Maka, seluruh pergerakan makhluk, termasuklah perbuatan manusia, sebenarnya dengan Allah s.w.t., iaitu, dengan kewujudan, kekuasaan, bantuan dan izin Allah s.w.t.. Kalau ini bukan aqidah Islam, lalu bagaimanakah aqidah Islam itu? Adakah setiap makhluk punya kuasa dirinya sendiri secara mutlak? Tidak sama sekali!
Maka, siapakah yang sesat wahai orang-orang yang menuduh sesat? Atau anda tidak faham apa yang anda sesatkan itu sendiri? Na'uzubillah!
Wahdatul-wujud ialah suatu peringkat penyaksian dengan mata hati, dalam diri seseorang, yang merasakan diri mereka dan seluruh alam ini sebenarnya ditadbir oleh Allah s.w.t.. Manusia terutama dirinya sendiri, bergerak dan beramal dengan izin daripada Allah s.w.t., yang memberikan mereka kuasa untuk memilih, tetapi bukan dengan kuasa mutlak, cuma dengan kuasa majazi, yang pada hakikatnya itu daripada keizinan Allah s.w.t.. Kalau tanpa izin Allah s.w.t., bagaimana manusia itu sendiri mampu memilih dan berkehendak? Maka, kehendak dalam diri manusia juga dari kehendak Allah s.w.t. dan dengan izin Allah s.w.t..
Apa yang salah dengan penyaksian ini? Inilah tauhid, demi Allah, Tuhan yang menurunkan Al-Qur'an sebagai bukti yang nyata.
Seseorang yang lalai dengan dunia, dan dengan nafsu diri mereka sendiri, pasti tidak merasakan hal perkara ini, karena merasakan dirinya sendirilah yang berkuasa dan berkehendak secara mutlak, dalam kehidupannya. Ini natijah kelalain mereka dengan diri mereka sendiri dan natijah hijab mereka daripada Allah s.w.t. takkala sibuk dengan mengikut hawa nafsu dan dunia. Namun, dari sudut akal sendiri, Wahdatul-wujud suatu perkara yang berpandukan asas aqidah Islam yang kukuh.
Wahdatul-Wujud : Proses Penghayatan Tauhid-Afal
Jika kita singkap buku-buku ahlus sunnah wal jamaah, sudah pasti kita akan dapati, mereka berbincang tentang sifat-sifat yang wajib bagi Allah s.w.t., sifat-sifat yang mustahil bagi Allah s.w.t. dan yang harus bagi Allah s.w.t.. Dalam perbahasan mereka, seseorang pasti mendapati perbahasan tentang tauhid af'aal, iaitu setiap perbuatan yang berlaku, dalam makhluk itu, hakikatnya kembali kepada Allah s.w.t..
Seluruh alam ini bergerak di bawah kekuasaan Allah s.w.t. Bahkan, seluruh makhluk wujud dengan penciptaan Allah s.w.t.. Semua makhluk meneruskan keberlangsungan wujud mereka dengan penjagaan Allah s.w.t. melalui nikmat imdaad (bantuan Allah s.w.t.). Inilah hakikat yang tidak dapat dinafikan oleh setiap orang Islam. Maka, seluruh makhluk adalah daripada perbuatan Allah s.w.t. yang mana perbuatan tersebut daripada sifat qudrah Allah s.w.t.. Ia (penciptaan dan penjagaan Allah s.w.t.) dikenal dengan sifat af'al Allah s.w.t. (sifat perbuatan-perbuatan Allah s.w.t.).
Tiada yang bergerak di dalam kerajaan Allah s.w.t., tanpa kehendak daripadaNya. Inilah hakikat sifat iradah dan qudrahAllah s.w.t.. Dari sinilah timbulnya tauhid af'al, di mana segala yang berlaku dalam alam ini daripada kehendak Allah s.w.t. dan dengan kekuasaanNya.
Wahdatul-wujud pula ialah, suatu penyaksian dalam lubuk hati terdalam manusia (sirr) terhadap tauhid af'al ini pada permulaannya (seterusnya kepada tauhid sifat dan tauhid zat), dan penghayatan kepada makna tersebut dalam seluruh kehidupannya. Hal ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang sudah meleburkan hawa nafsunya yang sentiasa mengajak kepada kejahatan, sehingga nafsu itu tenang dalam ketaatan kepadaNya, dan tenang dengan merasai kebersamaanNya dalam ketaatan tersebut (mutma'innah).
Adapun secara teori, seseorang yang lalai daripada Allah s.w.t. pun bisa menghafal sifat dua puluh yang wajib bagi Allah s.w.t. tersebut seperti qudrah (kekuasaan), iradah (kehendak) dan sifat-sifat lain bagi Allah s.w.t., namun tidak mampu merasakannya dalam bentuk penghayatan dalam segenap kehidupannya. Oleh karena itulah, kita dapati, betapa ramai dari kalangan orang-orang Islam itu sendiri, yang menghafal sifat-sifat bagi Allah s.w.t., lalu mengetahui bahwasanya Allah s.w.t. itu wujud, Maha Berkuasa dan sebagainya, namun masih sanggup menderhakaiNya? Bagaimanakah seseorang yang mengetahui Allah s.w.t. itu wujud dan Maha Berkuasa, dalam masa yang sama sanggup menderhakai Allah s.w.t.? Bagaimana seseorang masih sanggup menderhakai Allah s.w.t. sedangkan dia tauhu bahwa seluruh kehidupan dan tenaganya daripada Allah s.w.t.? Bagaimana seseorang sanggup mengunakan tenaga dan keupayaannya untuk menderhakai Allah s.w.t. sedangkan dia tahu bahawa semua tenaganya, nyawanya dan segalanya adalah daripada Allah s.w.t.?
Hal ini kembali kepada penghayatan seseorang itu sendiri, terhadap sifat-sifat Allah s.w.t. itu sendiri. Hal ini (ketaatan mutlak kepadaNya) tidak akan berlaku dengan cara menghafal sifat-sifat Allah s.w.t. semata-mata, tetapi perlu kepada proses melawan hawa nafsu juga (mujahadah An-Nafs).
Proses menuju penghayatan terhadap kewujudan Allah s.w.t. dalam kehidupan seseorang manusia, dimulai dengan proses mujahadah an-nafs (melawan hawa nafsu) dengan melakukan ketaatan kepadaNya dan meninggalkan maksiat terhadapNya, seterusnya diiringi dengan proses zikir yang berpanjangan sehingga nama-nama Allah s.w.t. tersebut diterjemahkan ke dalam bentuk penghayatan dalam hati hamba tersebut.
Proses mengukir nama Allah s.w.t. dalam hati seseorang melalui zikir yang diambil secara talqin daripada seseorang mursyid yang kamil, yang bersambung sanad zikir tersebut sehingga kepada Rasulullah s.a.w., merupakan suatu proses perjalanan kerohanian ke arah menghayati kewujudan Allah s.w.t. di balik kehidupan hamba tersebut.
Dengan zikir hati yang berpanjangan-dengan izin Allah s.w.t.-, seseorang akan lebur daripada merasakan kewujudan dirinya sendiri. Hal ini dikenal sebagai fana' (lebur), iaitu penyaksian hatinya tenggelam dalam menyaksikan kewujudan Allah s.w.t.sehingga tidak menyadari lagi kewujudan dirinya sendiri. Ini suatu keadaan di mana seseorang sibuk dalam menyaksikan kewujudan Allah s.w.t. sehingga tidak menyadari lagi kewujudan dirinya. Dia tenggelam dalam musyahadah Allah s.w.t. dan tidak lagi diselaputi kotoran selain daripada Allah s.w.t.. Hatinya sentiasa fokus kepada Allah s.w.t..
Ada dari kalangan mereka yang fana' ini terus dikekalkan dalam keadaan fana' oleh Allah s.w.t. dan ada dari kalangan mereka yang dikembalikan kesadaran diri mereka sehingga dia menyadari kembali kewujudan dirinya dalam masa yang sama menyaksikan kewujudan Allah s.w.t. yang Maha Esa dalam bentuk penghayatan yang berkekalan.
Namun, mereka yang dikembalikan kesadaran diri dalam masa yang sama menyaksikan kewujudan Allah s.w.t. di balik kewujudan alam ini, lalu menghayati bahwa seluruh alam ini, termasuk kewujudan dirinya sendiri, merupakan kewujudan dengan Allah s.w.t.. Iaitu, dia menghayati dan menyaksikan dengan mata hatinya, secara tahqiq, bahwa seluruh makhluk wujud dengan pentadbiran, kekuasaan dan izin Allah s.w.t.. Pada ketika ini, hamba tersebut baqo' (kekal) dengan keabadian Allah s.w.t. karena sentiasa menyaksikan kewujudan Allah s.w.t. yang Maha Kekal dalam mata hatinya.
Hatinya kekal dalam penyaksian kepada Allah s.w.t. dan jasadnya bersama dengan makhluk. Hatinya bersama dengan Allah s.w.t. dan menyaksikan ketuhanan Allah s.w.t., dalam waktu yang sama, jasadnya dalam kehambaan kepadaNya, dengan melaksanakan seluruh syariatNya.
Penyaksian terhadap hakikat bahwa segala makhluk wujud dengan bantuan Allah s.w.t. dan terus wujud dalam kekuasaanNya inilah, yang dikenal di sisi kaum sufi sebagai Wahdatul-wujud (kesatuan-wujud), bukan seperti prasangka orang-orang yang mengingkarinya. Hakikatnya, Wahdatul-wujud dalam arti kata sebenar adalah wihdatus-syuhud, iaitu menyaksikan hanya Allah s.w.t. saja yang wujud secara mustaqil (menyendiri) dan hakiki, adalpun selain daripadaNya, wujud dengan Allah s.w.t., bukan dengan diri mereka sendiri!
Dalil Wahdatul-Wujud Dalam Al-Qur'an:
Firman Allah s.w.t.: "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?" kepunyaan Allah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Surah Ghafir/Mu'min: 16)
Maksudnya, seluruh yang wujud di bawah kekuasaanNya. Segala yang wujud tidak akan wujud tanpa bantuan daripadaNya. Maka, wujud yang hakiki, yang berdiri dengan sendiri hanyalah Allah s.w.t.. Adapun selain daripada Allah s.w.t., pada hakikatnya tidak wujud ('adam). Mereka hanya wujud setelah Allah s.w.t. menciptakan mereka. Maka, kewujudan mereka sebenarnya dengan Allah s.w.t..
Kesatuan penyaksian ini juga seperti dalam firman Allah s.w.t.: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajh (zat) Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Surah Al-Baqarah :115)
Dalil Wahdatul-Wujud dalam hadith:
Rasulullah s.a.w. bersabda:"Sesungguhnya Allah s.w.t. itu wujud, dan tiada yang wujud bersamaNya. Allah s.w.t. itu wujud dalam keesaan, tanpa bersama dengan selainNya" (Hadith riwayat Al-Bukhari).
Sabda Nabi s.a.w. :"Sebenar-benar perkataan yang pernah diucapkan oleh sya'ir Arab adalah perkataan Labid iaitu: Ketahuilah sesungguhnya semua benda selain daripada Allah ialah batil" (Hadith riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Maksudnya, setiap sesuatu selain daripada Allah s.w.t. pada hakikatnya tidak ada kewujudannya. Semua makhluk wujud dengan kekuasaan dan bantuan Allah s.w.t..
Penjelasan Ulama'-ulama' Sufi tentang Wahdatul-Wujud:
Imam Abdul Ghani An-Nablusi r.a. (1143 H) berkata dalam buku beliau Idhoul Maqsud, min ma'na wihdatil-wujud:
"Sesungguhnya, maksud Wahdatul-wujud bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan perkataan para ulama' Islam, bahkan maksud sebenarnya Wahdatul-wujud yang benar, pada hakikatnya disepakati oleh seluruh orang-orang khawas dan awam. dan sesuatu yang perlu dimaklumi oleh setiap muslim, dan tidak boleh diingkari oleh setiap orang yang beriman. Tidak dapat digambarkan bahwa, ada orang yang berakal sanggup mengingkari Wahdatul-wujud dengan makna ini.
"Sesungguhnya, seluruh alam ini, walaupun berbeda jenis, sifat, bentuk dan rupanya, sebenarnya wujud daripada ketiadaannya ('adam) dengan kewujudan Allah s.w.t., bukan dengan diri mereka sendiri. Bahkan, seluruh makhluk yang wujud, terus terpelihara wujud mereka dengan kewujudan Allah s.w.t., bukan dengen diri mereka."
Imam Mustofa Al-Bakri berkata dalam buku beliau Al-Maurid Al-Azb:
"(Wahdatul-wujud ialah:) dengan wujud Allah s.w.t. itulah seluruh yang wujud terus wujud. Dengan sentiasa menyaksikanNyalah, ahli syuhud terus meningkat. Bahwasanya Dialah yang mendirikan langit dan bumi, sedangkan seluruh makhluk berdiri denganNya (dengan kekuasaanNya) secara realitasnya."
Jelaslah bahwasanya, Wahdatul-wujud di sisi kaum sufi dan arif biLlah, merupakan suatu penghayatan dan penyaksian terhadap kewujudan Allah s.w.t. yang wajibul-wujud (wajib wujudNya), dan seluruh makhluk yang wuju, tidak wujud melainkan denganNya.
Allah s.w.t.lah yang menciptakan segala makhluk daripada tiada, yang mana kewujudan makhluk ada dengan kewujudan tersebut, tidak datang daripada diri mereka sendiri, pada hakikatnya merupakan dari kewujudan Allah s.w.t. jua. Penyaksian hati terhadap hal demikianlah yang dikenlai dengan Wahdatul-wujud atau wahdatus-syuhud.
Seluruh para sufi yang kamil memahami Wahdatul-wujud dengan makna wahdatus-syuhud ini, bukan dengan makna yang difahami oleh orang-orang yang sesat seperti hulul dan ittihad, lalu diingkari juga oleh orang-orang yang jahil dengan makna sebenarnya dari Wahdatul-wujud ini, ke atas seluruh kaum sufi.
Sheikh Ahmad Farid Al-Mazidi dalam muqoddimah Anwar An-Nabi menegaskan:
"Maknanya (makna wahdatul-wujud): Bahwasanya, wujud pada hakikatnya satu saja, iaitu bagi Allah s.w.t. semata-mata dan tiada yang bersekutu denganNya dalam hakikat wujud (qadim) tersebut. Maka, Dialah yang wujud secara mutlak (wajibul-wujud). Adapun kewujudan sekalian makhluk adalah karena bersandarkan kepadaNya (kepada kekuasaanNya) dan kelangsungan kewujudan makhluk tersebut daripada pemeliharaanNya…Maka, kewujudan makhluk itu bersandarkan kepada kewujudan yang hanya milik Allah s.w.t., bukan kewujudan lain, karena tiada yang wujud dengan dirinya (qiyamuhu binafsihi) melainkan Allah s.w.t… Sesungguhnya, wujud makhluk bukan daripada zat mereka sendiri, dan tidak dapat digambarkan bahwa seluruh makhluk berdiri dengan diri mereka sendiri…"
Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali r.a. sendiri berbicara tentang maksud wahdatul-wujud ini walaupun tanpa menggunakan lafaz tersebut, takkala mensyarahkan perkataan Labid dalam hadith tadi dengan berkata (Al-Ihya' di bawah tajuk At-Tauhid):
"Iaitu, setiap makhluk tiada berdiri dengan dirinya sendiri. Ia berdiri dengan selainnya (iaitu berdiri dengan kekuasaan Allah s.w.t.). Ia (makhluk) tersebut dari sudut dirinya sendiri adalah batil. Ini karena, hakikatnya (hakikat makhluk) itu, dengan selainnya (iaitu dengan hakikat Allah s.w.t.),bukan dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, tiada yang hak (benar) pada hakikatnya melainkan Allah s.w.t. yang Maha Hidup lagi Maha Mentadbir, yang tiada menyerupai sesuatu. Dialah yang berdiri dengan diriNya sendiri, sedangkan selain daripadaNya, berdiri dengan kekuasaanNya. Maka, Dialah Al-Haq dan selain daripadaNya adalah batil (pada hakikatnya)."
Imam Al-Ghazali r.a. berkata lagi tentang penyaksian wahdatul-wujud dalam pandangan para sufi (Al-Ihya' tajuk As-Syauq):
"Siapa yang kuat pandangan mata hatinya, maka keadaannya akan menjadi seimbang, di mana dia tidak lagi melihat selain daripada Allah s.w.t.. Dia tidak lagi mengenal selain daripada Allah s.w.t. (tidak fokus kepada yang lain-ini hal fana'). Maka, ketika itu dia mengetahui (bukan dengan pengetahuan akal semata-mata, tapi dengan penghayatan) bahwa tiada yang wujud kecuali Allah s.w.t.. (Dia mengetahui) perbuatan dirinya merupakan kesan daripada kekuasanNya, yang wujud daripadaNya. Maka, tiada wujud bagi perbuatan-perbuatannya kalau tanpaNya. Sesungguhnya wujud itu milik Allah s.w.t. semata-mata, yang mana denganNyalah, sekalian makhluk itu wujud. Siapa yang dalam keadaan ini, tidak akan melihat satupun perbuatan, melainkan dia melihat Pembuatnya yang hakiki (iaitu Allah s.w.t.)…"
Inilah femahaman para penghulu sufi dan ahli tasawwuf yang benar, berkenaan dengan wahdatul-wujud. Siapakah yang merasa dirinya lebih berilmu daripada Hujjatul-Islam Imam Al-Ghazali r.a. takkala berani menyesatkan kaum sufi hanya karena tidak memahami maknanya dengan makna yang benar?
Golongan Sufi yang Menetapkan Wahdatul-Wujud Juga Menolak Hulul dan Ittihad
Tidak dapat di nafikan bahwa, ada dari kalangan manusia yang memahahmi makna Wahdatul-wujud ini dengan makna yang sesat, iaitu dengan makna hulul (Tuhan menempati makhluk) dan Ittihad (Tuhan bergabung dengan makhluk).
Akhirnya, mereka mendakwa sudah sampai kepada Allah s.w.t. dan mencapai derajat makrifat, lalu mendakwa bahwa dirinya sebagai tuhan, karena tuhan wujud dalam setiap makhluk. Hasil daripada dakwaan itu, mereka mendakwa diri mereka tidak perlu melakukan syariat dan ketaatan karena mereka adalah tuhan, atau tuhan wujud dalam diri mereka. Ini suatu kesesatan yang nyata, yang diingkari sendiri oleh para sufi yang benar.
Para ulama' sufi seperti Imam Ibn 'Arabi r.a., Imam Abdul Karim Al-Jili r.a., Sheikh Ibn Al-Faridhi r.a., Sheikh Ali ibn Wafa dan sebagainya, berlepas tangan daripada femahaman sesat ini, bahkan turut membantah kesesatan ini secara keras.
Imam Ibn 'Arabi berkata dalam Al-Futuhat pada bab Al-Isra':
"Siapa yang mendakwa akan hulul, berarti dia telah sesat. karena, orang yang berkata tentang hulul itu berpenyakit yang tidak dapat diubati. Siapa yang membedakan antara di antara diri kamu dengan diriNya, maka kamu telah menetapkan dirimu dan diriNya. Tidakkah kamu mendengar sabda Nabi s.a.w. yang berbunyi: "Maka Aku jadi pendengarannya yang Dia mendengar dengannya". Dia menetapkan dirimu dengan menunjukkan dirimu dalam hadith tersebut. Siapa yang mendakwa ittihad merupakan orang yang athies, seperti yang mendakwa hulul juga, merupakan orang yang jahil dan melampaui batas . karena dia menisbahkan hal yang mustahil. Siapa yang membedakan dirinya dengan Allah s.w.t., maka dialah yang benar."
Imam Ibn 'Arabi r.a. juga berkata lagi dalam buku Aqidah Al-Wusto: "Maha Suci Allah s.w.t. daripada menempati sesuatu yang baru[mahluk], atau sesuatu yang baru tersebut menempatiNya"
Imam Al-Ghazali r.a. juga menolak keras fahaman Hulul dan Ittihad ini dengan berkata: "Hukuman bunuh seorang daripada mereka (yang mendakwa hulul dan ittihad) lebih baik daripada membunuh seratus orang kafir karena kemudaratannya lebih berbahaya kepada agama. "
Imam An-Nablusi r.a. berkata dalam buku Idhohul Maqsud:
"Adapun orang-orang jahil, zindiq dan mulhid (athies) yang memahami wahdatul-wujud dengan maksud, bahwa wujud mereka yang baru pada hakikatnya merupakan wujud Allah s.w.t., dan zat mereka adalah pada hakikatnya zat Allah s.w.t., sehingga mendakwa gugur hukum-hukum syariat daripada mereka, maka menyesatkan mereka adalah suatu tindakan yang benar.
"Para ulama' dhahir mendapat pahala daripada Allah s.w.t. dalam menyesatkan golongan tersebut, dan para arif biLLah dan kaum sufi juga bersama mereka dalam menghukum sesat golongan tersebut, tanpa perselisihan lagi."
Imam As-Suyuti r.a. sendiri menulis dua fasal dalam menolak kesesatan hulul dan ittihad dalam buku beliau, Ta'yiid Al-Haqiqah Al-'Aliyah. Beliau berkata dalam bab fil Ittihad:
Seseorang makhluk pun tidak dapat bergabung atau bersatu dengan zat makhluk yang lain, bagaimana pula dia mampu bersatu dengan zat Allah s.w.t.? Ini suatu kemustahilan dan kesesatan yang nyata!"
Sheikh Mustafa Al-Bakri pula berkata dalam risalah beliau Al-Maurid Al-Azb:
"Ketahuilah bahawa telah terzahir suatu golongan yang mendakwa diri mereka sebagai ahli makrifat, namun mereka adalah golongan yang sesat, takkala mereka mendakwa, wujud mereka yang baru, berkadar dan berbatas itu, merupakan hakikat wujud Allah s.w.t. yang qadim. Mereka juga mendakwa bahwa, zat mereka yang baru pada hakikatnya adalah zat Allah s.w.t. yang qadim. Tujuan mereka menetapkan demikian adalah untuk menggugurkan ketetapan hukum atas mereka, dan menolak taklif daripada diri mereka, maka merekalah yang wajib dihukum keluar daripada agama, ke atas mereka. Merekalah golongan athies yang durjana. Mereka sesat lagi menyesatkan, karena mengingkari penciptaan Allah s.w.t. ke atas diri mereka yang baru, yang jelas menurut syarak, dan menolak syariat Islam itu sendiri.
"Ini suatu perkataan yang tidak pernah diucapkan oleh orang jahil, apatah lagi diucapkan oleh orang alim mahupun orang arif….Demi Allah, hendaklah kamu jauhi mereka…"
Wahdatul-Wujud Tidak Menafikan Syariat
Penghayatan wahdatul-wujud dengan makna sebenarnya oleh orang-orang sufi tidak membawa kepada pengakuan bahwa, syariat tidak lagi perlu dilaksanakan. Ini suatu kesesatan yang nyata.
Wahdatul-wujud justeru dihayati dalam melaksanakan tanggungjawab yang murni, sebagai seorang hamba kepada Allah s.w.t., dengan merasakan dan mengakui kewujudan diri sebagai hamba Allah s.w.t, dalam waktu yang sama menyaksikan bahwa, kewujudan dirinya yang baharu daripada kekuasaan Allah s.w.t., sehingga zahir rasa kesyukuran kepada Allah s.w.t. yang telah menciptakannya dan telah menggerakkannya ke arah ketaatan kepadaNya.
Imam An-Nablusi r.a. berkata dalam Khamratul Khan:
"Orang yang sempurna adalah orang yang menyadari dua bagian kewujudan. Dia menyaksikan secara berkekalan, akan kewujudan Allah s.w.t. yang azali dan abadi, yang berdiri dengan diriNya sendiri, lalu mengagungkan ketuhananNya, dalam masa yang sama menyaksikan kewujudan diri yang baru, yang berdiri dengan (kekuasaan) Allah s.w.t. lalu menunaikan tanggungjawab kehambaan kepadaNya."
Jadi, jika seseorang memahami wahdatul-wujud dengan makna wahdatus-syuhud, iaitu seseorang menyaksikan bahwa dirinya wujud dengan kekuasaan Allah s.w.t., past tidak akan meninggalkan syariat, sebaliknya melaksanakan syariat dalam waktu yang sama, bersyukur kepada Allah s.w.t. karena mengizinkannya untuk mengamalkan syariatNya. Hal ini seterusnya menjauhkan rasa ujub dalam diri seseorang hamba tersebut.
Seseorang yang mendakwa menghayati wahdatul-wujud tetapi meninggalkan syariat, ketahuilah bahwa dia telah tersesat dalam memahami wahdatul-wujud tersebut dengan femahaman yang sebenarnya, dan telah berdusta dalam dakwaannya.
Wahdatul-Wujud Tidak Menafikan Wujud Makhluk yang Baru
Banyak orang yang menuduh sesat faham wahdatul-wujud ini karena kejahilan mereka menyatakan bahwa, wahdatul-wujud menafikan ithnaniyat al-wujud (dua jenis kewujudan iaitu kewujudan Allah s.w.t. yang qadim dan kewujudan makhluk yang baru).
Sebenarnya, wahdatul-wujud menurut kaum sufi tidak pernah menafikan dua jenis kewujudan, iaitu: wujud qadim (kewujudan Allah s.w.t.) dan wujud baru, iaitu kewujudan makhluk. Namun, wahdatul-wujud menegaskan bahwa, kewujudan makhluk yang baru tersebut merupakan kesan yang muncul daripada kewujudan Allah s.w.t. juga karena wujud makhluk tersebut bukanlah dengan diri mereka sendiri dan bukan juga dari diri mereka sendiri. Namun, wujud makhluk yang terbatas dan baru bukanlah wujud Allah s.w.t. yang qadim, cuma kewujudan mereka daripada kewujudan dan penciptaanNya. Kewujudan makhluk tidak mutlak, tidak mustaqil (mandiri) dan makhluk tidak berdiri dengan diri mereka sendiri, sebaliknya bersandar kepada kekuasaan Allah s.w.t..
Hal ini sama seperti kekuasaan makhluk, di mana, kekuasaan makhluk yang terbatas daripada kekuasaan Allah s.w.t. juga, tetapi kekuasaan makhluk bukanlah seperti kekuasaan Allah s.w.t.. Begitulah sifat-sifat yang lain.
Dua jenis kewujudan tidak pernah menafikan bahwa, wujud yang baru itu pada hakikatnya daripada wujud Allah s.w.t. yang qadim, tetapi bukanlah wujud yang baru itu, adalah wujud yang qadim secara zatnya. Kalau bukan daripada Allah s.w.t., maka daripada siapa wujud yang baru itu? Mustahil daripada zat-zat makhluk itu sendiri karena makhluk-makhluk tidak berdiri dengan diri sendiri.
Wahdatul-Wujud Tidak Membawa Kepada Faham Jabbariah
Jabbariah adalah suatu faham yang menafikan secara mutlak adanya usaha bagi makhluk, sehingga akhirnya membawa kepada meninggalkan amalan ketaatan. Ada orang yang mendakwa bahwa, wahdatul-wujud membawa kepada faham Jabbariah , padahal tidak demikian.
Dalam aqidah ahlus-sunnah wal-jamaah, manusia juga diberi peluang untuk berusaha, sesuai dengan izin Allah s.w.t., bukan seperti faham jabbariah yang menafikan usaha secara mutlak. Golongan sufi yang berkata tentang wahdatul-wujud juga menetapkan usaha kepada makhluk, seperti aqidah ahlus-sunnah wal-jamaah.
Begitu juga dalam penghayatan wahdatul-wujud, di mana seseorang hamba masih melihat dirinya ada ruang untuk berusaha, namun dalam waktu yang sama, melihat ruang untuk berusaha tersebut merupakan anugerah daripada Allah s.w.t.. Lalu, mereka sibuk melihat bantuan Allah s.w.t. dalam ketaatan mereka, tanpa menisbahkan ketaatan tersebut kepada diri mereka, dalam rangka menjauhi ujub dan takabbur, dalam waktu yang sama, menunaikan makna syukur kepadaNya.
Imam Al-Qunawi r.a. berkata (seperti yang dinukilkan oleh Imam As-Suyuti dalam ta'yiid al-haqiqah al-'aliyah:
"Maksud sufi dari perkataan tidak melihat amalan pada diri, iaitu, tidak memerhatikan bahwa usaha ketaatan tersebut daripada diri mereka, karena fokus dalam menyaksikan bahwa ketaatan tersebut merupakan anugerah daripada Allah s.w.t. kepada mereka."
Mereka menisbahkan seluruh kebaikan kepada Allah s.w.t. dalam ruang lingkup penghayatan wahdatus-syuhud dan menisbahkan keburukan kepada diri mereka melalui penghayatan ubudiyyah dalam diri mereka. Inilah aqidah ahlus-sunnah wal jamaah.
Kesimpulan:
Maka, jelaslah bahwa, faham yang sebenarnya tentang wahdatul-wujud menurut kaum sufi yang benar adalah suatu femahaman yang murni dan bertepatan dengan aqidah Islam iaitu, melihat seluruh wujud makhluk tidak wujud dengan diri mereka sendiri[mandiri], tetapi wujud dengan Allah s.w.t. (dengan bantuan dan kekuasaanNya).
Adapun orang-orang yang jahil yang cuba menyesatkan kaum sufi dalam masalah ini, sebenarnya tidak memahami wahdatul-wujud dengan maknanya yang sebenarnya menurut kaum sufi itu sendiri.
Begitu juga, golongan orang yang sesat dalam femahaman wahdatul-wujud dengan mendakwa ketuhanan diri, mendakwa hulul dan ittihad, merupakan golongan yang tertolak dari kaum sufi itu sendiri. femahaman mereka bukanlah femahaman kaum sufi terhadap wahdatul-wujud itu karena kaum sufi memahami wahdatul-wujud dengan maksud wahdatus-syuhud, bukan dengan maksud hulul dan ittihad.
di susun oleh:Al-Faqir ila Rabbihi Al-Jalil
Raja Ahmad Mukhlis bin Raja Jamaludin Al-Azhari
AmalahuLlahu bi LutfiHi Al-Khafiy
hm....sebenarnya tidak ada yang salah antara yang hak dan bathil karena didunia ini selalu berpasangan,kecuali satu dia yang ahad tapi bagaimana yang ahad itu ada kalau tidak ada jang jamak,begitu juga yang kekal bagaimana ada kekal kalau tidak ada fana,apakah ada syurga dan neraka,dan dimanakah sebaik2nya tempat kembali kalau bukan disisinya,tapi adakah sisi kalau tidak ada tengah,baik dan buruk datang dari Allah tinggal bagaimana kita berpentas dan berperan dalam kehidupan ini bagaimana ada hakikat kalau tidak ada syariat begitu juga sebaliknya,bagaimana ada sesat kalau tidak ada benar,bagaimana Allah itu ada kalau tidak ada manusia,kalaupun dia tetap ada siapakah yang menyatakan keberadaanya kalau tidak manusia itu sendiri,sungguh ada beberapa dari sifat2 allah,antara yang kuasa dan maha kuasa,ada yang tahu dan maha tahu dll.
BalasHapus